“Hakekatnya ada dua tegangan dalam hidup manusia yang saling tarik menarik dan menimbulkan kreatifitas. Bagi saya, agama full of passion, penuh semangat yang berkobar-kobar jika tidak agama itu mati,” Ulil mengatakan lalu lanjutnya sambil mengutip perkataan Sukarno: “Agama yang sudah padam apinya tinggal abu saja, maka agama ini harus ditinggalkan.” Artinya setiap saat kita harus ‘menciptakan’ agama baru yaitu dengan cara memaknai kembali setiap hal … memperbaharui pandangan kita mengenai agama.
Tulisan di atas adalah cuplikan perkataan Ulil Abshar Abdalla – direktur jaringan Islam Liberal pada diskusi mahasiswa bulanan yang diselenggarakan Sabtu, 12 Februari 2005 oleh The Torchbearers – Anand Ashram. Diskusi kali ini sangat spesial, disamping menampilkan tokoh yang luar biasa, acara pun demikian menarik. Para hadirin demikian antusias dalam mendengarkan bahkan juga ikut ambil bagian dalam sharing, sampai-sampai acara yang biasanya selesai pukul 18.00 WIB ini diperpanjang hingga pukul 19.30 WIB dengan jeda waktu untuk sholat maghrib.
Walaupun suasana gerimis kecil namun Aula As-Salam telah dipenuhi oleh para mahasiswa dan teman-teman dari Anand Ashram. Dibuka tepat pukul 16.00 WIB, acara diskusi mahasiswa di padepokan One Earth, One Sky, One Humankind ini terasa menyejukkan. Wandy Nicodemus sebagai moderator memperkenalkan para pembicara yaitu: dr. Sarbini (Ketua Tim Medis Mer-C – relawan Aceh, Maya Safira Muchtar dan Ulil Abshar Abdalla (yang sedikit terlambat).
Dibuka dengan mempersilahkan Ulil untuk berbicara, namun ia memberikan kesempatan kepada pembicara lain. Wandy pun mempersilahkan dr. Sarbini untuk berbicara.
Tak dinyana dan diduga, dr. Sarbini adalah orang Aceh asli, ia lahir, besar dan kuliah di Aceh. Hari ke dua setelah kejadian gempa dan Tsunami ia telah berada di lokasi dan melihat pemandangan yang sangat mengerikan, mayat dimana-mana dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Dikatakannya kondisi Aceh lebih parah dibandingkan dengan kondisi di Irak, Irak dan Afghanistan pasca perang.
“Kendala utama yang dialami oleh kita bangsa Indonesia adalah kurangnya pengetahuan, kita memang tahu Tsunami itu apa dan juga taifun/tornado, tapi tidak tahu cara menanggulanginya,” demikian dr. Sarbini berkata. Mengawali ceritanya dengan kabar pagi hari sekitar jam 8an yang didapat dari keluarganya di Aceh, yang mengatakan ada gempa besar seperti tahun 1968 dan saat itu keluarganya baik-baik saja dan lalu dari pukul 9 dan seterusnya Aceh tidak dapat dihubungi, dr. Sarbini yang hari itu bertugas di rumah sakit pun hanya tahu ada gempa besar saja. Baru ketika rekan-rekannya bertanya tentang Aceh dan Metro TV menyiarkan berita saat itu juga ia dan rekan-rekannya rapat dan membentuk tim yang langsung keesokan harinya berangkat ke lokasi.
Memori tentang Aceh yang indah runtuh dalam sekejap ketika ia menapakkan kakinya di bandara. Shock bercampur trauma itu yang dialaminya. Berjalan ke kampungnya sangat sulit, rumah yang ditemui sudah rusak 70%nya, lumpur hitam yang tebal bercampur dengan minyak sangat tidak mungkin untuk dibersihkan. Keluarganya yang diberitahu kerusakan rumah tidak percaya dan datang ke Aceh untuk membersihkan dan ketika melihat sendiri mereka pun mengakui lumpur itu tidak dapat dibersihkan.
