Pertemuan Anand Krishna dengan Gangchen Rinpoche di Borobudur

 

Gangchen Rimpoche lahir di Tibet pada tahun 1941 dan merupakan Lama dengan lineage dari Gelugpa. Beliau adalah Ketua The Lama Gangchen World Peace Foundation (L.G.W.P.F.) – United Nations Affiliated NGO, International Friendship for the Support of Himalayan Medicine, Vajrayana Buddhist Philosophy, Inner Peace Education, Non-Formal Education, Environmental care and Self-Healing for World Peace. Penulis puluhan buku yang diterjemahkan dalam banyak bahasa ini juga adalah seorang penulis dari buku, “Borobudur: The World Peace Mandala”.

Sejak tahun 1991, setiap tahun Gangchen bertemu dengan 200 an orang dari berbagai penjuru dunia, sebagian besar adalah orang-orang yang mengakui beliau sebagai Gurunya. Selama 3 minggu mereka mengikuti acara yang diselenggarakan oleh Gangchen Rinpoche di Hotel Manohara. Sebagai seorang yang berusia 71 tahun, beliau nampak fit. Selama menemui “Guruji” hampir 3 jam tidak nampak tanda kelelahan pada diri beliau. Beliau dan para peserta pertemuan selalu memanggil Bapak Anand Krishna, dengan sebutan Guruji Anand Krishna.

Gangchen Rinpoche mengajak para peserta pertemuan yang masih ada di lobby untuk mengikuti acara dengan Guruji Anand Krishna. Nampak sekali kepolosan seorang “Rinpoche Senior” dalam tindakannya. Kami dan para murid-murid Rinpoche mengikuti Gangchen Rinpoche yang menggandeng tangan Guruji Anand Krishna di sepanjang lorong penghubung bangunan yang panjang dan berkelok-kelok. Kita melihat seperti seorang saudara yang lama tidak bersua dan menggandeng tangan saudara lainnya dan tidak mau lepas. Semua berjalan cepat dan beberapa fotografer, termasuk fotografer Anand Ashram berlarian mendahului dan mengambil posisi shooting yang tepat. Akhirnya kami dibawa di tengah halaman dan diajak berbaris. Wow, rupanya Gangchen Rinpoche mengajak kita semua foto bersama dengan latar belakang Candi Borobudur…… Kemudian dengan tangan Guruji yang masih digandeng, Gangchen Rinpoche menuju ke Aula pertemuan yang disetting seperti kita berada di vihara di Tibet.

Gangchen Rinpoche lahir di Tibet barat pada tahun 1941. Setelah beliau mencapai usia dua belas ia menerima “Kachen” gelar yang biasanya diberikan setelah dua puluh tahun studi. Antara usia tiga belas sampai delapan belas tahun, beliau belajar ilmu kedokteran, astrologi, meditasi dan filsafat di dua universitas monastik besar dari Tibet: Sera dan Tashi Lhumpo.

Beliau juga belajar di Gangchen Gompa, Tropu Gompa dan Biara Neytsong (bagi yang ikut perjalanan ke Kashmir, mestinya ingat Vihara Gompa). Beliau adalah murid dari beberapa Lama aliran Gelugpa yang paling penting seperti HH Trjichang Rinpoche. Pada tahun 1963, beliau melanjutkan studi selama tujuh tahun di Varanasi Sansekerta University di Benares. Pada tahun 1970, beliau menerima gelar Rigram Geshe (mirip dengan Ph D.) dari Universitas biara Sera terletak di India Selatan.

Setelah lulus, beliau bekerja sebagai lama penyembuh di kalangan masyarakat Tibet di Nepal, India dan Sikkim, selama waktu itu dia menyelamatkan nyawa banyak orang dan diangkat sebagai dokter pribadi keluarga kerajaan. Pada tahun 1981, Lama Gangchen mengunjungi Eropa untuk pertama kalinya dan sejak itu menjadi warga negara Italia.

Sejak 1982, beliau telah melakukan perjalanan secara ekstensif, baik penyembuhan dan pengajaran di seluruh dunia, melakukan banyak ziarah ke beberapa tempat-tempat suci (interfaith). Sejak dahulu Lama Gangchen mempromosikan proyek yang sangat penting: integrasi antara Kedokteran Tibet Kedokteran dengan obat allopathic. Saat ini beliau terkait dengan lebih dari 100 pusat Pendidikan Inner Peace atau Self-Healing Grup Studi seluruh dunia…….

Pada pertemuan dengan Guruji, beliau memperkenalkan Guruji sebagai sahabat beliau yang tahun lalu juga datang ke acara serupa di Borobudur bersama sahabat guruji lainnya yaitu Bhiku Sanghasena. Beliau menyampaikan perjuangan Guruji melawan ketidakadilan yang menimpanya dalam menjalankan dharmanya di Indonesia.

