“Kita berkewajiban jikalau benar kita mencintai Ibu kita ini, kita harus menyumbang pada Ibu kita. Kita semua berkewajiban untuk menyumbangkan bunga, bunga untuk mempercantik konde, sanggulnya Ibu kita ini. Harus, semuanya harus menyumbangkan bunga kepada sanggul kita punya Ibu. Engkau bisa menyumbangkan apa?” – Bung Karno, 31 Januari 1966

Proklamator Kemerdekaan Indonesia, Soekarno menggambarkan negara dan tanah air yang kita pijak ini sebagai Ibu Pertiwi. Suatu kali, pernah ia berkeinginan mewujudkan altar bagi Ibu Pertiwi, sebagai sarana setiap putra-putri Indonesia untuk menyatakan rasa terima kasih dan bhaktinya pada Ibu yang telah memelihara dan memberikan air susu kehidupan. Sebuah keinginan yang belum sempat ia wujudkan.

Kini, sebuah patung batu berwarna putih setinggi dua meter menggambarkan seorang Ibu, tangan kirinya memegang bendera merah putih dan tangan kanan seperti melambai atau mungkin memberikan berkah, telah didirikan di Aula As-Salam, Padepokan One Earth One Sky One Humankind milik Keluarga Besar Anand Ashram, di Ciawi, Gadog, Jawa Barat. Menemani Ibu yang sedang tersenyum itu, seekor Garuda gagah, sang lambang pemeliharaan persatuan.

Patung seberat 500 kilogram itu dimaksudkan sebagai altar. Di bawah kakinya, setiap orang dapat mempersembahkan bunga dan wewangian, bahkan menundukkan kepala bersimpuh sembari mengucapkan doa bagi tanah air tercinta. Hari Jumat, 26 Maret 2004 mendatang, akan diadakan seremoni peresmian patung Ibu Pertiwi yang dipimpin langsung oleh Anand Krishna, spiritualis dan penulis yang juga pendiri Anand Ashram. Acara ini terbuka untuk umum.

Sebagaimana diinginkan Bung Karno, altar bagi Ibu Pertiwi pun merupakan sarana untuk menumbuhkan kembali rasa cinta tanah air setiap manusia Indonesia. Rasa yang saat ini sedang mengalami kemerosotan. Altar, untuk siapapun itu didirikan, memang berfungsi sebagai sarana untuk memunculkan sisi-sisi estetik manusia, sang mahluk multidimensional.

Menjadikan tanah air sebagai sosok Ibu yang hidup, dengan sendirinya akan menghidupkan cinta yang juga hidup kepada tanah air – karena sesungguhnya tiap manusia butuh sarana untuk membangkitkan cinta. Hanya dengan cinta yang demikian, putra-putri Indonesia bisa membangun kembali bangsa ini, menghentikan korupsi yang merajalela, mencegah upaya penggadaian negeri bagi kepentingan sesaat, meredam nafsu untuk berkuasa – menginjak-injak kehormatan Ibu Pertiwi.

Keluarga Besar Anand Ashram meyakini bahwa kebangkitan Indonesia akan terwujud ketika manusia-manusia Indonesia telah sungguh-sungguh mampu mencintai Ibu Pertiwi. Di jaman dahulu, seperti diingatkan oleh Bung Karno, ketika tanah air kita yang kaya ini sedang berada dalam satu masa keemasannya, kita menyebut negara sebagai Mataram – yang artinya matar, mater, meeder atau mother, yaitu Ibu.


IBU PERTIWI BANGSA INDONESIA, PELINDUNG DAN PEMELIHARA BANGSA DAN NEGARA INDONESIA TELAH MEWUJUD!

Untuk pertama kalinya, Ibu Pertiwi, ibu yang telah memberikan air, darah dan tempat berpijak bagi bangsa kita, diwujudkan dalam bentuk patung terbuat dari batu putih setinggi 1,80 m.

Dengan satu telapak tangan terbuka memberikan berkah yang terus menerus kepada semua makhluk di bumi Indonesia dan satu tangan memegang bendera Sang Saka Merah Putih, Ibu Pertiwi berdiri dengan anggun di atas altar.

Vande Mataram, Vande Mataram! Hiduplah Ibu, Hiduplah Ibu! Bangkitlah Indonesia!