Ada trauma tersendiri yang dialaminya mengetahui keluarga inti 8 orang sudahtiada dan 25 orang dari keluarga besarnya musnah, ibupun tidak ditemuinya walau hati kecil mengatakan beliau masih hidup. Namun mau dicari dimana? Sedangkan rakyat banyak membutuhkannya. Dengan cara menolong orang lain sebagai tugas utama seorang dokter, ia berhasil keluar dari rasa trauma yang dialaminya. Selain itu cara pandang bahwa: Tuhan adalah pemilik tunggal kehidupan sehingga ketika Ia memanggil milikNya tentu kita harus mempersilahkan Ia mengambilnya dengan cara apapun, pandangan ini sangat membantunya menghadapi trauma.
Ia menyimpulkan ada dua situasi utama yang dihadapi:
- Trauma yang muncul karena peristiwa gempa dan Tsunami
- Rasa takut yang berlebihan yang menimbulkan respons social yang rendah (contohnya enggan membantu orang lain), dan juga rasa frustasi yang tinggi.
Oleh karena itu respons positif yang didapat Aceh dari bantuan dunia, danberbagai elemen agama di negeri ini sangat membantu. Karena bencana ini tidak saja untuk rakyat Aceh tetapi juga untuk Indonesia dan juga dunia. Dan ia sangat berharap tidak ada lagi peperangan di tanah Aceh, dengan adanya perundingan RI-GAM diharapkan “Badai Tsunami dan Gempa” ini menjadi mentari baru bagi Aceh untuk membangun dirinya. Biarkan bantuan yang ada membuka mata rakyat Aceh untuk merasa kesatuan dan persatuan dengan Indonesia , dan juga agar rakyat Aceh sadar dan tidak sombong.
Satu yang disesalkan oleh dr. Sarbini adalah : “Teman-teman yang membantu di sana (Aceh) selalu sibuk dengan membawa ‘bendera’nya masing-masing, mengapa tidak melepaskan itu semua dan ikhlas membantu sesama?” Selain itu diakuinya juga ada beberapa oknum orang Aceh yang mengambil kesempatan dalam kesempitan dengan menaikkan sewa kendaraan secara gila-gilaan. Dan ini juga sangat mengecewakannya.
Ulil sebagai pembicara ke dua, mengatakan Gempa dan Tsunami yang terjadi di Aceh adalah agar kita semua mampu merenung dan refleksi ke dalam diri.Semuanya membuat kita berpikir kembali tentang keimanan kita. Dikatakannya manusia tidak pernah bisa diam, selalu ada jarak antara alam dan dirinya. Berbeda dengan dunia binatang, ketika mereka lahir, mereka sudah kongruen dengan alam semesta sehingga tidak ada jarak lagi, mereka menyatu dengan alam semesta. Manusia harus menciptakan dunianya sendiri agar selaras dengan alam. Rumah-rumah yang hancur bisa dilihat dari sisi fisik tetapi sekaligus simbolik dalam artian turut hancur pula “rumah diri atau jiwa” manusia. Dari sini mungkin akan muncul pemaknaan kembali akan segala sesuatu yang terjadi. Dan muncul pula pertanyaan Dimana Keadilan Tuhan?
Pertanyaan ini muncul karena konsep kita mengenai Tuhan yang Monoteistik (agama-agama Samawi), ketika kita menganggap Dia adalah muara segalanya. Kalau Tuhan Maha Baik tentu Ia juga Maha Buruk, di sini biasanya kita menolak yang Maha Buruk sehingga keadilanlah yang dipertanyakan. Menurutnya penganut Tuhan Polyteistik tidak terlalu sulit menghadapi suatu kejadian yang buruk, karena Tuhan yang bepekerjaan yang buruk-buruk itu memang ada.
“Guncangan” ini sangat terasa di Lisabon abad ke 18 ketika kaum Katholik pun mempertanyakan hal yang sama tatkala terjadi bencana banjir yang dahsyat. Saat itu rumah gubernur Lisabon yang anti Katholik selamat sedangkan gereja hancur.
Hal yang sama dialami Islam ketika Mongol menyerang Baghdad . Islam sangat terguncang karena Kerajaan dari orang-orang beriman bisa dihancurkan oleh kaum kafir (bar-bar). Ke duanya menimbulkan sinisme agama, demikian pula yang terjadi di Aceh, bedanya masjid tidak hancur. Dari sini muncul dua sikap, yang satu bersikap pasrah – fatalistic, dan yang lain berontak dan mempertanyakan mengapa Tuhan demikian?
