“Seperti mendengarkan kabar dari kampung halaman,” demikian guruji Anand Krishna membuka kata-katanya setelah ibu Ririn menyampaikan sharingnya. Sebuah kebiasaan di Sindh ketika kita semua berkumpul dan berjumpa dengan sanak keluarga ataupun teman dan sahabat yang baru pulang dari kampung halaman. Kita merindukan kabar berita, kisah, hobi, cerita atau apapun tentang kampung halaman. Begitu juga kehadiran ibu Ririn Atika di sini, ia menyampaikan berita dari sana (kampung halaman = Keberadaan – red). “Kapan saja ibu ingin berkunjung ke sini (One Earth), ibu welcome di sini karena kita semua berasal dari kampung yang sama,” demikian kata-kata singkat Guruji. Singkat namun padat dan sarat dengan makna menyambut kehadiran pengarang Dzikir dan Doa yang inti sharingnya sama dengan apa yang disampaikan Guruji tetapi dikemas dalam bahasa yang berbeda.

Kita simak yuk, acara hari itu.

Didahului oleh Litani untuk Ibu Pertiwi, mempersembahkan bunga dan sembah sujud kami semua di hadapannya dan dilanjutkan dengan bhajan. Kelas Jumat yang selalu dimulai tepat pukul 19.00 pun berlangsung. Hari itu, Jumat 16 April 2004, warga Ashram kedatangan seorang tamu yaitu ibu Ririn Atika seorang pengarang buku Dzikir dan Doa.

“Kenapa sih Gusti Allah itu tidak adil?” begitu selalu pertanyaan yang diajukan oleh ibu Ririn sedari kecil. Saat ia mulai dapat melihat perbedaan antara yang kaya dan fakir miskin, ketika itulah pertanyaan-pertanyaan itu mulai muncul di dalam hati dan benak pikirannya. Paradigma yang sangat mencolok dilihatnya yaitu di satu sisi ia melihat kesusahan fakir miskin untuk mencari makan sehari-hari, sedangkan di pihak lain ia melihat ada seorang pamannya yang setiap tahun pasti ‘pesta’ (ratiban-pesta syukuran menjelang keberangkatan haji) dan naik haji untuk menghapus dosa-dosa (“istilahnya khan begitu dan buat dosa lagi nantinya” tuturnya). “Kasihan bener yang miskin ini, makan aja susah apalagi mikirin dosa? Sementara itu yang kaya pergi ke Mekkah dan dihapuskan dosanya sedangkan kelakuannya sehari-hari tidak berubah! Dimana letak keadilan Gusti Allah, katanya Ia Maha Adil?” tanyaku.

Pertanyaan lain yang timbul yaitu: “Katanya orang Islam, koq sesama Islam selalu berantem?” (NU dan Muhamadiyah saat itu selalu saja berantem). Terlahir dari ayah yang orang Nu dan ibu yang keturunan kiai HOS (kiai langitan) NU, ia tumbuh dan besar dengan agama Islam dan tradisi NU. Pendidikan dasar dimulainya di pesantren untuk selanjutnya selalu dititipkan pada pesantren yang lain untuk mondok. Demikianlah caranya mendapatkan pendidikan.

Dalam pesantren pun para santri yang katanya jago ngaji dan seringkali khatam Al-Quran hanya melakukan demi kesombongan saja (di kemudian hari ia baru menyadari bahwa ini adalah “aku/ego’). Dalam lingkungan yang seharusnya religius dan penuh spiritualitas ini tetap saja tidak ia temukan jawaban atas pertanyaan yang semula timbul bahkan muncul pertanyaan-pertanyaan baru. Kenapa orang belajar untuk sombong? Kenapa orang Islam koq begini?
Pertanyaan dan kegelisahaan hatinya ini menuntunnya untuk memulai ‘perjalanan batinnya’

Dari 4 bersaudara ibu Ririn satu-satunya wanita dan ia selalu tidak ‘cocok’ dengan ibunya yang keturunan Kiai Langitan. Sang Ibu demikian ‘tinggi’ dengan egonya. Sampai muncul pertanyaan lagi katanya “Surga di bawah telapak kaki ibu, tapi kalau ibunya gak benar gimana?” Dalam Al Quran ada ayat yang menyebutkan perihal anak durhaka tetapi kalau orang tua yang berlaku sewenang-wenang gimana?”Sekali lagi saya menemukan ketidak adilan Gusti Allah,” demikian tutur ibu Ririn. Dan gerrrrrrrrrrrrr … kita semua yang hadir di Ashram pun tertawa.”Lho, iya coba situ pikir, benar gak Gusti Allah adil?” lanjutnya. Dan gemuruh tepuk tangan pun terdengar disusul dengan tawa kami semua. Ibu Ririn demikian polos dan ceplas-ceplos dalam menyampaikan sharingnya.

