Salam Indonesia,

Saat itu saya sedang duduk santai di sebuah saung, di padepokan One Earth (lengkapnya One Earth One Sky One Humankind , berlokasi di Gadog, Ciawi, Jawa Barat – ed.), ketika Maria Darmaningsih , penari, seniman, dan seorang sahabat lama, mengundang saya untuk menghadiri acara temu calon presiden di Graha Bhakti Budaya, TIM, yang diadakan dalam selang tiga hari kemudian, tepatnya pada hari Senin, 14 Juni 2004.

Maria menyampaikan undangannya pada hari Jumat sekitar jam 10 malam, atau mungkin setelah itu. Keesokannya, hari Sabtu, saya mendengar berita tentang berpulangnya Sri Susuhunan Pakubuwono XII. Sedianya saya akan segera berangkat ke Solo untuk melayat, tetapi saya mengurungkan niat itu dengan penuh keyakinan bahwasanya ruh almarhum tak akan keberatan bila saya tidak menghadiri upacara pemakaman bagi jasadnya dan lebih mengutamakan pertemuan dengan para capres – pasalnya, pada pertemuan itu, untuk pertama kali beliau-beliau akan berbicara mengenai visi mereka tentang kebudayaan. Sayang sekali, Maria tidak bercerita sebelumnya tentang acara ini. Dia pun tidak bercerita bahwa dirinya dipercaya sebagai wakil ketua panitia. Bila dia bercerita, saya sudah pasti akan memberi beberapa pendapat kepadanya untuk disampaikan kepada para panelis yang sudah dipilih.

Sebab itu, pandangan-pandangan saya akan saya tuangkan lewat tulisan ini…. Siapapun yang kelak terpilih sebagai presiden Republik Indonesia, saya berharap akan memperhatikan coretan singkat yang saya buat ini – that is to say , bila sang pemimpin bersedia untuk mendengar pendapat-pendapat yang mungkin kurang populer, tetapi, bagaimanapun juga berasal dari rakyat yang dipimpinnya.

Definisi Budaya

Agaknya masih terjadi kesimpangsiuran di antara para panelis dan barangkali panitia yang menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada para capres. Adakalanya “rasa malu” dianggap sebagai budaya, padahal itu sekedar norma, etika yang bersumber dari budaya. Kemudian, “rasa malu” itupun berubah-ubah wujudnya dari satu budaya ke budaya lain. Misalnya salah satu budaya, bahkan kepercayaan, boleh jadi membenarkan penyembelihan hewan atas nama agama dan budaya. Dan acara seperti itu boleh ditayangkan secara bebas, bahkan ditonton oleh anak-anak kecil – dengan demikian membiarkan hal itu seolah menjadi sesuatu yang wajar, bahkan ketika anak-anak itu bersorak gembira saat melihat darah. Tetapi, pada saat yang sama bila ada tayangan yang memuat kekerasan dan adegan-adegan berdarah yang tidak terkait dengan agama dan budaya – maka itu dipermasalahkan. Poligami dan poliandripun kadang tidak dipersoalkan, dan orang yang melakukan tidak perlu merasa malu karena punya dukungan dari kepercayaan yang dianutinya.

Lalu, hal-hal yang menyangkut pornografi ataupun pornoaksi – siapa yang harus menjadi watchdog dan dasar apa yang harus dipakainya? Banyak penari asal Yogyakarta sekarang menolak untuk menari, bahkan mempromosikan tarian Jawa, karena dianggapnya tidak sopan. Baju yang mereka pakai sangat terbuka. Bila dasar itu yang dipakai, maka Candi Sukuh dan Cetoh harus juga “disensor” atau “dikuburkan”.…Nasib yang sama juga menimpa sekian banyak arca-arca peninggalan zaman dahulu kala dan dari tradisi-tradisi Keraton. Lantas, bagaimana pula dengan Monumen Nasional kita yang mewakili Lambang Lingga dan Yoni – Alat Kelamin Pria dan Wanita sebagai Sumber Kehidupan?