Makna Tsunami bagi orang beriman juga bermacam-macam:
- Azab dari Tuhan
- Ujian dari Tuhan
- Kita tidak tahu tetapi Allah punya rencana tersendiri
Ulil tidak berpendapat pada ke 1 maupun ke 2 karena dikatakannya : “God is busy everday.” Emangnya Tuhan gak punya kerjaan lain. Geerrrrrrrrrrr … peserta pun tertawa.
Namun ia lebih condong kepada yang ke tiga, karena menurutnya:
- Sebagai manusia kita punya kontribusi pada apa yang kita lakukan. “I’m responsible for everything I do.” Dari sudut pandang antropologi hal ini dimungkinkan karena kelalaian kita pada terumbu karang, hutan bakau, dan lainnya menyebabkan Aceh tidak punya perlindungan alam. Selain itu juga kita harus selalu mawas diri. Kita harus punya Early warning system. Kita selalu hidup dengan musuh sehingga kita harus ‘sadar’ dan dapat mengelola segala sesuatu dengan baik (contoh penyakit flu).
- Agama is not the big solution, kesalahan fatal kita semua (seluruh agama) adalah menyatakan agama dapat menjawab seluruh hal. Padahal tidak seluruhnya dapat kita kembalikan pada Tuhan, contohnya: masa’ kalau sakit ke Tuhan, kalau melahirkan ke Tuhan? Ya sakit dan melahirkan ya ke dokter, kalau mau bikin jalan masa’ ke Tuhan ya belajar sipil dan bangun jalan …. Grrrr … tawa peserta membahana. Dan tidak seluruh tindakan Tuhan harus kita pahami, ada misteri tersendiri dengan kehadiran Dia. Manusia hidup dalam misteri dan juga sibuk untuk membongkar misteri dan ini yang menciptakan ketegangan dan kreatifitas manusia. Agama bagi saya is full of passion. Ini ditunjukkan dengan symbol penghancuran 360 berhala oleh Muhammad, di sini yang dihancurkan bukan berhalanya tetapi keberagaman agama yang telah padam apinya. Seperti yang dikatakan Sukarno: “Agama yang sudah padam apinya tinggal abunya saja, maka agama harus ditinggalkan.” Maka bagi saya pribadi setiap saat akan ‘tercipta’ agama baru pemaknaan baru. Hijab yang ada harus kita singkap pelan-pelan, kita harus dapat memaknai fenomena alam dengan kreatif.
Sebelum beralih ke Maya Safira, Wandy menggarisbawahi kaum fatalistic yang pasrah pada keadaan dan jika kita tidak dapat mengambil pelajaran apapun dari kejadian ini sangat sayang sekali. Kita yang selama ini men’sosok’ kan Tuhan, mencoba mempersonifikasi Dia, mungkin benar – mungkin juga kurang benar, mungkin cara pandang kita salah dan ini yang menjadikan sikap hidup kita salah? Dengan mengutip BBC tentang konsepsi kita mengenai Tuhan bisa bermacam-macam (mempersonifikasikan Dia), Wandy membuat satu bahan renungan buat kita semua.
Maya Safira Muchtar, mengatakan Tragedi Aceh adalah Tragedi Indonesia dan dunia. Ia mempertanyakan ketika Syariat Islam diberlakukan, apakah penerapannya yang salah? Atau ada sesuatu yang salah dengan ini semua? Dengan menyinggung kisah terbunuhnya Hamzah Fanshuri seorang tokoh besar di Aceh dan juga menyitir surat An-Najm tentang peringatan Allah akan kesadaran manusia. Ia memulai sessinya. Selanjutnya Maya lebih menerangkan pada penemuan dr. Masaro Emoto tentang air yang sangat berkaitan dengan pikiran manusia. Demikian juga dengan alam, karena hakekatnya alam adalah kekosongan sehingga keadaan kosong ini akan merefleksikan pikiran manusia. Contohnya: ketika kita berteriak di gunung, maka suara itu akan bergema. Jadi alam sebenarnya bisa merasakan apa yang kita rasakan. Maka sebaiknya kita tidak bertengkar dan muter-muter melulu di konsep, tetapi juga supaya kita mampu merasakan Cinta kepada Tuhan. Aceh membutuhkan kelembutan jiwa dan jika mereka tertutup maka rasa ini tidak akan mampu ‘masuk’, maka ia pun meminta Aceh untuk membuka diri dan merasakan Cinta. Do everything with LOVE and feel it.