Guruji kemudian menyampaikan rasa terima kasih dan juga menyampaikan bahwa selama menjalani puasa makan selama 49 hari yang menemani beliau hanyalah mala/tasbih/rosario pemberian Gangchen Rinpoche yang disambut tepuk tangan meriah para hadirin.

Setelah itu semua peserta diminta menyampaikan sharing dan dimulai dari rombongan Guruji. Pertama kali Pak Tri yang menyampaikan bahwa dirinya adalah seorang muslim yang sadar bahwa dia hidup di One Earth, One Sky dan One Humankind. Selanjutnya adalah Ma Upasana yang menyampaikan bahwa dia seorang Buddhist yang berasal dari Sumatera. Gangchen Rinpoche kemudian menceritakan tentang Yang Mulia Atisha yang belajar dari Guru Dharmakirti dari Sumatera. Adalah Guruji Anand Krishna yang mempopulerkan nama Yang Mulia Dharmakirti sehingga sekarang banyak dikenal di Indonesia. Kemudian Ibu Wayan Suriastini menyampaikan bahwa dirinya beragama Hindu dan berasal dari Bali tinggal di Jogja. Gangchen Rinpoche kembali menyampaikan keindahan pulau Bali dengan lingkungan yang masih terjaga tradisinya. Giliran berikutnya adalah Mas Ganjar yang menyampaikan bahwa dia adalah seorang Kristen yang berasal Magelang daerah Borobudur, dengan orang tua berbeda agama. Mengikuti Bapak Anand Krishna dia tidak bingung lagi dan menghormati keyakinan kedua orang tuanya. Terakhir dari rombongan Guruji adalah Mbak Nelly Mintarso yang menyampaikan bahwa dirinya seorang muslim dengan orang tua yang berbeda keyakinan dengan dia. Berkat ikut guruji semuanya dapat berjalan dengan harmonis.

Selanjutnya disampaikan sharing dari para murid Gangchen Rinpoche, yang semuanya surprice bahwa Guruji Anand Krishna benar-benar interfaith, bahkan rombongannya berasal dari berbagai agama. Dan, ini adalah benih kedamaian yang mulai bersemi dari Indonesia. Para peserta pertemuan, baik yang mengaku murid maupun yang hadir sendiri sangat menghormati Gangchen Rinpoche. Sebelum duduk mereka bersujud 3 kali kepada Rinpoche. Bahkan mereka yang datang terlambat pun selalu saja bersujud tiga kali di muka umum kepada Gangchen Rinpoche.

Kita perlu belajar dari mereka. mereka tidak mengkultuskan seorang Guru, tetapi mereka tahu diri bahwa tanpa Sang Guru dia tidak paham apakah Buddha, Dharma dan Sangha. Tanpa Guru mereka akan larut dalam ignorance. Hanya akan mengejar keduniawian yang tak pernah memuaskannya. Di Jawa pada zaman dahulu memanggil orang tua atau Guru dengan sebutan Romo, berasal dari Rama. Menyebut Ram bermakna penghormatan kepada Dia yang berada di mana-mana. Di Melayu mereka menyebut Duli Paduka, duli adalah debu dan paduka adalah tapak kaki. Orang zaman dahulu paham bahwa tanpa mereka yang dihormati tersebut dia masih akan berada dalam ignorance, kebodohan. Banyak diantara murid Rinpoche adalah akuntan dan para dokter serta profesional dalam berbagai bidang dengan salary tinggi yang melepaskan kenyamanannya demi mengikuti sang Lama. Mereka mengumpulkan salary-nya untuk dapat bersama Rinpoche selama 3 minggu di Borobudur. Tidak ada keluhan di antara mereka tentang biaya, bahkan tahun ini mereka bergotongroyong mengumpulkan dana agar ada 20 orang bhiksu dari India dapat mengikuti acara di Borobudur.

Terpengaruh oleh budaya asing yang selalu memisahkan materi dan spiritual, seolah keduanya adalah dua entitas yang berbeda, maka kita pun menciptakan kaidah-kaidah tentang apa dan siapa saja yang boleh disembah. Padahal di dalam budaya kita ada tradisi sungkem kepada orangtua, dan siapa saja yang kita pertuakan. Leluhur kita juga menghormati segala sesuatu di dalam alam ini, pepohonan bebatuan, bukit, gunung, kali, sungai, laut, semuanya. Maka tidaklah heran bila kita juga bersungkem pada seorang guru spiritual yang tidak hanya kita hormati, tapi kita anggap sebagai berkah dari Hyang Widhi, dari Hyang menentukan Segalanya.

Semoga ini menjadi bahan renungan dari kita, mengikuti keteladanan mereka yang tidak perlu banyak pertimbangan untuk bersujud……….

Reportase : Triwidodo Djokorahardjo