“Aku bertanggung jawab atas keadaan negeriku saat ini, Aku mempunyai kemampuan untuk mengubahnya, Aku bisa melakukannya, aku cinta negara kesatuan RI, Aku menyuarakan tekad persatuan dengan jelas, Aku melihat Indonesia Jaya, Damai Indonesia. Amin.”
Itulah Afirmasi Sapta Wacana yang dibacakan pendiri Yayasan Anand Ashram, Anand Krishna dan diikuti ratusan hadirin dari Jakarta, Depok, Bekasi, Tangerang, Magelang Solo, Yogya, Pati, Kediri, Surabaya, Lampung, Denpasar dan Flores dalam peringatan HUT ke-18 yayasan tersebut yang bertema Ruwatan Nusantara. Ruwatan Nusantara Menemukan Kepingan Jiwa Sutasoma, Membangkitkan Ruh Sutasoma, Membersihkan Tamansari Indonesia berlangsung di Anjungan Jawa Timur, Taman Mini Indonesia Indah, pekan ini. Sebelum pembacaan afirmasi Sapta Wacana, para hadirin berdoa menurut agama masing-masing. Menurut Anand Krishna yang lahir di Solo pada 1 September 1956, ruwatan ini untuk membersihkan daki-daki yang ada pada jiwa kita, membuat kita melupakan jati diri kita. Kita lupa siapa kita, lanjutnya, kita lupa kekayaan alam kita, kita lupa bahwa kita sudah berbudaya dan mengenal globalisasi, sudah mengirimkan rempah-rempah sejak 1000 tahun lalu. Ruwatan ini, menurut Anand, penting dalam kondisi saat ini untuk kembali kepada jati diri kita, mengingat kekuatan kita di mana, bagaimana menggunakan kekuatan itu, untuk membangkitkan bangsa kita. Ada beberapa hal yang ingin dicapai melalui kegiatan ini a.l. Mensucikan Tamansari Indonesia dari segala perpecahan, konflik, bencana dan menghindarkan bangsa dari malapetaka. Melalui acara ini, diharapkan generasi muda dapat kembali mengenali dan mencintai kembali budaya Indonesia. Kisah Sutasoma juga dapat menjadi pembelajaran di luar kelas bagi generasi muda dan menginspirasi mereka untuk partisipasi aktif melestarikan budaya bangsa. Dalam acara ini ditampilkan tarian dan pergelaran Sutasoma dari Sanggar Bona Alit, Bali. Acara ini juga diharapkan dapat membangkitkan salah satu warisan budaya bangsa, yaitu pewayangan. Pewayangan memiliki kandungan historis dan falsafah hidup yang sarat dengan moral values yang berlandaskan pada kearifan lokal budaya bangsa. Dengan mengenal dan mencintai kembali kearifan lokal, akan menumbuhkembangkan akar identitas atau jati diri yang kuat bagi segenap anak bangsa sehingga tidak mudah dipecah belah. Tokoh HAM, Adnan Buyung Nasution yang hadir pada acara ini mengatakan bahwa kita patut bangga dan bersyukur kepada Anand Krishna yang menyelenggarakan acara ini. “Saya tak mengerti ruwat itu apa. Tapi ambil intisari dari makna ruwatan ini adalah membersihkan diri kita kalau kita kembali kepada manusia, mengasihi sesama manusia, saling menghormati, saling menjaga, saling melindungi satu sama lain, karena kita semua adalah ciptaan Allah,” ujar Adnan Buyung Nasution. Ajaran baik Anand Krishna yang pekan lalu ke Tibet bertemu dengan Dalai Lama untuk menyerahkan patung Budha buatan Indonesia, mengatakan bahwa Dalai Lama menyampaikan 1000 tahun lalu seorang cendekiawan India bernama Atisha ke Pulau Sumatra (diperkirakan di daerah Palembang). Atisha belajar pada Dharmakirti Svarnadvipa. Atisha belajar sesuatu yang tak ada di negerinya. Apa yang dia pelajari dibawa kembali ke India dan dari India dibawa ke Tibet di mana dia hidup beberapa tahun lamanya di sana. Apa yang disampaikan Atisha kepada orang Tibet sampai sekarang masih hidup dan ajaran itu berasal dari Sumatra, pulau yang melahirkan seorang cendekiawan bernama Dharmakirti Svarnadvipa. “Kita tak punya referensi sama sekali, orang Tibet punya. Orang Tibet telah merekam ajaran Dharmakirti dan sampai sekarang ajaran itu dilestarikan, dikembangkan oleh orang Tibet. Ajaran ini namanya Tonglen dalam bahasa Tibet yang artinya terima kasih, terima dulu kemudian kasih /memberi. Apa ajaran terima kasih ini? Tadi seperti yang disampaikan ada pergeseran nilai, kita lupa membersihkan jiwa kita. Kita mengambil negativitas dari seluruh dunia, dari lingkungan kita. Sehingga negatif adalah energi, ketika terjadi critical mass, misalnya ada 100-200 orang yang berpikir secara negatif dan menggunakan telepon genggam, untuk menyampaikan berita pada orang lain. “Sebelum berita itu diterima oleh orang yang dituju, getaran ini berjalan, ini sciences, bukan sesuatu yang gaib. Getaran-getaran negatif, misalnya saya ketakutan, mengambil telepon dan memberikan berita pada Anda, sebelum mencapai Anda,” ujar Anand Krishna. Getaran rasa takut ini akan berkeliaran kemana-mana siapa pun yang berada pada gelombang itu ikut menjadi takut. Oleh karena itu, apa yang terjadi sekarang, apapun berita yang kita terima, sesungguhnya di dalamnya sudah menjadi besar. Tak heran berita yang kecil, tapi bisa menjadi besar karena dia mendapatkan perbuatan dari orang-orang yang disimpatinya. Seorang scientist dari Sumatra, Dharmakirti, menemukan bahwa sesuatu yang negatif itu critical mass di setiap orang yang berpikir secara negatif, “Kalau kita bisa, menciptakan critical mass yang positif, setiap orang juga akan menjadi positif. Sesederhana itu. Ini yang menjadi bagian utama dari ruwatan,” kata Anand. Ruwatan dengan cara Dharmakirti Svarnadvipa, bisa mengambil energi negatif, diterima di jantungnya kemudian diolah dan dijadikan positif dan ditebarkan kembali. (herry.suhendra@bisnis.co.id) Oleh Herry Suhendra
|