Sebelum beralih ke sessi diskusi dan sharing, Wandy mencoba menarik benang merah dari para pembicara kali ini, dikatakannya bahwa : yang menarik dari semua adalah kita harus mencoba untuk bertanggung jawab atas segala perbuatan kita karena alam adalah refleksi dari pikiran kita semua.
Dari floor, Inez yang adalah istri Ulil, yang pertama kali sharing dengan bercerita pengalamannya ikut pengajian di lingkungannya. Dikatakan bahwa menurut ustadzahnya bencana Aceh adalah murni hukuman dari Allah karena Aceh menjalankan syariat hanya sekedar kewajiban saja, dengan mengatakan ia dapat fotocopyan ombak yang bertuliskan lafadz Allah yang didownload dari internet Dan ia bertanya pada dr. Sarbini, benarkah perempuan Aceh sudah demikian parah mentalnya, kabarnya mereka mulai menjajakan diri? Pak Jabar, mengatakan secara langsung begitu kejadian ia langsung menilai siapa muslim dan siapa bukan muslim berdasarkan hadits. Ada hadits yang mengatakan bahwa “kalau satu bagian tubuhmu sakit maka yang lainnya turut merasakan sakit itu.” Di situ langsung terlihat nomor satu yang turun adalah negara-negara yang kita golongkan kafir, bahkan Arab Saudi dan negara Islam sekitarnya baru menyumbang setelah “disindir” dan itu pun sangat sedikit sekali padahal mereka adalah negara kaya yang notabene adalah negara Islam. Kemudian ia melanjutkan bahwa terjadinya kerusakan di darat dan laut itu karena ulah manusia, sehingga Allah Maha Adil dan tidak bisa salah dalam menjatuhkan hukuman. Menurut ibu mertuanya (yang orang Aceh), orang Aceh itu degil sih. Lebih lanjut jika ditelaah lebih dalam lagi, sebenarnya Allah Maha Kasih dan Maha Sayang, seperti proses pemurnian, itulah yang terjadi. Saat ini Aceh lagi di suling lagi dari H2O untuk menjadi H2 dan bersatu dengan Sang Khalik, dan ini suatu proses untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi lagi. Dengan mengutip sebuah ayat yang kurang lebih artinya: “jika kau sungguh-sungguh ingin mencapai Ku maka akan kutunjukkan jalan-jalan kepadamu” pak Jabar pun mengakhiri sharingnya.
Sedangkan Sulaiman mengatakan segala sesuatu yang terjadi ada hikmahnya. Ketika ajal tiba tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi Tuhan. Menurutnya Tuhan itu lucu karena dalam salah satu perkataanNya dalam sebuah ayat dikatakan: “Aku menciptakan manusia yang penuh dosa.” Selain itu Sulaiman juga berpendapat bahwa tragedi Aceh adalah tragedi untuk kita semua, agaknya kita telah mensalah pahami Tuhan.
Kemudian Wandy mempersilahkan dr. Sarbini untuk menanggapi pertanyaan yang ditujukan untuknya. Aceh adalah kumpulan dari bangsa-bangsa ada Arab di situ, Cina , Indonesia dan Hindia di situ. Jadi menurutnya pemahaman kultur adalah cara yang tepat untuk penyelesaian konflik.
