Denpasar (ANTARA News) – Anand Krishna (51), tokoh spiritual lintas agama kembali meluncurkan buku yang diberi judul Sandi Sutasoma “Menemukan kepingan jiwa Mpu Tantular” di Denpasar, Kamis.

Buku setebal 300 halaman itu merupakan imajinasi karya apresiasi tokoh humanis yang mengacu pada lontar Sutasoma karya Mpu Tantular yang dibuat enam abad lalu.

Apresiasi dan peluncuran buku Sandi Sutasoma “Menemukan kepingan jiwa Mpu Tantular” dilakukan bekerjasama dengan RRI Stasiun Denpasar yang dihadiri sejumlah tokoh budaya dan agama di Bali.

Anand Krishna yang juga ketua Yayasan Anand Ashram, menulis buku tidak kurang dari seratus judul, namun buku yang diluncurkan kali ini memiliki keistimewaan, karena diharapkan mampu sebagai alat untuk membangkitkan kembali roh Mpu Tantular.

Selain itu juga membangun kembali jiwa dalam setiap diri manusia yang sudah lama tertidur, untuk mengubah anak bangsa siap menerima tantangan.

“Buku Sutasoma adalah surat yang tidak terbaca oleh Gajah Mada pada saat semestinya ia membaca. Ketika membacanya ia sudah tidak mampu menindaklanjuti isinya, karena fisiknya sudah lemah,” ujar Anand Krishna.

Buku itu dinilai sangat menggelitik, tegas dan cerdas mengulas kembali kitab Sutasoma dan menguraikan maksud dan tujuan yang tersirat dalam kisah legendaris Sutasoma. Hal itu dilakukan mengingat tidak banyak yang paham tentang pesan yang tersirat dalam kisah, bila dibaca secara langsung.

Ia berharap, lewat buku Sandi Sutasoma ingin menyampaikan kepada setiap anak bangsa, bahwa pesan yang disampaikan Mpu Tantular sangat relevan sepanjang jaman.

Di tengah pergolakan gerakan separatisme yang marak di Indonesia seperti RMS di Maluku, Bintang Kejora di Papua dan Gerakan Aceh Merdeka perlu dilakukan langkah antisipasi, sehingga “kanker ganas” itu tidak akan menggerogoti tubuh manusia.

Hal itu sangat penting dilakukan, karena kekuatan asing sudah menyusup masuk dan sedang bekerja untuk memperbudak bangsa ini, lewat penjajahan bidang budaya, sosial, kepercayaan dan ekonomi.

“Dengan dikuasainya budaya, sosial, kepercayaan dan ekonomi kita kehilangan jati diri, dan setelah itu mengubah politik menjadi sangat mudah,” tutur Anand Krishna.(*)

Editor: Bambang