Rasanya hanya seorang Ajip Rosidi yang mengangkat perkara budaya dalam pertemuan itu. Panelis lain masih sibuk mengangkat perkara korupsi dan lain-lain yang memang harus dijadikan perhatian oleh para pemimpin, tetapi sudah tidak perlu dibicarakan di forum dengan label budaya seperti itu. Atau misalnya perkara jender yang diangkat oleh salah seorang Panelis – yang sesungguhnya dapat didekati dari sisi budaya pula. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para panelis atau lewat mereka terasa sangat umum dan sudah sering dijawab oleh para capres kita dalam berbagai kesempatan temu-bicara.

Jawaban dari Susilo Bambang Yudhoyono terasa to the point dan dari Amien Rais terasa diplomatis – tetapi, itu boleh-boleh saja.

Yang penting, mereka berdua telah hadir, dan itu merupakan suatu terobosan dalam budaya kita di mana “para priyayi” selama ini sepertinya tidak wajib tampil dalam acara semacam itu. Saya sebut mereka para priyayi, karena seorang abangan pun bila menjadi presiden, maka statusnya akan otomatis berubah. Apakah mungkin dia tidak akan mengindahkan protokol negara yang sudah ditetapkan bagi para elit? Bagi saya, abangan dan priyayi tidak ditentukan oleh kelahiran, tetapi oleh jabatan. Maka, pertengkaran antara kedua kelompok tersebut seharusnya tidak terjadi. Dua kelompok itu dapat saling melengkapi dan saling menunjang. Sebagai contoh, bila Amien Rais menjadi presiden atau siapapun menjadi pemimpin atau pejabat tinggi, maka dirinya dan keluarga terdekatnya menjadi priyayi semasa masa jabatannya. Akan tetapi para sepupunya, bahkan orang tua dan mertuanya tidak perlu ikutan menjadi priyayi. Mereka boleh tetap bertahan sebagai abangan. Dan, ada kalanya bila urusan mereka tidak begitu penting, mereka harus antri di belakang seorang anand krishna yang mungkin punya urusan lebih penting untuk bertemu dengan seorang pejabat.

Para senimanpun rasanya sudah terlanjur menganggap seni “saja” sebagai budaya. Oleh karena itu, tidak heran bila terjadi kemerosotan budaya di negeri kita. Sebab itu pula, bila seorang seniman bertanya “apakah SBY sebagai capres akan atau bisa menunjuk seorang seniman sebagai menteri”, maka sangat masuk akal jawaban yang diberikan SBY. Seorang menteri tidak dipilih hanya karena dia mewakili kelompok seniman. Bahkan bila diadakan sebuah departemen terpisah untuk mengurusi kebudayaan — seperti yang dijanjikan oleh para capres – menteri kebudayaanpun tidak harus seorang seniman. Tetapi yang jelas adalah, semua menteri dan semua pejabat harus berbudaya.

Pendapat saya , keharusan bagi seorang menteri untuk beragama dan bertaqwa seharusnya diganti menjadi beradab dan berbudaya. Karena soal agama, taqwa, kepercayaan, iman dan lain-lain itu semuanya urusan Tuhan. Biarlah Dia yang menilai – bagaimana caranya kita akan menilai? Terasa kebangetan kalau kita merampas hak itu dari Tuhan – yang sesungguhnya tidak dapat dirampas. Sementara soal beradab dan berbudaya merupakan perkara duniawi sekali. Dapat dinilai dari gerak-gerik seseorang, dari perilakunya, dari cara-cara yang digunakannya dalam menghadapi suatu situasi. Dalam bahasa Persia kuno, istilah yang digunakan adalah ber -“tehzib” – maknanya persis sama seperti berbudaya.