Sebelum jeda untuk sholat maghrib Erwin, teman kita dari Lampung pun urun pendapat. Menurutnya Hamzah Fanshuri mempunyai kontibusi besar dalam mengangkat bahasa Melayu yang nantinya akan diangkat sebagai bahasa pemersatu bangsa Indonesia . Selain itu ia juga seorang dengan pandangan Tauhid Universal yang lebih mengutamaan sifat Ar-Rahman dari Allah. Apa yang hilang dari budaya Aceh? … kelembutan dan Tauhid Universal ini. Aceh harus kembali pada sufisme yang juga dibawa oleh Syah Kuala. Yang seharusnya menjadi gema pikiran kita adalah Allahu Akbar … Yaa Rahman …. Yaa Rahman Setelah itu Erwin pun menyinggung RUU Kerukunan Umat beragama dan mempertanyakan tentang adanya satu ayat yang menyatakan darah muslim untuk kaun muslim dan orang non muslim tidak dapat menjadi donor darah bagi kaum muslim. Erwin berpendapat: darah sesama manusia hukumnya halal tidak ada label haram, terkecuali darah anjing misalnya. Ia menilai RUU ini membawa kemunduran bagi umat Islam contohnya selain donor darah tersebut juga hukum rajam untuk yang berzinah dengan ketentuan harus ada 2 orang saksi yang melihat, ini kemunduran besar bagi umat Islam katanya. Hukum ataupun undang-undang harus dilihat secara lebih dalam lagi karena jika tidak akan membawa bencana bagi seluruh umat manusia.
Sedangkan Nino mengatakan ada banyak hal yang harus dilihat dan sudah waktunya kita semua harus dapat menerima perbedaan. Karena menurutnya rumors yang didapat adalah Tsunami terjadi karena perayaan 25 Desember 2004 yang lalu, padahal faktanya tidak seperti itu, dia mengajak kita semua melihat dan menerima perbedaan yang ada.
Ibu kita yang satu ini memang sedikit berbeda, ibu Norma melihat keberagaman Aceh dari sisi makanan, tarian dan juga budaya. Disinggungnya bahwa dari hal itu saja kita bisa melihat jaman dulunya Aceh itu adalah orang-orang yang terbuka dan mampu menerima dan berasimilasi dengan berbagai orang dengan budaya yang berbeda-beda. Tetapi mengapa sejak syariat masuk ke bumi rencong ini semua menjadi kaku dan keras, ia berpendapat sebaiknya kita semua kembali ke sufistik dan tidak terjebak dalam syariat yang kaku dan keras.
Pertanyaan dan sharing terakhir dilontarkan oleh pak Gito yang sejak selesai break menunggu bapak Ulil. Ia membuka dengan mengatakan yang hadir dalam diskusi ini berbeda dengan yang lain, jadi pak Ulil diminta untuk menjawab dengan radikal. Dalam Tuhan pasca Tsunami dalam harian Kompas yang ditulis Ulil, dikatakan bahwa Tuhan tidak pernah bisa menjawab tuntas seluruh permasalahan. Agama monoteis ‘terlanjur’ menempatkan Tuhan sebagai sosok yang selalu salah. Pertanyaannya: Apakah perlu mereposisi Tuhan ataukah kita hanya cukup merasakan saja?
Pertanyaan ini langsung dijawab Ulil, dikatakan radikal sebenarnya adalah cara berfikir sampai ke akar ataupun inti masalah dan kita tidak terbiasa melakukannya. Sehingga ketika menemui orang yang berfikir sampai ke akar dan berbeda dengan orang yang lain maka dikatakan radikal dalam pengertian negatif. Menjawab pertanyaan mengenai reposisi Tuhan, dijawab ya setiap saat kita harus melakukannya. “Kita harus berani membuka didi akan pemaknaan Tuhan dari berbagai arah, karena Tuhan itu unlimited,” katanya lebih lanjut. Baginya setiap hari adalah destruktif sekaligus konstruktif sehingga tiap saat ia menemukan makna baru. Mengutip Iqbal: ” ketika manusia menganggap didi hanya sebagai lempung maka pada saat itu Tuhan mati.” Karena Tuhan itu unlimited, Dia hidup dan Dia adalah nyala pelita yang bisa menyalakan pelita dalam diri kita. Sehingga bagi saya tidak ada Islam tetapi yang ada adalah mengIslam secara terus menerus. Ketika kita sudah menyatakan Islam berarti sudah mati – Islam is something outthere seperti paket delivered Mc.Donald sudah ada nama pemesan, alamatnya tinggal dikirim dan ketika sampai tinggal disajikan dan dimakan. Islam bukan paket praktis yang mass production dan tinggal dimakan saja. Baginya Islam yang seperti ini adalah Islam ‘kapsul’ yang melupakan racun bagi kita karena kita tidak akan berkembang dan inilah yang dikatakan Karl Marx agama merupakan candu. Dalam agama Budha pun dikatakan jika kamu bermeditasi dan menemukan budha dalam diri maka bunuhlah dia. Esensi yang ditangkap adalah kita harus ‘membunuh’ ketenangan, kenyamanan, keamanan dan seterusnya, karena ini akan menghentikan proses kreativ kita. Dikatakan karena baginya Tuhan unreachable dan sebuah misteri sehingga upaya ini harus dilakukan secara terus menerus untuk mereposisi Tuhan dan juga kita harus aktif terus menerus memahami Tuhan dari segala arah. Agama bukan hanya untuk ‘berdagang’ ataupun yang mempunyai neraca dosa/pahala yang jelas, dan ini yang terjadi tidak saja dengan Islam tetapi juga dengan Kristen, Yahudi, Farisi yang disinggung dalam Al-Quran. Sehingga memaknai fenomena alam dengan kreatif menjadi kunci utama. Islam adalah satu proses yang terus menerus.
