Selasa, 22 April 2008 lalu, Obor Olimpiade Beijing 2008 singgah di Jakarta dan Kirab ini akan dilaksanakan di dalam kompleks Gelora Bung Karno (GBK), Senayan. Yayasan Anand Ashram yang bergabung dalam Masyarakat Sipil bagi Kemerdekaan Tibet ikut dalam Aksi Damai ini untuk menyuarakan penghentian bagi tindak kekerasan, genosida kultur, dan penindasan yang dilakukan pemerintahan Partai Komunis China (PKC) kepada etnis Tibet di negeri mereka sendiri. Guruji Anand Krishna pun pernah menyampaikan bahwa bangsa Indonesia berhutang budi pada Tibet yang selama ini telah melestarikan dan menjaga meditasi /Tongleng/ yang berasal dari Guru Dharmakirti Svarnadvipa.
Solidaritas Masyarakat Sipil untuk Tibet ini juga terdiri dari berbagai lembaga swadaya masyarakat, seperti LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta, KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), PBHI, Falun Dafa, Jaringan Miskin Kota (UPC), Yayasan Atap Dunia, Solidamor, Ghure, Hikmah Buddhi, Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi, pengikut tantra Tibet dari Bandung Bikkhu Tantrayana, dsbnya.
Berdasarkan data yang diterima /Traffic Management Centre/ (TMC) dari Direktorat Intelkam Polda Metro Jaya, Selasa (22/4/2008), aksi pertama digelar Masyarakat Indonesia untuk Kebebasan Tibet pada pukul 10.00 WIB.
Aksi ini akan dimulai dari Kantor LBH Jakarta di Jalan Diponegoro No 74, menuju Pintu 1-5 Parkir Timur Gelora Bung Karno di Senayan. Mereka menentang dibawanya obor Olimpiader melalui wilayah Tibet dan mengecam aksi China membantai warga Tibet di Lhasa. (Arfi Bambani Amri – Detikcom
22/04/2008 05:52 WIB “Obor Olimpiade Disambut 3 Demo”) Maka akhirnya 30-an teman-teman Ashram berkumpul di halaman depan pintu gerbang utama GBK yang berada di tepi jalan Jendral Sudirman Jakarta, bergabung dengan massa dari Masyarakat Sipil untuk Tibet. Beberapa spanduk tampak dipasang di pagar, bertuliskan : /Free Tibet/, /No Human Rights, No Olympic/. Teman-teman Ashram sendiri menggelar 2 buah spanduk bertuliskan : Pesan Soekarno /Freedom To Be Free/ dan beberapa tulisan berisi : /Love is the Only Solution/ atau /Violence is not/ a /Chinese Culture./
Massa yang berjumlah kira-kira 200-an orang berkumpul rapi persis membelakangi depan Pintu Gerbang Utama GBK ini menghadap ke Jalan Sudirman, sementara para wartawan, juru foto/kamera dan penonton di depan mereka.
Tiba-tiba setelah selesai lagu pertama yang dibawakan oleh teman-teman Ashram yang dipimpin Nino, beberapa petugas keamanan dan polisi menurunkan spanduk-spanduk yang terpasang pada pagar GBK. Beberapa teman dari LBH Jakarta dan Kp. Pilar mendatangi mereka dan meminta kembali spanduk-spanduk tersebut, tapi ditolak. Maka terjadi tarik-menarik untuk memperebutkan spanduk dan /banner/ yang telah dicabut. Pada saat itulah, para wartawan dan juru foto/kamera ikut merangsek maju menuju ke belakang massa Aksi Damai untuk meliput “kegiatan tarik-menarik” itu.
Aksi tarik-menarik kemudian berubah menjadi aksi pemukulan, pengeroyokan dan penangkapan beberapa teman LBH dan Pilar itu. Teman-teman Ashram sendiri masih berada di tengah-tengah kerumunan massa aksi damai. Tapi suasana mulai berubah ketika petugas polisi mulai bersikap represif.
Bahkan seorang mahasiswa, warga negara Belanda yang sedang magang di KontraS, Stef Gauke Bolte (24) langsung ditangkap dan diduga langsung dibawa ke Polda Metro Jaya.
Selanjutnya, AKBP Heri Wibowo (Wa Kapolres Jakarta Pusat), menuju ke tengah kerumunan massa aksi dan meminta massa membubarkan diri karena dianggap tidak mempunyai ijin. (Padahal ijin tidak diperlukan. Yang diperlukan hanyalah surat pemberitahuan). Karena panitia tidak dapat menunjukkan surat itu, maka polisi mengancam akan membubarkan aksi dengan paksa.
Beberapa spanduk termasuk spanduk-spanduk Ashram mulai berusaha disita oleh petugas. Akhiong & Ferry Santoso yang bertugas menjaga dan membawa spanduk menjadi kewalahan. Bernard berusaha mempertahankannya, tapi malah dikeroyok dan dipukuli oleh beberapa anggota polisi dari PPRM (Pasukan Pengendali Rusuh Massa). Nino langsung maju dan melindungi Bernard sambil berkata bahwa ini adalah kawan saya, dan bila ingin tangkap maka dia menawarkan dirinya. Demikian pula Mas Padmo berusaha menjaga Bernard agar diperlakukan secara wajar oleh petugas. Akibatnya mereka bertiga malah ditahan oleh pihak kepolisian dan dibawa ke dalam Kompleks GBK, yang hari itu dijaga oleh sejumlah massa dari Ormas FBR (Forum Betawi Rempug). Kehadiran Ormas FBR ini juga dipertanyakan oleh teman-teman dari LBH Jakarta dan KontraS.
