Salam! Innalillaahi wa inna ilaihi raji’un,
saya sangat berduka cita atas musibah besar yang terjadi di Aceh dan beberapa wilayah di belahan dunia lainnya yg terjadi begitu intens belakangan ini. Musibah yg menelan begitu banyak korban harta dan jiwa ini patut kita jadikan cermin.Musibah besar ini telah membuktikan betapa kecilnya kita dihadapan Sang Khaliq.Jika Allah berkehendak, semua yang hidup akan mati, semua bisa hancur luluh dalam Sekejap.Idealisme dan kepongahan manusia akan runtuh seketika atas Kehendak-Nya.Musibah ini sungguh mengandung hikmah, mengandung pesan Ilahi yang bisa kita jadikan tuntunan agar kita semua bisa hidup lebih sadar dan waspada. Saya merasakan adanya peningkatan kesadaran yg terjadi dlm diri saya demi menyaksikan musibah ini.
Tidak! Tuhan, Allah, Hyang Widdhi, Bapa di Sorga tidak sedang menguji kita, tidak pula sedang menyiksa atau mengadzab kita. Peristiwa naas ini sungguh sepenuhnya terjadi atas ulah kita sendiri, atas kesalahan2 kita sendiri. Setiap akibat pasti ada penyebabnya. Musibah adalah sebuah akibat, dan penyebabnya adalah kekeliruan2 kita, daki-daki kesalahan kita sudah sedemikian tebal. Kita sudah tidak harmonis lagi dengan alam, dengan sesama. Menyikapi musibah ini,sudah sepatutnya kita segera membenahi diri, untuk bisa hidup rukun dan damai dengan alam,dengan sesama.
Amat sangat disayangkan, bahwa sebagian tokoh-tokoh kita di atas sana yang duduk di Majelis-Majelis Agama justru malah meninabobokan kita. Fatwa mereka yg mengatakan bahwa saudara2 kita yg menjadi korban bencana ini adalah mati syahid, justru menyeret kita ke lapisan kesadaran yang sangat rendah! Bukannya kita menyadari kekhilafan dan kenaifan diri, justru kita menjadi bangga karena “merasa” telah menjadi martyr dlm bencana tsb.Jika fatwa ini kita anut, maka tidak akan terjadi peningkatan kesadaran sama sekali dlm diri kita.Pemahaman demikian akan membuat kita menjadi semakin tumpul, enggan mengoreksi kesalahan diri. Kita akan menganggap Tuhan sedang menguji kita. Lebih parah lagi kita akan menganggap Tuhan sedang mengadzab kita.
Bagiku, musibah ini bukanlah ujian, bukan pula adzab. Sebaliknya Tangan Allah, sedang berupaya membersihkan kita dari karat jiwa dan sifat hewani,yg selama ini menguasai kita. Sungguh,selama ini kita begitu bangga memasang topeng kemunafikan.Selama ini kita begitu bangga berbuat nista dibalik jubah kesalehan.Agama dijadikan lipstik. Agama telah kita jadikan dinding syaithoni yang memisahkan umat manusia. Tragis! Penampilan kita begitu agamis, begitu religius, tapi batin kita, jiwa kita masih kering kerontang, masih jauh dari sentuhan Kasih Ilahi.Selama ini kita merasa diri sudah sempurna, sudah beragama, tetapi ajaran2 luhur agama kita injak2. Begitu mudahnya kita mengkafirkan orang lain yg tdk seagama dengan kita. Betapa mudahnya kita menganggap orang yg seagama menjadi martyr bila kena musibah,sementara menganggap orang lain yg tdk seagama sedang ditimpa adzab bila kena musibah. Dimana kasih kita, dimana cinta yang sedang kita bicarakan? Bila rakyat Aceh yg menjadi korban bencanakita anggap martyr, akankah kita menganggap martyr pula warga Hindu yg menjadi korban di India dan Srilanka? Akankah kita menganggap martyr juga warga Nasrani yg menjadi korban di Nusa Tenggara dan Medan? Renungkan, betapa tidak sadarnya kita, akan ucapan2 dan perilaku kita sendiri!
Selama ini cinta kita sangat terbatas,sangat sempit. Kita belum mampu bersatu.Bhinneka Tunggal Ika sebagai ajaran agung,selama ini tinggal sebuah slogan tak bernyawa.Kebersamaan dan persatuan kita seperti kurang darah! Melalui musibah-musibah ini, Allah,Tuhan, Hyang Widdhi, Mahaguru Anand Krishna sedang menyentil kita semua:”Hai bangsa Indonesia, hai umat manusia, tinggalkan berhala-berhala idealisme kalian, tanggalkan keangkuhan kalian selama ini, bersatulah kalian dalam damai dan cinta kasih, jadilah kalian warga bangsa yang bisa menjadi warga dunia!”
Sekian.
Bende Mataram!
Allah Haafiz,
Arief Rahman <masshypnosisx@yahoo.com>