Mereka akan Berpelukan
Bagaimana sikap Gereja Kristen (Protestan) Indonesia dalam menghadapi persoalan bangsa berkaitan dengan semakin meruncingnya pertentangan atas nama agama yang terjadi? Telah kita ketahui bahwa beberapa gereja malah sibuk tarik menarik umat, bukan sebagai berkah bagi masyarakat di sekitarnya. Banyak pendeta menyampaikan kotbah yang provokatif, dan ternyata yang seperti ini justru banyak dilansir oleh media massa, seakan merupakan jualan utama dalam menjalankan Kristenisasi, dengan menjelekkan agama atau aliran yang lain tanpa mengindahkan perasaan mereka yang (tidak) sengaja mendengarnya. Aliran (agama) lain ternyata juga responsif dengan keadaan ini, sayangnya sikap ini tidak dibarengi dengan pemahaman yang cukup pula. Orang Jawa bilang gebyah uyah, jadi pukul rata bahwa biang dari semua pertentangan ini adalah orang Kristen, tanpa bisa (mau) membedakan mana yang Katolik atau Protestan, jadi pertentangan ini tinggal tunggu waktu untuk merambat ke aliran yang lain lagi.
Apa yang terjadi kalau Yesus bertemu Muhammad, bertemu Sang Buddha, bertemu Krishna? Pertanyaan itu dilontarkan Pdt. Nathan Setiabudi, ketua PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) di hadapan sekitar 100 peserta retret 9 Malam menuju Tauhid di Padepokan One Earth One Sky One Humankind. Pdt.Nathan adalah salah satu dari beberapa pembicara yang bersedia datang ke One Earth untuk berbicara tentang esensi dari agama-agama besar, memenuhi undangan dari Bapak Anand Krishna. Tentu beliau adalah sosok yang tepat dalam untuk mewakili agama Kristen Protestan di Indonesia.
Beberapa respon yang muncul dari peserta mungkin sedikit di luar dugaan pak Nathan, ketika muncul jawaban dari peserta ” Mereka akan berpelukan.”, kemudian muncul jawaban lagi, “Mereka akan bernyanyi bersama.”, akhirnya pak Nathan mengungkapkan jawabannya sendiri, ” Ya.mereka akan seperti ini.di sinilah yang terjadi.” sambil menunjuk peserta yang sedang duduk berkumpul di Assalam, yang tentunya berasal dari berbagai latar belakang agama. Dengan penuh keyakinan pak Nathan berkata bahwa pertemuan Yesus dengan tokoh-tokoh tadi itu tidak akan mengakibatkan peperangan, tapi merupakan sumber pencerahan.
Sedangkan untuk memahami esensi ajaran agama Kristen Protestan, pak Nathan mulai dari tokoh sentralnya yaitu Yesus Kristus (Nabi Isa). Kata Yesus sendiri berasal dari bahasa Ibrani ‘Ieshua’ yang berarti ‘Firman Tuhan yang tertulis di Hati’, Kristo berasal dari bahasa Yunani yang berarti raja atau nabi. Selain definisi itu Yesus juga diyakini sebagai perwujudan dari YHWH,”Aku Ada” Yang tak terdefinisikan.
Kemudian disampaikan bahwa kita harus melihat dimana esensi itu dilihat, sebagai teori, doktrin, atau dalam prakteknya. Untuk itu sambil mengutip dari buku Fifth Discipline, karya Peter Shankey pada bab personal mastery, dimana kita perlu untuk melakukan internalisasi dan eksternalisasi. Tentu saja ini berkaitan pencarian keluar tanpa melepaskan identitas kita. Karena bidang apapun yang ditekuni akan sampai pada tahap yang selaras dengan pencarian ke dalam diri itu sendiri, dengan kata lain Pendirian tanpa keterbukaan hanya akan menghasilkan fanatisme, sedangkan Keterbukaan tanpa pendirian akan membuat seorang hanyut dalam arus.