Sampai puncaknya adalah pemberontakan dia atas ‘ego’ ibunya itu. Caranya ia menikah dengan seorang Muhammadiyah yang miskin dan tinggal di desa. Seluruh keluarga seperti kebakaran jenggot dan merasa harga diri mereka tercoreng moreng tetapi pernikahan itu tetap dilaksanakan.

Kehidupan pernikahan ternyata malah menambah ‘beban’ bagi dirinya, namun tetap ia menjalaninya. Dari sini ia mulai usaha simpan-pinjam untuk orang-orang miskin tersebut tanpa bunga dan singkat cerita ia tertipu dan masuk penjara (oleh pembimbing spiritualnya ia disuruh tidak menyogok dan langsung masuk ke penjara). Sejak usia 4 tahun menurut pengakuannya ia telah didampingi oleh seorang kakek tua tetapi ia tidak dapat berbicara dengan beliau. Nah setelah dalam penjara inilah ia dapat berkomunikasi dengan sang kakek. Penjara merupakan mula olah batinnya, ia mulai berjalan. Selama di penjara (kebetulan ia diberikan sel terpisah karena menyusui anak yang ke 3) inilah ia digembleng. Ia mulai mengerti bahwa semua apa yang dipertanyakaan dan apa yang dijalaninya adalah untuk pembersihan diri.

Menurutnya manusia punya 3 macam penyakit yaitu: keakuan/ego, sok suci dan minta selalu dipuji ini semua disebutnya nafsu. Inilah yang membatasi fithroh (kasih Allah/nurani) untuk masuk ke dalam kita. Selama ini ke tiga penyakit itu menguasai pikiran dan badan kita sehingga kita disetir oleh nafsu dan bukan oleh nurani/fithroh/Kasih Allah. Nah kalau kita sudah merasakan Kasih Allah itu … jika sinar fithroh sudah masuk/nembus maka yang badan ini nantinya yang menggerakkan itu. “Coba deh pasti lain,” tuturnya. Ini yang membedakan Cinta dan Kasih, kalau Cinta masih ada embel-embelnya sedangkan kalau Kasih ya Cuma memberi dan memberi …. Gitu aja terus yo wis gitu aja gak pake mikir-mikir lagi.

Beliau dapat mewujud, saya dapat menyentuhnya dan ia dapat merubah wujud menjadi 5 wujud yaitu: Ifrit, Adam, Eva, Khidir dan Jibril ke limanya mewakili unsur: Api, tanah, angin, air dan ruang. Nah, karena ke 5 nya merasa kesepian mulailah mereka menciptakan keramaian dengan membuat galaksi, planet-planet dan sebagainya. Satu planet di beri air dan mulailah mereka membuat manusia dan keturunannya biar semakin ramai. Ternyata setelah berjalan sekian lama mulai ribut ini Jibril tidak ikutan. Singkat cerita setelah pada berantem ke 4nya mulai bingung dan bilang pada Dzat (Allah) dan ternyata jawabanNya mereka disuruh membereskan sendiri khan mau ramai juga mereka sendiri. Ke 4 nya kemudian minta tolong Jibril, maka turunlah agama-agama untuk mendamaikan bumi tapi ternyata malah makin semrawut. Setelah Hindu dan Budha yang mengajarkan ‘mencari sendiri’ kemudian Isa disuruh mengajarkan Kasih koq gak kena juga, maka mungkin kalau diatur semuanya bakalan beres maka Muhammadlah yang terakhir. Tapi kenyataannya koq gak beres juga bahkan sekarang manusia malah menuhankan hal-hal yang lainnya. Bingunglah ke 5nya. Kemudian Dzat (Allah) bilang :”Satu-satunya cara adalah kembali kepada Dia.”

