“DEFORESTASI DI BUMI INDONESIA ”
Penggundulan dan pembabatan hutan sudah sedemikian parahnya di negeri kita, Indonesia tercinta ini. Setiap menit 6 kali luas lapangan bola, pohon dalam hutan tropis kita yang ditebang. Tanpa kita sadari sejalan dengan pembabatan hutan yang berlangsung, kita turut pula membabat budaya asal daerah lokal setempat. Kita turut menghancurkan harta yang tak ternilai harganya bagi harkat dan martabat kemanusiaan kita, bangsa Indonesia hanya karena keserakahan segelintir orang.
Padahal satu-satunya warisan yang bermanfaat yang dapat kita tinggalkan pada anak cucu kita adalah hutan dengan segala macam dampak dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. Akankah hal ini kita biarkan begitu saja?
Itulah yang menjadi tanda tanya besar bagi kita semua?
Apakah kita akan diam saja? Dan hanya menjadi saksi bisu atas semua yang terjadi?!
Wandy Nicodemus sebagai moderator membuka acara dengan sedikit prolog tentang hutan dan kepedulian kita. Ibaratnya diskusi ini hanyalah setetes air di lautan yang luas namun riaknya akan menimbulkan gelombang dan ini pasti. Semoga Diskusi ini bisa menjadi eye opener bagi kita semua.
Hancurnya hutan di Indonesia tidak terlepas dari (1) rendahnya pendidikan dan kesadaraan masyarakat lokal, (2) diamnya masyarakat Indonesia yang peduli akan keberadaan hutan serta (3) keserakahan beberapa orang yang terpicu oleh peningkatan secara pesat akan kebutuhan hasil-hasil hutan oleh masyarakat dunia.
Point-point ini mencuat di acara Diskusi Mahasiswa Bulanan The Torchbearers-Anand Ashram pada Sabtu, 18 Desember 2004 di One Earth One Sky One Humankind, Gadog-Ciawi. dihadiri oleh 3 pembicara yaitu : (1) Wiratno-mantan Analis Kebijakan Conservation International yang sekarang menjadi Kepala Taman Nasional Gn. Leuser-Aceh, (2) Nasrullah Salim-energy researcher dari Yayasan Pelangi Indonesia dan (3) Dharmanto-mahasiswa UGM yang juga aktivis lingkungan hidup di Kepulauan Siberut.
Diskusi berlangsung dari pukul 16:00 – 18:00 ini dihadiri oleh lebih dari 80 orang mahasiswa dari beberapa Universitas di Jakarta seperti UIN, UNTAR, UKRIDA, STIAB NALANDA, TRISAKTI, BINUS dan di Bogor (IPB), ditambah dari komunitas Anand Ashram sendiri.
Wiratno, yang baru saja diangkat menjadi Kepala Taman Nasional Gn. Leuser-Aceh, langsung membuka dengan mengutip dari Mahatma Gandhi : “Bumi cukup persediaan untuk memenuhi kebutuhan manusia tetapi tidak akan cukup untuk memenuhi keserakahan kita.”
Beliau berkomentar: “Dunia tengah hara-kiri … perlahan tapi pasti bumi kita menuju kematian.”
Memulai presentasi dengan menjelaskan bahwa Conservation International telah mengidentifikasi 25 wilayah di dunia sebagai biodiversity hotspots, berdasarkan keanekaragaman spesies, endemisitas dan tingkat ancaman kepunahan habitat asal. Wilayah Hotspots ini meliputi 1.4 % dari luas daratan dunia tapi didiami oleh lebih dari 50% spesies yang beraneka ragam. Dan, Indonesia punya 2 hotspots yaitu Sundaland dan Wallacea serta 1 Rimba Belantara Tropis Papua.
Keberadaan hutan-hutan di daerah hotspots ini sudah sangat memprihatinkan karena laju penebangan hutan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan kayu secara global. Misalnya kebutuhan kayu China meningkat 7 kali lipat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, sedangkan hutan2-hutan di Jawa habis dalam 100 tahun, tapi hutan-hutan di Sumatera dan Kalimantan yang lebih luas, habis dalam waktu 30 tahun saja. Keadaan ini diperparah dengan data bahwa kira-kira 70% kayu ke Eropa & 60% kayu ke Amerika adalah kayu-kayu hasil penebangan liar (illegal logging).