Istilah budaya merupakan gabungan dari dua kata dalam bahasa Sanskerta kuno, buddhi dan hridaya . Orang yang berbudaya adalah orang yang berbudi baik dan memiliki perasaan. Hridaya berarti jantung – rasa. Dalam satu kata budaya itu sesungguhnya pikiran dan rasa dikawinkan. Tuan-tuan Capres, tuan-tuan besar yang mungkin sedang membaca tulisan ini: bayangkan betapa kayanya budaya asal kita yang bisa menciptakan istilah-istilah semacam ini. Berbudi baik merupakan hasil dari pikiran yang jernih, pikiran yang tidak mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan suku, rasa, agama, warna kulit dan sebagainya. Dan rasa menghasilkan Kasih yang dapat mengatasi segala macam persoalan.

Harapanku Dari Seorang Pemimpin Bangsa

Siapapun yang terpilih – entah SBY, Wiranto, Amien Rais, Hamzah Haz, atau bahkan Megawati bila terpilih kembali – sebagai Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia, dia harus berani melepaskan jubah partai, kepercayaan, dan lain-lain. Dia harus mewakili Indonesia seutuhnya. Bila dia beragama Katholik silakan ber “Haleluyah” di gereja, akan tetapi menghadapi rakyatnya dia harus menyampaikan salam dalam bahasa Indonesia. Tokh , kata salam itu sendiri juga berasal dari Timur Tengah dan sudah tidak ada yang mempersalahkan lagi – jadi apa salahnya jika mengucapkan “Salam Indonesia” atau apa saja asal dalam bahasa Indonesia.

Eksploitasi simbol-simbol agama dan penggunaan gelar-gelar yang berkaitan dengan agama yang dilakukan hanya pada saat menjelang Pemilu harus segera dihentikan. Nilai-nilai dasar dari setiap agama sudah termuat dalam Pancasila. Nilai-nilai sub dan lain-lain yang tidak mendasar, hendaknya menjadi urusan pribadi seorang pemimpin dengan kelompok agama dimana ia bernaung – di luar jam kerjanya sebagai pemimpin bangsa.

Sungguh sangat beruntung bangsa Indonesia bahwa kita tidak dalam keadaan konfrontasi dengan negara manapun juga. Sehingga, walaupun kita harus selalu waspada dan tidak lalai dalam hal pertahanan, anggaran kita untuk pendidikan seharusnya dapat lebih ditingkatkan. Terutama untuk memberdayakan para guru, “menyadarkan” mereka bahwa nasib dan masa depan bangsa berada di tangan mereka. Selain meningkatkan taraf hidup mereka secara materiil, taraf kesadaran mereka, menurut saya harus segera ditingkatkan. Dalam hal ini pendidikan agama saja sudah terbukti tidak cukup. Maka pelajaran budi pekerti dengan menggali nilai-nilai luhur yang terdapat dalam budaya asal kita harus digalakkan kembali.

Sungguh ironis, sebagian besar masyarakat kita masih mengira bahwa budaya asal kita itu berdasar pada hinduisme, budhisme, atau animisme. Sungguh menyedihkan, menyadari bawah pendapat seperti itu juga sering keluar dari mulut mereka yang tidak mempersoalkan hal itu, tetapi bagaimanapun tidak memahami budaya asal kita sendiri.

Setelah mendalami beberapa bagian dari karya kuno I La Galigo dari tanah Bugis yang merupakan epos terpanjang di dunia dan sedikit belajar tentang budaya asal Minang lewat Bundo Kanduang, sekarang saya tidak setuju sama sekali dengan istilah jawanisasi . Karena budaya asal pulau-pulau tersebut sesungguhnya satu dan sama, bukan mirip lagi. Ya, di Jawa, boleh jadi budaya itu masih dilestarikan oleh berbagai kalangan. Untuk itu, kita harus berbesar hati dan mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, termasuk keraton-keraton yang barangkali feodal dalam berbagai hal, dan para pemimpin bangsa terdahulu yang barangkali kurang demokratis.