Nah semuanya sekarang ini mulai kembali bersatu dan kembali ke dalam dirinya. Proses ini sedang berjalan. Kalau ini sudah terjadi maka dunia damai. “Cuma gak semudah itu, yang penting diingat ya 3 hal tadi yaitu nafsu harus kita eliminir, kita harus tetap ingat bahwa ke 3nya milik Dzat (Allah),” demikian ibu Ririn. Lanjutnya lagi setiap manusia akan didampingi oleh malaikat yang menjaganya. Dan untuk mengerti ke arah itu dan untuk kembali ke Dzat maka kita semua harus lahir kembali dan terus mengalami pembersihan. Timbangan kita yang menentukan berapa jumlah malaikat yang mendampingi kita.”Nah, karena situ sudah ngundang saya ke sini coba aja nanti pasti akan menerima sesuatu … gak mudah menerima ini … karena ini ilmu kalau ilmu itu sudah dilakoni sedangkan yang kebanyakan di luar adalah ilmiah karena mereka semua baru tahunya ngasih informasi aja,” lucu gayanya ketika menyampaikan sehingga lagi-lagi geerrrrr …. Kita semua tertawa.”Ekh, iya lho …. Tunggu aja nanti pasti ada sesuatu,” serius bu Ririn menyampaikan sharingnya (namun tetap saja lucu, soalnya ia ceplas-ceplos banget sih apalagi dengan gaya bahasa yang sederhana).

Kunci lain yang diberikan adalah kita harus selalu Sadar, Tabah dan Sabar dalam melakoni kehidupan ini. Selepas dari penjara ia tetap mengalami penggemblengan, kali ini giliran ia dan keluarganya. Di sini ternyata suaminya tidak kuat dan pergi meninggalkannya saat itulah ia berperan sebagai seorang bapak dan ibu bagi ke 3 anaknya. Di saat susah dan tidak ada yang menolongnya ketika ia mulai bertanya kembali, ia melihat sebuah iklan seekor monyet sedang menggaruk kepala sambil berkata : “Susah ya jadi manusia.” Saat itu ia di ‘sadar’kan kembali .. ya siapa suruh jadi manusia .. hehhehe ,” terkekeh ia berkata. Dan kemudian kembali berusaha. Di sini ia kemudian mengerti apa yang dilakukannya ketika berniat menolong fakir miskin malah akan menimbulkan egonya dan ingin dipuji dan ini akan memperparah ke 3 penyakit tadi. Satu-satunya cara agar ia mengerti adalah dengan musibah dan kemalangan yang menimpanya. Tetapi ternyata semua itu adalah berkah bagi dirinya dan bukan kemalangan. Ini merupakan titik balik bagi dirinya.

Berkaitan dengan hal reinkarnasi pak Margento pun bertanya : “Menurut ibu reinkarnasi itu ada ya? terus gimana penerapannya?” “Lho iya pasti ada dong pak, emangnya kalau orang sudah buat baik dapat pahala kemudian buat dosa setelah itu kalau pahala lebih besar dari dosa ia bebas begitu saja?” jawab ibu Ririn.”Tidak pak … ia tetap harus membayar semua perbuatannya, jadi kalau ada seorang suami yang beristri 2,3,4 dan menyakiti istrinya … nanti lihat dia lahir lagi jadi istri ke sekian dan mengalami apa yang dialami istrinya itu,” penjelasan ibu Ririn.”Hukum karma ya bu,” lanjut pak Margento. Bu Ririn menjawab: “Ya mungkin itu namanya ya, saya sih ngertinya cuma itu, ya pasti kita semua bertanggung jawab sama semua perbuatan kita.”

Seorang Peserta berkata :”ia sungguh kagum dan menganggap ibu Ririn seorang wali dengan seluruh penuturan dan pengalamannya.” Ibu Ririn menjawab : “wah ya bukan pak, kalau wali murid iya.” Geerrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr … kembali kami tertawa dengan ceplosan sang ibu. Lalu lanjutnya : “Wah jangan kagum pak, wong saya orang biasa, saya gak berani dikagumi nanti saya lupa dan ingin dipujinya kembali timbul.”

Ibu Ririn menutup sharingnya dengan mengingatkan kita semua yang ingin kembali ke Dzat agar selalu mengingat 3 nafsu tadi yaitu: keakuan, sok suci dan ingin dipuji serta selalu melakoni hidup ini dengan sadar, tabah dan sabar. Itu kuncinya.

Sang moderator hanya bertindak sebagai pengantar dan pembawa acara saja, ia lebih banyak mempersilahkan tamu kita untuk berbicara tanpa mengomentari. Sedangkan di penghujung acara Guruji hanya mengingatkan kita yang sedang dalam perjalanan ‘kembali’ ini seperti permulaan tulisan ini. Tidak ada kata lain yang diucapkannya lagi selain menyambut kedatangan tamu kita ini. Di akhir acara Guruji meminta salah seorang peserta senior untuk menyerahkan seperangkat buku karya Guruji kepada ibu Ririn Atika dan diakhiri oleh acara ramah tamah.

Ternyata seperti yang seringkali Guruji sampaikan

Kita tidak berjalan sendirian
Banyak orang yang mendapat ‘pencerahan’
Dan juga berjalan dijalannya
So … keep on walking my friends

Thanks Guruji