Otonomi daerah juga mempercepat laju pengrusakan hutan di daerah. Para cukong kayu mendanai kampanye pemilihan Bupati di daerah (tidak tanpa maksud tertentu, yang mereka incar adalah IPH) dan setelah terpilih, dengan dalil meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, hutan-hutan dibabat habis. Para cukong kayu sedemikian lihai, sehingga kadang seorang wakil camat di Siberut misalnya, tidak tahu bahwa di daerahnya sering mengirim ribuan kubik kayu hasil penebangan liar ke luar daerah. Hal ini lalu dibuktikan oleh bapak Wiratno dan Dharmanto dengan mengajak On The Spot wakil camat Siberut langsung ke pulau Mentawai. Dengan menggunakan speedboat, mereka berhasil melihat dan mendokumentasikan kapal yang sedang menarik kapal tongkang berisi kayu tebangan liar, ada 2 kapal penarik dan salah satunya adalah Abadi Sakti V. Terlihat dalam dokumentasi gambar tersebut semua jenis kayu ditebang. Tidak hanya yang sudah cukup umur dengan diameter tertentu saja, tetapi kayu dengan diameter kecil pun juga ditebang, tidak hanya kayu keras tetapi sampai kayu langka pun seperti kayu ramin ditebang. Dengan cara tebang habis tanpa pilih-pilih lagi, pastilah hutan kita akan habis dalam tempo yang singkat.
Pembabatan hutan sejalan dengan Dehumanisasi, penghancuran budaya dan pola hidup masyarakat setempat. Para pemuda kampung tersebut diberi uang dan perempuan untuk berpesta pora dengan sistem ijon yang lama kelamaan mencekik leher mereka. Ketika mereka tidak mampu membayar, maka para pemuda di Mentawai ini dipaksa mempengaruhi sukunya untuk menjual tanah leluhur kepada pemillik HPH tersebut. Dengan sistem ini perang antar suku dan klan di Siberut tak dapat dihindari sehingga dengan demikian penduduk lokal yang sudah miskin semakin terpuruk di bawah garis kemiskinan.
Dan hal ini hanya karena ulah seorang oknum yang bertitel haji di daerah Padang, yang mengejar harta kekayaan saja tanpa memperhitungkan akibat yang ditimbulkannya bagi kehidupan masyarakat luas. Demikian pula yang terjadi di Tanjung Puting dan Pangkalan Bun di daerah Kalimantan. Hanya karena ulah seorang saja, sampai daerah Konsevasi Taman Nasional pun dirambah untuk mengeruk kekayaan bagi pribadinya. Namun, herannya oknum-oknum tersebut tidak dapat ditindak oleh aparat dan hukum karena kelihaian mereka memakai kedok dengan memberangkatkan minimal 10 orang naik haji setiap tahunnya maka semua seolah beres.
Itu sebabnya Wiratno menghimbau bahwa tidak hanya hutan yang harus dibangun kembali melainkan juga sikap hidup, budaya dan moral bangsa ini.
Sebagai pembicara ke-2, Nasrullah Salim yang akrab dipanggil sebagai mas Eriell secara sistematis menjelaskan kaitan Energi dengan Persoalan Lingkungan Hidup.
Menurut beliau, sebenarnya alam mempunyai kemampuan untuk menanggung beban dan mendaur ulang atas apa yang dilakukan oleh semua mahluknya, namun kendalanya adalah adanya lag time. Perbedaan waktu menyebabkan ketidakmampuan alam untuk menyediakan energi dan menanggung beban populasi penduduk yang bertambah, menimbulkan persoalan lingkungan. Tapi pengidentifikasi persoalan lingkungan hidup ini memicu kesadaran manusia bahwa manusia itu hidup dalam satu planet sehingga masalah lingkungan di suatu negara, seperti pemanasan global (efek rumah kaca) bukanlah masalah hanya di negara itu saja tapi merupakan masalah lingkungan global. Upaya peningkatan efisiensi energi dan munculnya penggunaan teknologi bersih juga hasil dari peningkatan kesadaran akan adanya persoalan lingkungan hidup.