Pendidikan dan kebudayaan sesungguhnya tidak dapat dipisahkan. Sehingga konsep awal yaitu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebenarnya sudah tepat. Hanya saja porsi budaya saat itu tidak sesuai dengan porsi pendidikan.

Seharusnya, di bawah menteri pendidikan dan kebudayaan terdapat dua direktorat – yang satu mengurusi pendidikan, yang lain mengurusi kebudayaan. Pendidikan adalah wahana yang digunakan untuk mencapai tujuan akhir yaitu manusia beradab. Muatan dari pendidikan itu adalah budaya. Sehingga, budaya itulah yang harus diterjemahkan ke dalam bahasa pendidikan dan disampaikan di sekolah-sekolah. Walau tidak begitu penting, menurut saya, “Depdikbud” harus diubah menjadi Departemen Kebudayaan dan Pendidikan. Karena tanpa budaya, tidak ada pendidikan. Pendidikan yang tidak berbudaya akan melahirkan orang-orang pelupa yang tidak ingat menerima suap di kantong atau di atas meja; orang-orang tanpa rasa malu yang bisa berpesiar ke luar negeri dengan uang negara tanpa memikirkan nasib rakyat jelata. And mind you, all these people are religious – mereka semua beragama. Sayangnya, agama tidak membuat mereka beradab dan berbudaya. Muatan dari pendidikan yang mereka peroleh, rasanya ada yang salah.

Selain itu, tuan-tuan yang saya hormati, bila ingin menghapuskan korupsi, kolusi, dan nepotisme dari bumi Nusantara, maka jalan pintasnya adalah mengharamkan ketiga kata tersebut. Selesai perkara. Anehnya para budayawan kita terus berbicara tentang ketiga hal tersebut. Sejarah panjang budaya mengajarkan pada kita bahwa tikus-tikus di dapur tidak dapat dilenyapkan selama dapur kita tidak bersih. Hari ini kita membasmikan beberapa kecoa, besok muncul lagi. Agenda utama kita bukanlah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme – itu seharusnya menjadi tujuan akhir. Yang harus dilakukan adalah penyadaran masyarakat akan nilai-nilai budaya, sehingga mereka sadar dan tidak melakukan hal-hal yang melanggar susila budaya.

Komersialisasi versus Budaya

Di acara pembukaan salah satu pesta olah raga, wanita-wanita cantik, super model se-Eropa memakai bendera-bendera asal negara mereka. Ini yang akan terjadi dengan Sang Pusaka Merah Putih kita bila kita tidak segera menoleh ke belakang dan menggali kembali nilai-nilai luhur budaya kita.

Bagi para super model itu, bahkan bagi para kepala negara se-Eropa, tidak menjadi soal bila bendera dirobek-robek dijadikan bikini. Dapatkah kita membayangkan hal itu di sini? Atau di Timur Tengah sana bila orang mati dikuburkan begitu saja, walau orang itu berasal dari luar negeri dan sedang menunaikan kewajiban agama. Di sini kita tidak memperlakukan jasad dengan cara itu. Kita harus siap menolak segala sesuatu yang tidak cocok dengan budaya asal kita, entah datangnya dari negeri Paman Sam atau dari belahan Timur Tengah yang dikuasai oleh salah satu keluarga.

Komersialisasi bukan sekedar iklan-iklan yang ditayangkan oleh televisi, tetapi juga pandangan-pandangan komersil yang dipopulerkan oleh kepercayaan. Bahkan upaya-upaya untuk mengkomersilkan kepercayaan yang sudah terjadi dan bahkan berkembang menjadi bisnis. Komersialisasi tidak saja diwakili oleh rentetan kedai siap saji yang saat ini tersebar di seluruh pelosok nusantara, tetapi juga oleh para rohaniwan yang mengkomersilkan kepercayaan dengan berbagai cara. Termasuk, salah satu partai politik yang terus terang memasang spanduk bahwa memilih partai dengan basis agama tertentu akan membawakan pahala di akhirat.

