“MENGATASI KONFLIK DENGAN PEMAHAMAN KEBHINEKAAN”
Diperlukan pemahaman kembali makna bhinneka tunggal ika untuk mengatasi potensi konflik yang disebabkan persoalan agama yang akhir- akhir ini banyak terjadi di tanah air. Dengan memaknai kembali bhinneka tunggal ika dalam kehidupan sehari-hari maka bangsa Indonesia dapat terhindar konflik berkepanjangan yang hanya membawa bangsa ini ke dalam keterpurukan. Demikian rangkuman pendapat sejumlah pemuka masyarakat dan berbagai agama, Prof Dr. Franz Magnis-Soeseno, Dr. AS Hikam, Drs. Oka Diputera, Drs, Ida Bagus Supriadi dan Anand Krishna dalam diskusi lintas agama yang dilakukan dalam rangka perayaan HUT Yayasan Anand Ashraam yang ke-13 di Padepokan One Earth, One Sky and One Humankind, di Ciawi, Selasa (14/1).
Menurut Ketua DPP Walubi, Drs. Oka Diputera, konsep bhinneka tunggal ika sebenarnya sudah diajarkan dalam buku Sutasoma karya Mpu Tantular. Dengan konsep kebhinnekaan itu Kerajaan Majapahit mampu mempersatukan rakyatnya yang berlatarbelakang agama yang berbeda, sampai akhirnya kerajaan Majapahit mencapai kejayaannya.
Menurut Oke, sumber konflik selama mi seringkali terjadi karena kurangnya penghormatan terhadap perbedaan agama yang berkembang dalam masyarakat. “Masing-masing saling menjelek-jelekkan satu agama dengan yang lain,” ujarnya. Inilah salah satu sumber konflik yang dirasakannya saat ini. Celakanya sejumlah tokoh agama malah memperkeruh situasi seperti ini dengan memberikan pengertian yang keliru kepada umatnya.Seharusnya bila terjadi perbedaan pandangan seharusnya perbedaan tadi dipakai sebagai alat pemersatu, sehingga ibaratnya negara ini sebuah taman yang penuh dengan aneka bunga yang warna warni, ujar Ida Bagus Supriadi, tokoh muda Hindu.
Ditambahkan Franz Magnis-Soeseno, seharusnya dikembangkan sikap saling melindungi antar pemeluk agama yang berbeda. Pemeluk agama yang minoritas harus merasa terlindungi di tengah masyarakat dengan pemeluk agama yang mayoritas. Begitu juga dengan adanya perbedaan yang disebabkan keaneragaman suku bangsa di Indonesia. “Seperti yang saya rasakan selama ini,” ujar Franz.
Sayangnya, lanjut Franz, masih banyak anggota masyarakat yang masih tidak dapat berpikir toleran terhadap sesamanya. Beberapa di antaranya malah menyebarkan perasaan kebencian. Sehingga timbullah konflik-konflik yang dilatarbelakangi perbedaan agama dan perbedaan suku bangsa.
Karena itu, lanjut Anand Krishna, diperlukan proses pembelajaran dan pemahaman kembali makna bhinneka mulai dan lingkungan terkecil. Dan keluarga, dan sekolah dan mulailah dan dalam diri kita sendiri,” kata Anand yang pada saat bersamaan meluncurkan buku berjudul “Soul Quest, Journey From Death to Immortality”.
Menurut Anand, pemahaman kembali makna bhinneka tunggal itu harus dilakukan mengingat perubahan-perubahan yang begitu cepat terjadi. Pandangan berbeda diungkapkan AS Hikam. Menurut mantan Menristek era Gus Dur yang juga aktivis DPP PKB Kuningan ini, penghormatan terhadap praktek bhinneka tunggal ika selama ini lebih disebabkan kurangnya hak-hak dasar warna negara dipenuhi dan itu sudah dilakukan sejak jaman orde baru. Misalnya hak dasar seseorang untuk menentukan agama pilihannya. “Dulu misalnya pemerintah menilai Kong Hu Chu bukanlah agama, ini merupakan kejahatan terbesar,” kata AS Hikam.
Karena itu menurut Hikam diperlukan semacam gerakan moral untuk mendorong masyarakat untuk mempraktekkan pola kehidupan yang nyata. Termasuk gerakan moral yang dipelopori oleh perkumpulan-perkumpulan spritual dan lintas agama yang akhir-akhir ini banyak berkembang. “Sehingga pemahaman bhinneka tunggal ika tidak hanya sebatas yang tertera dalam KTP atau passport,” kata Hikam.