Tujuan Pendidikan Nasional kita, sesuai bunyi Pasal 3 Undang-Undang (UU) RI nomor 20 tahun 2003, adalah: “…untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bera­khlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

“… beriman dan dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,”— adakah seorang pun di antara kita dapat menjamin dan memastikan dirinya sudah cukup beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa? Adakah seorang pun di antara kita telah memperoleh mandat dari Hyang Maha Esa dan Maha Kuasa mengeluarkan sertifikat semacam itu?

Beriman terhadap siapa?
Terhadap Tuhan.
Bertakwa terhadap siapa?
Terhadap Tuhan.
Maka, siapakah yang hams menilai iman dan takwa seseorang? Jelas, Tuhan juga.

Bandingkan tujuan ini dengan visi Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara: “Pengaruh pengajaran itu umumnya memerdeka­kan manusia atas hidupnya lahir, sedang merdekanya hidup batin itu terdapat dari pendidikan.

“Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnya lahir atau batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekua­tan sendiri.

“Maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk perike­hidupan bersama ialah memerdekakan manusia sebagai anggauta dari persatuan (rakyat).”

Jika iman dan takwa dijadikan tujuan pendidikan, dan sebuah institusi buatan manusia dianggap layak menilainya, maka jelas-jelas itu merupakan penghinaan terhadap kekuasaan Tuhan.

Ketika saya mendiskusikan hal ini dengan seorang tokoh pendidikan, maka dengan gampang ia menjawab, “Ah, itu hanya formalitas saja. Untuk membungkam kelompok-kelompok agamis. Untuk mem­buat mereka senang. Yang dimaksud adalah lanjutan dari iman dan takwa: berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Formalitas, basa-basi, membungkam, membuat senang …. Den­gan cara inikah kita membahas rancangan undang-undang, kemudi­an menetapkan sebagai undang-undang?

Iman dan takwa memasuki wilayah agama, wilayah Tuhan, maka “Akhlak Mulia” dan lain sebagainya terkalahkan oleh kedua kata tersebut. Bagaimana mendefmisikan kedua kata tadi?

Apakah definisi iman .yang sudah baku bagi saudara-saudara kita beragama tertentu, dapat diterima oleh saudara-saduara kita yang beragama lain? Dan, apakah pengertian semua agama tentang takwa sama dan standar?

Pemahkah kita berpikir bila iman dan takwa kepada Tuhan harus ditumbuhkembangkan lewat pendidikan maka kita menempatkan sebuah sistem di atas Tuhan. Sistem itu membantu Tuhan supaya ciptaannya beriman dan bertakwa terhadap-Nya. Sungguh aneh!

Iman dan takwa buah kesadaran, keyakinan yang sudah ada dalam diri setiap manusia. Kesadaran dan keyakinan itu hanya perlu di­ungkapkan. Dan, pengungkapan itu menjadi tugas agama.

Iman dan takwa, kedua kata ini sungguh indah dan sarat makna, namun penempatannya dalam hal ini salah. Iman dan takwa menun­tut kepatuhan. Dan, kepatuhan itu haruslah muncul dari keyakinan karena sadar, bukan paksaan. Menumbuhkembangkan kesadaran inilah yang menjadi tujuan agama.

Saya masih mengutip Ki Hajar: “Dalam pendidikan harus senan­tiasa diingat, bahwa kemerdekaan itu bersifat tiga macam: berdiri sendiri, tidak tergantung kepada orang lain dan dapat mengatur dirinya sendiri.

Dengan menjadikan iman dan takwa tujuan pendidikan, dan men­gamini peran sebuah institusi untuk menilai keimanan dan ketakwaan seseorang berdasarkan tolok ukur atau standar yang ditentukan oleh sekelompok manusia, maka seorang penguasa dapat menciptakan manusia-manusia yang “patuh”. Janganlah sekali-kali mengharapkan manusia yang “merdeka” lahir dan batin.

Janganlah sekali-kali mengharapkan seorang pembaharu, seor­ang visioner yang dapat melihat jauh ke depan dari suatu sistem yang merampas kebebasan manusia.

UU Perkawinan kita sudah merampas hak kita untuk menjalin hubungan sesama anak-bangsa yang tidak seagama. UU Pendidikan menciptakan manusia-manusia patuh karena takut. Peraturan-per­aturan di beberapa daerah berkiblat pada hukum agama. Sementara para pejabat dan wakil rakyat tertidur lelap, seolah semua sudah ber­jalan baik.

Tidak, semua tidak baik! Saatnya Bung, Mas, Jeng, Neng, kite bersuara ….. Bersuara demi kebebasan dan kemerdekaan jiwa anak bangsa.

Memanusiakan manusia, menumbuhkembangkan nilai-nilai perikemanusiaan, membangun budi pekerti semestinya menjadi tu­juan pendidikan.

Percaya pada Darwin atau tidak, kite semua lahir dengan warisan awal, yaitu insting-insting hewani. Makan, minum, tidur, seks—inilah warisan dimaksud. Bagaimana melampaui urusan-urusan dalam pengertian tidak terjerat dalam urusan-urusan itu saja—inilah tujuan pendidikan.

Jika para pejabat dan wakil rakyat belum juga memahami hal ini, maka kita pun tidak perlu merengek-rengek dan mengharapkan pe­mahaman mereka. Perubahan dapat dilakukan sekarang dan saat ini juga, mulai dari lingkup terkecil dan terdekat: Keluarga Anda sendiri. Anda tidak membutuhkan izin, peraturan, maupun perundang-un­dangan.

Penulis: Anand Krishna, Pendiri Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa), Penggagas berbagai Gerakan Populer.

Tulisan ini dimuat di Majalah SARAD No. 85 Mei 2007