Tuhan meliputi segalanya tidak ada deviasi (tidak ada penyimpangan dariNya) karena Ia adalah elemen nyata. Deviasi terjadi ketika kesadaran orang itu turun, merosot dan tidak ada cahaya hati, manusia menganggap dirinya lempung. Padahal manusia adalah ruh Tuhan, jiwa Tuhan dan spirit Tuhan sehingga deviasi tidak semestinya terjadi. Menekankan kembali kisah penghancuran berhala oleh Nabi Muhammad, dikatakan Rasul menghancurkan yang tidak ada cahaya Tuhan, segala sesuatu yang tidak memancarkan sinar Tuhan dalam dirinya itu yang dihancurkan. Karena keberadaan cahaya inilah yang membuka jiwa kita akan segala sesuatu. Kita ini semua insecure in front of God sehingga seharusnya kita beragama dengan sehat tidak ada ambigo dan iman yang baik adalah iman yang up and down karena sifat dinamis ini yang mengantar kita untuk terus menerus berkembang. Kreatifitas membuat agama sebagai berkah dan agama ‘kapsul’ adalah racun bagi kita. Beragama juga sebuah proses dengan keyakinan dan tanyakanlah pada dirimu dan jawaban yang benar adalah yang keluar dari lubuk hatimu yang terdalam. Dan agama yang benar seperti Ali Syariati katakan adalah agama yang terus menerus direvisi itulah agama yang dikehendaki oleh Tuhan.
Dan menjawab Sulaiman, Ulil mengatakan Tuhan bukan ‘melucu’ tetapi benar-benar itulah yang diinginkanNya karena dalam salah satu hadits dikatakan Jika dunia terisi oleh manusia yang taat maka Tuhan akan menghancurkan dan mengisinya kembali dengan sebagian manusia yang membangkang dan sebagian lagi taat.
Menyinggung yang disampaikan pak Jabar dikatakan kita semua jangan GR (gede rasa) ketika dalam Al-Quran dibilang agama yang terbaik, sebenarnya kita harus membuka diri dengan kritikan tidak hanya ekstern tetapi juga intern artinya kita harus instrospeksi diri seperti halnya dikatakan jika kaum Yahudi dan Nasrani berbuat sesuatu dan tidak dibenarkan dalam Al-Quran sebaiknya kita mawas diri juga apakah kita berlaku demikian. Sehingga jika memahami ini barulah berkah akan muncul dan agama menjadi berkah bagi kita semua.