Untuk mencegah pengaruh negatif dari komersialisasi, karena menurut pendapat saya arus komersialisasi tak terhindari, kita harus memiliki “penyaring budaya” yang canggih. Biarlah badai komersialisasi menerpa kita, tetapi kita tetap aman karena berada dalam rumah budaya yang kokoh.

Seorang lelaki menodai bocah di bawah umur dalam perjalanannya menuju tempat ibadah untuk sembahyang pagi. Dalam penjelasan resmi yang diberikannya, ia menyalahkan VCD porno yang ditonton malam sebelumnya. Tontonan VCD porno itu tidak mempengaruhi niatnya untuk melakukan sembahyang pagi, lalu apa yang terjadi sehingga dalam perjalanan ke tempat ibadah tiba-tiba syahwatnya meledak dan menagih? Kemudian, ia pun menyalahkan setan yang menurut dia menggodanya. Tidak ada satupun orang yang berani mengaku bahwa hal semacam itu terjadi karena kegagalan para pemuka-pemuka agama kita untuk meng-”agama-”kan hati umat mereka. Kenapa? Karena, dosa seberat apapun, secara implisit maupun eksplisit sering dinyatakan dapat dihapus dengan ritual-ritual tertentu. Manusia tidak disadarkan akan hukum fisika yang paling utama, yaitu setiap “aksi” pasti ada “reaksi”. Tidak ada penyucian dosa, manusia yang harus bertanggung jawab penuh terhadap perbuatannya.

Tuan-tuan yang saya muliakan, memberi janji bahwa perbuatan sekeji apapun dapat dimaafkan dengan cara-cara tertentu, juga merupakan komersialisasi. Dan hal ini dilakukan bukan cuma lewat layar televisi, tetapi di setiap gang, lorong sempit, dan jalan raya.

Lebih parah dari pornografi, pornoaksi, dan lain sebagainya, yang juga tidak saya setujui, sesungguhnya adalah tayangan-tayangan hidup yang dengan sengaja menurunkan derajat manusia menjadi subhuman bahkan animal – yang membenarkan aksi kekerasan terhadap kelompok dan orang-orang yang berpandangan lain dari pandangan yang dianggap populer.

Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, sama sekali tidak ada upaya untuk mempublikasikan buku-buku yang memuat pemikiran Soekarno seperti “ Di Bawah Bendera Revolusi”. Kenapa? Mungkin karena Soekarno masih dianggap Marxis oleh sebagian masyarakat dan Karl Marx selalu dikaitkan dengan komunisme. Kita takut menjelaskan kepada sebagian masyarakat yang salah paham dan bahkan barangkali belum pernah membaca karya-karya Karl Marx, bahwasanya Marxisme tidak sama dengan komunisme. Dan, bila Soekarno adalah seorang Marxis, maka pada saat yang sama dia pun bisa seorang agamais dan nasionalis.

Saya tidak pernah setuju dengan Manifesto Politik berdasarkan komunisme, entah yang berasal dari Mao Tse Tung ataupun Lenin. Kegagalan sistem itu sudah terbukti. Cina yang masih dikuasai oleh partai komunis juga sudah bukan lagi komunis tulen. Kuba yang sosialis berdiri sendiri di tengah keramaian dunia dan tidak populer. Lalu apa yang harus dikhawatirkan? Walaupun larangan atas partai komunis sudah ditiadakan, saya yakin partai itu tidak akan pernah menjadi besar. Keadaan di sekitar tahun 60-an lain, sekarang lain. Apakah kelompok-kelompok agama kita tidak memiliki kepercayaan diri sehingga menyimpulkan bahwa umat mereka akan meninggalkan agama dan Tuhan untuk bergabung dengan partai komunis? Bila hal itu terjadi, maka para pemuka agama kita patut melakukan introspeksi diri. Apa yang membuat mereka gagal? Apa sebab kegagalan mereka? Akan tetapi, dalam hati kecil, saya pun yakin – walau tidak selalu setuju oleh cara-cara bernuansa kekerasan yang kadang ditempuh oleh para pemuka agama – mereka belum segagal itu. Umat mereka tidak akan berboyong-boyong menjadi anggota partai komunis.That is just impossible, absurd !