Wa. Kapolres pun tetap menginginkan pembubaran kerumunan massa aksi yang mencoba bertahan, dengan alasan bahwa aksi ini tidak mendapat ijin.
(Tapi sebagian teman mendengar bahwa pemerintah akan mendapat malu dari dunia internasional bila tidak dapat mengendalikan aksi mendukung Tibet
ini) Beberapa teman Ashram sudah menggulung beberapa spanduk dan mengamankannya di tempat yang aman. Tapi sebagian besar masih berada di tengah kerumunan massa aksi karena menunggu kabar tentang ke-3 teman yang masih ditahan.
Ma Archana, yang berada bersama Guruji dan Ma Upassana di tempat lain akhirnya menghubungi Mbak Tuti, Bli Yudanegara dan Bapak Slamet untuk membantu dan datang ke lokasi. Bli Yudanegara tiba di lokasi dan bersama-sama beberapa teman mencari ketua panitia aksi hari ini untuk membicarakan bagaimana melepaskan beberapa teman yang ditahan di dalam.
Tapi tak lama kemudian, 7 orang yang ditahan (4 dari LBH/Pilar dan 3 dari Ashram) akhirnya dilepas dari tahanan setelah teman-teman dari LBH/KontraS dan panitia bernegosiasi. Perjanjiannya adalah ke-7 orang ini akan dilepas langsung di tempat tapi massa aksi harus segera membubarkan diri.
Dalam siaran pers di kemudian hari, Masyarakat Sipil Indonesia untuk Kebebasan Tibet menyatakan bahwa Aksi penangkapan ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap kebebasan masyarakat sipil untuk menyampaikan pendapatnya, di mana hak tersebut telah dijamin dalam konvensi hak sipil dan politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia ke dalam UU No.
12/2005 bahwa /Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya./
/ /Dalam kericuhan ini, Polisi menyita beberapa spanduk dan sebuah peralatan pengeras suara (TOA). Inilah salah satu pembelajaran bagi kita semua bahwa surat pemberitahuan aksi tidak cukup untuk difax ke kepolisian tapi juga harus dibawa serta bersama nota penerimaan dari aparat, dan dibawa langsung ke lapangan. Dan bila aksi damai dilakukan bersama kelompok lain, kita harus meminta fotokopi surat pemberitahuan/ijin ke kepolisian itu sebelum ikut terlibat dalam aksi ini.
Yang tragis adalah bahwa Kompleks GBK hari itu telah “dikuasai” oleh Kedubes RRC di Jakarta. Kirab Olimpiade akhirnya dilaksanakan di lingkaran luar Stadion Sepak Bola GBK dengan penjagaan ketat yang dikomandoi bukan oleh kepolisian RI tapi oleh Kedubes RRC. 5000 Undangan pun disebar dan diberikan hanya kepada undangan yang disetujui oleh Kedubes RRC lewat pemeriksaan kartu identitas. Ketika sedang menuju ke GBK, terlihat banyak bis-bis tourist sewaan panitia Kirab menuju ke Senayan. Demikian pula penjagaan Kompleks GBK hari itu pun dilakukan dengan menyewa preman-preman FBR oleh beberapa antek-antek kedubes RRC, termasuk pemda Jakarta. Sore harinya, para anggota FBR ini pulang dengan mengendarai sepeda motor tanpa helm dan langsung menerobos jalur cepat Jl. Jendral Sudirman, tanpa teguran apapun dari anggota polisi yang sedang bertugas (Detikcom 22 April08 17:20 WIB – FBR Masuk Jalur Cepat Jl. Jendral Sudirman, polisi Diam)
Bahkan beberapa teman yang memarkirkan kendaraannya di dalam komplek GBK pada pagi hari itu, tidak dapat mengeluarkan kendaraannya sampai malam hari tiba. Dengan bangga, petugas kepolisian di sana menjawab bahwa keluar-masuk kendaraan di kompleks GBK hari itu harus seijin seorang tuan dari Kedubes RRC. Jadi loyalitas polisi pada hari itu benar-benar dipertanyakan.Bener-bener memalukan.
Tapi yang lebih parah lagi adalah pernyataan beberapa pejabat tinggi negara dan komunitas tionghoa Indonesia yang berada di dalam kompleks GBK hari itu. Mereka merasa bangga bahwa RRC mau berbaik hati memampirkan obor olimpiade ke Indonesia. Apakah mereka tidak sadar bahwa pada hari itu mereka berada di kawasan yang sudah “dikuasai” oleh kedubes RRC? Apakah mereka sadar bahwa hari itu mereka sudah berkolaborasi dan menjadi antek-antek pemerintahan yang tidak peduli terhadap nasib para perantau keturunan Chinese ketika terjadi kerusuhan anti-Chinese di Jakarta, 13-15 Mei 1998 lalu ? Sedih sekali mereka sudah lupa peristiwa 10 tahun lalu. Lupa karena mereka terlalu silau dengan sedikit materi yang ditawarkan PKC. Sayang sekali.
Untung saja Presiden SBY tidak hadir di acara Kirab Olimpiade tersebut karena sedang sibuk menyambut kedatangan Sultan Brunei Hassanal Bolkiah di Indonesia. Bila engga, apa kata dunia ketika seorang presiden RI berada di tanah Indonesia yang telah “dikuasai” duta besar RRC?