Eksteriorisasi dan Interiorisasi yang dibahas ini menyangkut bagaimana seharusnya umat beragama menyikapi perbedaan. Seperti yang diungkapkan bahwa semakin kita mengenal agama lain, kita akan semakin mengenal agama sendiri. Bila hal itu dikaitkan dengan Kristen, agama ini ternyata mampu berkembang karena mampu mengapresiasi agama yang lain. Walau sekarang figur sentral dalam Kristen, Yesus seolah diperangkap oleh budaya yang mengidentikkan bahwa Yesus adalah kekristenan awal itu sendiri, berasal dari tanah Yahudi dan milik orang Yahudi pula. Padahal Yesus sendiri berdiri ditengah pertentangan yang berkecamuk antara kaum Farisi dan pemberontak, juga diantara kaum Herodian dan Essenes, seperti yang dilakukan oleh kaum yang disebut Markan Communtity pada waktu yang hampir bersamaan dengan Yesus. Mereka sendiri disebut sebagai komunitas spiritual awal yang berusaha menjembatani pertentangan itu, dengan ‘bagaimana hidup bersama’ ditengah pertentangan itu. Satu hal yang menarik di sini adalah pak Nathan menyampaikan dugaan bahwa sewaktu muda Yesus adalah anggota paguyuban Essenes, seperti yang tertulis dalam buku Bapak Anand Krishna (ISA: Hidup & Ajaran sang Masiha). Bahasan tentang ini jarang sekali diangkat dalam sebuah kotbah atau diskusi di gereja manapun di Indonesia.
Forum diskusi itu kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab. Beberapa pertanyaan menarik bermunculan, antara lain menanyakan, juga tentang mengapa gereja-gereja harus terpisah, kalau sama-sama menjalankan ajaran Yesus? Pdt Nathan sendiri menjawab bahwa semua itu bisa dijawab dengan cinta, apabila kita bisa menerima atau menyatukan tanpa menyeragamkan, Mengoreksi tanpa memojokkan, Menguasai diri dalam setiap tindakan.
Kutipan dari injil Matius yang sangat kontroversial “Akulah jalan kebenaran dan hidup, tak seorangpun akan sampai kepada Bapa selain melalui Aku.” Ini sering digunakan sebagai dasar oleh para penyebar injil dalam membuat garis pembatas yang jelas antara Kristen dengan yang lain. Pdt.Nathan menjawab pertanyaan tentang kutipan ini dengan sangat menarik: Kalau aku tidak menjadi ‘Aku’, tentu saja kita tidak akan sampai kepada Bapa. Mendengar jawaban tadi banyak peserta yang cukup surprise, tentu bisa dimengerti, bahwa hal ini jarang sekali kita dengar di gereja, padahal ini esensial sekali mengenai pencarian ke dalam diri. Persepsi dari beberapa peserta mengenai hal ini adalah jangan-jangan selama ini banyak gereja sengaja menutupi makna yang jauh lebih mulia dari ayat tadi, dan justru mempergunakannya untuk melegitimasi bahwa agama Kristen-lah yang paling benar. Meski begitu Pdt.Nathan menyarankan supaya umat beragama tidak terjebak dalam paradigma bahwa agama dan Tuhan-nya lah yang paling benar, hal ini harus diubah dengan cara membuktikan pernyataan-pernyataan parabolis tersebut.
Bagaimana dengan provokasi ke agama lain, yang sering dilakukan pendeta saat berkotbah? Menanggapi pertanyaan ini, pdt.Nathan menjelaskan bahwa Missionaris tidaklah bisa disalahkan, kita tidak boleh membatasi atau melarang seseorang pendeta berkotbah atau mewartakan injil. Walaupun mungkin yang diharapkan adalah pdt.Nathan sebagai pimpinan PGI bisa mengusahakan jangan sampai terjadi lagi provokasi dalam kotbah.
Menanggapi pertanyaan tentang bagaimana sikap resmi gereja tentang pluralitas, sepertinya Pdt.Nathan tidak ada masalah dengan ini, walau beliau sendiri tidak menjamin sikap ini akan bisa diikuti oleh gereja atau pendeta yang lain. Acara ini ditutup oleh sambutan dari bapak Anand Krishna. Banyak harapan dari beliau kepada Pdt.Nathan, mengingat masih banyaknya permasalahan nasional yang terpicu oleh perbedaan agama. Semoga kegiatan ini bisa menjadi media pembelajaran yang sangat positif, dan juga membuka wawasan baru, bahwa persatuan itu ada, dan kasih itu nyata. Satu-persatu lapisan golongan, suku, dan ras sudah mulai bisa dilepaskan, walau masih ada satu yang belum terlepas yaitu agama. Seperti yang diakui Pdt.Nathan sendiri bahwa bila para nabi itu berkumpul, maka akan tercipta perdamaian.
(Oleh Tunggul, dari Yogyakarta)
Related Links:
Lihat Photo Gallery