Agama-agama yang datang dari luar, Hindu, Buddha, Kristen, Islam, dan kepercayaan-kepercayaan lain yang sampai sekarang belum diakui sebagai agama resmi oleh pemerintah, harus menyesuaikan diri dengan budaya lokal, budaya asal, budaya leluhur kita, sebagaimana telah di contohkan oleh Wali Songo ketika menyebarkan agama di tanah Jawa. Dan untuk itu langkah awal yang harus kita tempuh adalah:

Menumbuhkembangkan Cinta terhadap Ibu Pertiwi

Tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada pangkuan-Nya. Bagiku Indonesia bukan sekedar tanah air. Karena aku bisa berpindah tanah, bisa minum air dari sumur yang lain. Saat ini bila aku hanya ber-”tanah-air-”kan Indonesia, loyalitasku terhadap Negeri Kesatuan Republik Indonesia bisa berpindah – bila esok aku mendapatkan tanah dan air dari Paman Sam, maka itulah tanah airku yang baru. Tetapi, bila aku menerima Indonesia sebagai Ibu Pertiwi, maka berpindah ke manapun juga, Ibu tetaplah Ibu. Aku tidak dapat menggadaikan dia; aku tidak tega menjual perhiasannya; aku juga tidak terima perlakuan yang tidak sopan terhadapnya walau yang berlaku tidak sopan itu adalah ayahku sendiri.

Bagiku surga adalah ladang-ladang-Nya. Agama adalah kesetiaanku pada-Nya. Pengabdian adalah melayani anak-anak-Nya yang lain. Kesopansantunan adalah menghormati setiap tamu-Nya. Itulah budayaku.

Kemudian, bila aku berbudaya seperti itu, aku tidak akan tega menjual “aset-aset”-Nya untuk kepentingan jangka pendek. Aku tidak akan mencemari nama baik Ibuku dengan berkolusi bersama para pedagang yang tidak beradab. Aku tidak akan menerima suap dan demi kepingan emas menggadaikan Ibuku sendiri.

Ibu Pertiwi, lagi-lagi bagiku, adalah wujud nyata Kasih Ilahi. Aku melihat wajah Allah dalam setiap relungan ombak di geraian rambut-Nya. Aku mendengar suara Allah pada hembusan angin yang membelai wujud-Nya. Aku melihat wajah Allah dalam diri setiap putra yang mencintai-Nya. Aku menemukan ayat-ayat Allah bertebaran di sawah-sawah-Nya. Di sawah-sawah-Nya di mana para petani mencucurkan keringat mereka; di lorang-lorong sempit di mana putra-putri-Nya terkadang harus tidur dengan perut kosong; di jalan-jalan raya di mana mereka yang berhasil dan berkendaraan kadang lupa menghormati para pejalan kaki.

Oleh karena itu, saya yakin, bahwa segala macam persoalan dapat diatasi asal kita mulai dengan mengubah mind set kita terhadap negara, memperbaiki hubungan kita dengan Ibu yang telah melahirkan kita dan senantiasa memelihara kita walau kita menodai-Nya.

Sembah sujudku pada Ibu Pertiwi, Bende Mataram …..

Hormatku padamu saudara-saudaraku se-Ibu……

Sekali lagi, Salam Indonesia!

anand krishna

Catatan: Surat ini telah dikirimkan kepada banyak media baik on-line atau cetak bahkan telah dikirimkan pula ke para menteri kabinet Megawati Soekarnoputri.

Di Media Online :
http://astaga.com/pemilu/article.php?id=86233&cat=384