Beralih ke dr. Sarbini, ia mengatakan jika ada yang melarang transfusi darah dari yang non muslim orang itu sakit jiwa. Sesuai dengan medical record apabila donor darah itu golongan dan rhesus serta trombosit dan lain sebagainya setelah dites cocok untuk pasien maka langsung menjadi donor tanpa membedakan agamanya. Bukan karena syariah Islam. Kemudian ia pun menerangkan bahwa di jaman Sultan Iskandar Muda berkuasa ada 2 mufti besar yaitu Hamzah Fanshuri dan Nurruddin Ar Raniri yang berpengaruh. Hamzah adalah sufi sedangkan Ar Raniri ahli fiqh, dan karena politik maka Ar Raniri memfitnah Hamzah hingga jatuhlah perintah Sultan untuk membunuh. Dari sini kemudian jaman Belanda Ule Balang dibunuh karena ulama, DOM, Gam sehingga rasa percaya diri perlahan surut dan kecurigaan meninggi. Sampai dengan sekarang konflik yang terjadi sudah pasti mempengaruhi genetik rakyat Aceh. Padahal asalnya budaya Aceh adalah budaya pantai yang terbuka dengan siapa saja. Contohnya di Pakoman antara Cina yang Budhis dan rakyat Aceh yang muslim semuanya rukun. Entah darimana ketertutupan ini muncul. Oleh karena itu ia pun menghimbau rakyat Aceh untuk terbuka dan instrospeksi diri karena pembangunan harus segera dilakukan tidak saja secara fisik tetapi menyeluruh. Tsunami yang terjadi adalah upaya rekonstruksi ulang untuk rakyat Aceh.
Sebelum menutup acara diskusi ini, Wandy mengungkapkan memang refleksi tidak pernah seragam, tetapi bagaimana cara kita melihat Aceh dan merefleksi ke dalam diri, intinya adalah ke dalam diri itu yang diperlukan.
Sambil menghangatkan suasana Guruji berkata jika test DNA dilakukan pasti Mahathir, Sarbini, Benazir dari genetik yang sama, dan beliaupun setuju dengan pendapat Ulil, Islam is on going process. “Jangan sekali-kali menyatakan dirimu sebagai muslim biarlah Allah Ta Alla yang menyatakan bahwa kamu adalah seorang muslim.”
Sumbangan Islam yang terbesar adalah runtuhnya sekat antara manusia dan Tuhan. Hubungan kita dan Tuhan adalah direct dan inilah Ijtihad terbesar nabi Muhammad. Ini dilambangkan dengan mesjid yang lapang dan siapapun bisa masuk berbeda dengan candi misalnya. Sehingga sangat disayangkan apabila kita tidak berijtihad padahal menurut Al-Quran dikatakan Nasrani dan Yahudi itu musyrik karena mereka mempercayai imam-imam mereka secara membabi buta. Kritikan itu sebenarnya bukan ditujukan pada dua golongan di atas melainkan juga kepada kita semua.
Syariat Islam sebenarnya sangat dinamis dan fiqh sangat membingungkan maka segala sesuatu diseragamkan dan dibekukan. Kita semua terjebak dan terbuai oleh luarannya saja dan tidak pernah bisa menghujam langsung ke akar, begitu juga dengan sholat kita baru badannya saja tetapi jiwanya tidak. Ketika nabi Muhammad mendapat wahyu pertama, ia bukan seorang yang buta huruf dan bibi Khadijah tidak salah memilihnya. Ia seorang yang cerdas dan bibi Khadijah mendukungnya dengan membawa ke pamannya yang seorang pendeta dikatakan Muhammad adalah nabi. Perintah untuk ‘membaca’ atau Iqro sebenarnya adalah membaca ayat-ayat Allah yang bertebaran di alam semesta. Dan jika kita tidak dapat membaca ayat Allah melalui Tsunami Aceh ini maka secara terus menerus Tuhan akan mengirimkan ayat-ayatNya sampai kita dapat membacanya.
Sehingga seharusnya kita menggali kembali budaya asal kita, Indonesia membutuhkan kelembutan karena inilah sifat dasar kita. Jika kita mau merubah jiwa kita maka Al-Quran berisikan keindahan yang bermakna universal. Beliaupun mengakhiri dengan tawaran untuk program pasca Tsunami, program untuk PTSD. Dikatakan kita semua harus berani berijtihad, harus bekerja sekarang. Yoga terbukti mampu mendetoksifikasi otak dan program ini ditawarkan untuk membantu tanpa membawa bendera apapun. Acara pun berakhir dengan lagu dan bingkisan dari Anand Ashram untuk para pembicara.
Laporan oleh The Torchbearers
http://www.anandkrishna.org