Masalah energi yang dihadapi dunia dan Indonesia pun hampir sama, yaitu kurangnya akses masyarakat dalam mendapatkan energi komersil seperti listrik. Keadaan ini membuat sebagian masyarakat memakai energi fosil yang terbatas sebagai energi untuk memasak (biomasak) yang cenderung tidak sehat, tidak ramah lingkungan dan terbatas persediannya. Kelangkaan Sumber Daya Energi (SDE) Fosil akan menimbulkan krisis energi dunia karena minyak bumi akan habis dalam 2 dekade, gas bumi dalam 3 dekade dan batubara dalam 9 dekade ke depan. Asumsi harga minyak mentah pada 2 dekade mendatang pun diperkirakan menjadi US$25/barrel, atau kira-kira 11 milyard US$ untuk Indonesia saja.
Tapi ada paradoks (Paradox of Plenty) yang terjadi bahwa laju pertumbuhan negara/daerah yang kaya SDE lebih rendah dibandingkan pertumbuhan negara/daerah yang miskin SDE. Contoh di Indonesia adalah Propinsi Riau dan Papua yang merupakan daerah ‘kaya’ SDE, tapi tingkat kesejahteraan masyarakat di ke-2 propinsi itu masih di bawah garis kemiskinan dan tentunya di bawah rata-rata propinsi lainnya. Serta timbulnya masalah HAM, pengrusakan lingkungan, korupsi, dan juga tidak berjalannya demokrasi. Dari penjelasannya, Mas Eriell pun menawarkan beberapa langkah untuk mengatasi persoalan lingkungan ini dengan memasukan kebijakan lingkungan yang kondusif ke dalam restrukturisasi kebijakan sektor kehutanan dan energi, seperti penghapusan subsidi SDE fosil, penerapan biaya lingkungan ke dalam sistem akuntansi, dan mempertegas aturan-aturan lingkungan.
Selain itu mas Erriell juga menyoroti sikap hidup seorang muslim, karena di dalam Al Quran sendiri terdapat 28 ayat dalam 19 surat yang berkaitan dengan lingkungan antara lain dalam surat Al Baqarah, dan sebagainya. Mulai dari yang hukumnya seorang muslim yang tidak peduli itu hanya dikategorikan sebagai makruh, kemudian jika ia cuek terhadap apa yang tengah terjadi dan bahkan berkata lain maka disebut munafik sampai pada hukum yang paling besar yaitu seorang muslim dikategorikan kafir bila ia merusak lingkungannya. Semua ada di dalam Al Quran. Oleh karena itu ia menghimbau kita semua, apapun profesi kita agar mulai menjaga dan merawat lingkungan.
Dharmanto, sebagai pembicara terakhir, berpendapat bahwa spiritual, konservasi hutan/alam dan keharmonisan lingkungan adalah hal-hal yang bisa berjalan bersama. Sebagai aktivis lingkungan dan peneliti masalah lingkungan di Siberut, beliau mengamati bahwa di sana sebenarnya ada agama asal yaitu Aradsabulungan yang sudah ada sebelum agama-agama samawi datang, yang percaya bahwa manusia adalah bagian dari alam bukan pusat dari alam. Agama ini bahkan menganggap alam, manusia dan Tuhan adalah bagian-bagian dari satu kesatuan yang utuh (masing-masing memiliki ruh dan entitas yang tak terpisahkan satu dengan lainnya). Sebelum masuknya agama-agama samawi, keadaan alam demikian terlindungi. Spiritualitas dalam agamanya diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari, dalam tindakan nyata. Sehingga dengan mengenali jiwa yang ada dalam diri dan alam semesta mereka mencintai kehidupan dan kematian. Sehingga alam pun dijaga kelestariannya, bukan dieksploitasi habis-habisan.
Wandy Nicodemus yang membuka session tanya jawab kepada floor pun mengutip kata-kata dari Soekarno yang mengatakan bahwa kita harus mencintai ibu kita .. Ibu Pertiwi … Mataram … Ibu Alam Semesta … sehingga selayaknyalah kita melindungi Pertiwi ini.
Floor menanggapi dengan aktif ketika seorang mahasiswa UIN mempertanyakan keefektivitasan penerapan aturan lingkungan dan seorang mantan aktivis lingkungan dari Jogja, malah mengkritik kalangan aktivis yang masih merokok dan memakai tissue di satu pihak dan membela lingkungan di pihak lain. Atau menganggap hutan itu hanya sebagai aset ekonomi semata yang diperebutkan antara pemerintah pusat, konglomerat dan pemerintah daerah. Juga konsep kebijakan kehutanan yang tak pernah melibatkan penduduk lokal yang punya kemampuan tersendiri dalam menjaga kelestarian hutan di daerah masing-masing.
