Oleh : Ahmad Yulden Erwin

Sebagai aktivis Gerakan Anti Korupsi di Indonesia selama lebih dari 10 tahun ini, saya cukup paham bagaimana mekanisme hukum pidana jika ingin mengadukan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana tertentu kepada aparat penegak hukum. Kita tidak bisa sembarangan saja mengadukan orang dan menuduhnya melakukan perbuatan pidana. Harus ada “bukti permulaan yang cukup”.

Yang dimaksud bukti permulaan yang cukup dalam kasus pelecehan seksual:
1. Harus ada 2 atau 3 saksi yang melihat “langsung” kejadian dugaan pelecehan tersebut;

2. Harus ada visum dari RSU. Ini adalah dasar bagi pihak polisi atau Komnas HAM/Perempuan untuk melakukan proses hukum.

Nah, jika memang bukti permulaan yang cukup tersebut ada, maka adalah hak setiap warga negara untuk menuntut keadilan melalui proses hukum. Namun, jika tidak ada bukti permulaan yang cukup, maka kita bisa dituduh balik melakukan pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, dan fitnah.

Anehnya, pihak pengacara TR dan SM, yang seharusnya pasti tahu soal prosedur hukum pidana ini, justru malah menjadi pihak yang saya duga mendorong TR dan SM mengadukan dugaan pelecehan seksual tersebut ke Komnas Perempuan dan Polda Metro Jaya. Meski ia sendiri tahu bahwa tak ada bukti permulaan yang cukup untuk mengadukan kasus ini ke aparat penegak hukum (hal ini terbukti dari pengakuannya sendiri kepada pihak pers beberapa waktu lalu). Etika profesi pengacara ini harus dipertanyakan.

Menurut pendapat saya, dari segi hukum, Bapak Anand Krishna adalah korban “penghakiman” oleh pers akibat pelaporan TR dan SM ke Komnas Perempuan dan Polda Metro Jaya tanpa disertai bukti permulaan yang cukup.

Nah, kalau Bapak Anand Krishna mau, justru dugaan kasus “pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan” terhadapnya malah sudah memiliki “bukti permulaan yang cukup” untuk ditindaklanjuti ke dalam proses hukum.

Pemberitaan yang tak berimbang di pers Indonesia sehingga mencemarkan nama baik seseorang adalah suatu tindak pidana yang melawan hukum. Jika kasus seperti ini bisa dilegitimasi oleh aparat penegak hukum, atau bahkan menjadi yurisprudensi, maka ini alamat buruk penegakan supremasi hukum di Indonesia. Karena kelak siapa pun bisa mengadu dan diadukan telah melakukan pelecehan seksual, tanpa bukti permulaan yang cukup, asal bisa “mem-blow up” kasusnya ke pers Indonesia.

Salah satu kasus terkenal “penghakiman oleh pers” ini justru terjadi beberapa tahun lalu dan menimpa seorang yang sekarang akan diberi gelar pahlawan pluralisme, Gus Dur, Presiden RI ke-4. Beliau waktu itu diberitakan telah melakukan perzinahan dengan seorang janda, bahkan ada fotonya segala saat beliau sedang memangku sang janda. Namun, akhirnya terbukti juga menurut seorang pakar informasi bahwa foto tersebut cuma rekayasa komputer. Tuduhan ini, yang tak sekalipun dibuktikan melalui proses hukum yang adil, dijadikan salah satu alasan untuk “meng-kudeta” beliau dari jabatannya yang sah secara konstitusi. Apakah ada pihak pers, yang telah memberitakan tuduhan tanpa bukti itu meminta maaf kepada Gus Dur?

Saya pikir, kasus yang menimpa Bapak Anand Krishna harus dijadikan pembelajaran hukum serta pembelajaran tentang kebebasan pers yang bermartabat. Sebab, bisa jadi ke depan Anda akan diadukan telah melakukan pelecehan seksual dan mengalami “penghakiman” oleh pers, tanpa bukti permulaan yang cukup. Semoga saja tidak terjadi lagi kasus seperti yang menimpa Bapak Anand Krishna dan Gus Dur ini pada masa datang.

——————-Catatan Tambahan—————–
Berikut adalah salah satu tanggapan Bapak Anand Krishna, sehubungan dgn salah satu comment thd salah satu media, yg bisa di lihat di wall Beliau.

Oming Oke
Kecewa dengan TV One yang tidak berimbang dalam pemberitaannya. Mulai dari kesalahan pembawa acara, Rizki, tentang pihak AK yang tdak dapat dihubungi, padahal Ibu Maya sudah stand by dr jam 5.30, sampai dengan pembagian segmen yang tidak fair. Ada apa dibalik semua permainan media ini ? Apakah etika media seperti ini ?

Anand Krishna Indonesia
Bukan, bukan media, bukan para presenter, bukan mereka… mereka semua adalah korban…. saya mengasihani dan mengasihi para presenter disana, termasuk bung Rizki (if not mistaken) yang mesti melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan ruhaninya. Ya Gusti, ampunilah mereka… Love always

Marhento Wintolo
Bkn sembarang kakap yg bermain didlm hal ini. Negara taruhannya
Kasihan para korban!!!! Mrk benar2 menjual jiwanya!!!!