Wiratno menanggapi bahwa no good governance dalam pemerintah Indonesia sebagai biang keladi permasalahan hutan yang sudah rumit ini. Eriell beranggapan bahwa perlunya kesadaran bahwa alam pun punya hak dan kewajiban sebagaimana manusia sehingga keharmonisan hubungan alam dan manusia bisa terjaga. Sedangkan Dharmanto berpendapat biar gimana rumitnya persoalan lingkungan ini, beliau percaya ketika ‘satu pintu sudah terbuka maka pintu-pintu lainnya akan lebih mudah terbuka’. Karena itu dukungan dan suara dari masyarakat sangat diperlukan karena kalau tidak, kejahatan akan menang bila teroganisir dan kebaikan akan kalah bila hanya sendiri.
Hal ini diamini oleh Bapak Anand Krishna selaku tuan rumah ketika menyampaikan kata penutup pada diskusi hari tersebut. “Kejahatan akan merajalela bila orang-orang baik diam” ungkap beliau. Beliau juga sempat menceritakan bahwa dalam suku Dayak di Kalimantan, pada era tahun 1950-1960, seseorang tidak boleh begitu saja menebang pohon harus ada alasan jelas dan ada ritual-ritual tertentu dalam agama asal sebelum pohon itu boleh ditebang. Kehidupan tumbuhan bisa lebih dihargai oleh peradaban yang dianggap biadab dan penyembah berhala oleh agama sekarang.
Bapak Anand Krishna juga menyoroti rendahnya kesadaran penduduk daerah/lokal karena sistem pendidikan yang sangat memprihatinkan sebagai sebab utama kenapa tindakan serakah para cukong kayu dan para oknum pejabat pemerintah korup masih bisa terus berlangsung dengan dukungan masyarakat sekitar.
Selain itu juga kegagalan kita dalam melihat kehidupan ini secara utuh, padahal Soekarno sendiri pernah mengutip kata-kata Tat Twam Asi yang arti nya melihat kehidupan ini dimana-mana. Ia tidak membedakan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.
Sebenarnya membedakan kehidupan dunia dan akhirat inilah kelemahan utama kita sehingga tidak melihat kehidupan sebagai suatu yang utuh, karena jika kita melihat kesatuan dan keutuhan ini maka kita tidak akan semena-mena melakukan berbagai tindakan termasuk membabat hutan dengan alasan apapun. Dikatakannya, agama yang sekarang ada memang ‘meng-agamakan’ seseorang tetapi tidak memanusiakannya. Jika agama memanusiakan kita maka harmonisasi akan tercipta dan marilah kita mulai dari diri kita sendiri.
Di penghujung acara sekali lagi Bapak Anand Krishna menekankan kembali pentingnya pendidikan kita untuk diperbaiki, karena dari sinilah semuanya berasal baik itu wiraswasta, birokrat, politisi, mahasiswa atau masyarakat awam, semuanya bermula dari pendidikan. Dengan tegas beliau mengajak kita semua: “Marilah kita bersuara. Angkat bicara terhadap ketidak adilan dan kejahatan yang terjadi pada Ibu Pertiwi Indonesia.”
Laporan oleh:
Johanes Budiman & Rini
The Torchbearers-Anand Ashram
1) The Torchbearers adalah kelompok muda-mudi Anand Ashram yang peduli akan masalah-masalah kebangsaan kita saat ini dan berusaha membuka wawasan generasi muda Indonesia untuk turut serta memikirkan dan mencari solusinya.
2)Anand Ashram adalah komunitas lintas agama yang didirikan oleh Bp. Anand Krishna, seorang humanis dan penulis buku paling produktif (versi Gramedia Pustaka Utama) dengan jumlah buku spiritual lebih dari 60 buah. Seperti Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda Tetapi Satu), Bp. Anand Krishna mengajarkan Persatuan melalui keaneka-ragaman dan menumbuh-kembangkan kepedulian akan budaya dan nasib Bangsa Indonesia.