Sungguh beruntung saya bisa mendapatkan tiket pesawat ke Yogyakarta, hari Sabtu (20 Desember 2003) itu.Menjelang Natal, tiket pesawat memang biasanya sudah “fully-booked”.

Hari Minggu, 21 Desember 2003, Guru Kami, Anand Krishna dan puluhan teman dari Anand Ashram di Jakarta, akan memulai “roadshow” ke berbagai kota di Jawa, sambil mementaskan pagelaran Sufi Mehfil atau Pesta Para Sufi. Dimulai dari Yogyakarta, kota budaya yang istimewa, lalu dilanjutkan di Solo (23 Desember), Pacet (25 Desember) dan Semarang (28 Desember).

Saya tak bisa mengikuti keseluruhan acara roadshow karena jadwal pekerjaan yang cukup padat di kantor. Bisa hadir sehari di Yogyakarta saja, sudah membuat saya sangat merasa beruntung. Setelah terlibat langsung dalam pagelaran Sufi Mehfil di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, bulan November sebelumnya, saya ingin merasakan kembali “excitement” yang sama, ketika ratusan penonton terbius oleh suasana, atau tepatnya energi yang muncul dari tarian sufi yang menjadi persembahan utama Sufi Mehfil pada saat itu. Begitu hening, begitu damai…

Bagi kami, roadshow semacam ini, bukanlah sekedar berjalan-jalan dan membagi kegembiraan melalui tarian, yang dipopulerkan oleh Jalaluddin Rumi ini. Seperti dikemukakan berkali-kali oleh Pak Krishna (sebagaimana kami memanggil beliau), roadshow ini adalah sebuah persembahan bagi Ibu Pertiwi.

Mengapa demikian? Ada baiknya kalau saya kutipkan, sebagian isi siaran pers yang kami sebarkan berkaitan dengan kegiatan ini:

“Seni dengan nafas spiritual yang terkandung dalam Sufi Mehfil ini, sengaja dipersembahkan bagi masyarakat luas karena keprihatinan yang mendalam terhadap masih besarnya ancaman perpecahan masyarakat akibat pengkotak-kotakkan berdasarkan suku, etnis maupun agama, hingga saat ini – yang disebabkan karena merosotnya kesadaran akan kehalusan jiwa dalam diri manusia.”

“Sufi Mehfil, sebenarnya, hanyalah salah satu bentuk seni bernafaskan spiritualitas dari sekian banyak bentuk lain – yang banyak berkembang di bumi Nusantara sejak dahulu kala – yang bertujuan: membangkitkan “Rasa”, ataupun “Kasih” dalam diri.”

“Well,” bagi saya pribadi, ini adalah ‘jihad’. Berkat meditasi dan kebersamaan di Ashram, saya sekarang bisa menghargai pentingnya peran seni (yang menurut saya, sejatinya tidak bisa dipisahkan dari spiritualitas) dalam membangkitkan ‘kesadaran’ atau ‘Rasa’ dalam diri manusia. ‘Rasa’ yang memungkinkan seseorang tidak lagi menonjolkan “perbedaan”. Melainkan, melihat keharmonisan di balik warna-warni suku, etnis maupun agama.

Kebangkitan “Rasa” pula, yang semestinya menjadi fungsi sekaligus tujuan seni dan budaya dalam membangkitkan kembali peradaban suatu bangsa.

Lewat Sufi Mehfil, kami ingin mendekatkan seni pada masyarakat. Seni memang seharusnya tidak bersifat eksklusif, dan hanya dinikmati oleh sekelompok masyarakat tertentu atau intelektual. Seni yang bermutu, ya semestinya bisa seperti “layar tancap”. Bisa dinikmati oleh siapa saja, di mana saja. Di pasar, atau di gedung, tak masalah…

Sejak sore, hari Minggu itu, Kota Yogyakarta diguyur hujan gerimis. Menjelang pagelaran di Gedung Societet, yang terletak berdekatan dengan pasar ikan dan pasar buku, hanya satu-satu mobil maupun sepeda motor yang memasuki halaman parkir kompleks Taman Budaya Yogyakarta itu. Saya sempat kecut, dan mulai membandingkan dengan apa yang terjadi di Jakarta. Belum lagi melihat kondisi Guruji yang sedang tidak sehat. Oh…

“Stop!” saya berkata dalam hati. Seberapapun pengunjung yang datang, itu urusan Allah. Kami datang untuk berbagi rasa. Hasilnya, semestinya tidak mempengaruhi kesungguhan dan semangat di dalam hati.

Acara sempat diundur sekitar 15-an menit, untuk memberikan kesempatan pada mereka yang terlambat. Teman-teman yang saya undang, dari salah satu LSM Islam yang cukup terkemuka, di Yogyakarta, ternyata hadir. Saya juga melihat kedatangan Mas Danarto, seorang Cerpenis senior. Alhamdulillah!

Lalu, mengalirlah acara itu, meski gedung yang berkapasitas 300 tempat duduk itu, hanya terisi sekitar sepertiganya. Maria Darmaningsih, penari kawakan kami yang hari itu baru tiba dari Jakarta, memainkan peran dialog serta tarian tunggalnya dengan apik dan gemulai. Begitu pula dengan Elsa Surya, Nino Graciano, serta para pendukung acara lain dari Jakarta dan dari Ashram Millenia Yogyakarta, semua tampil sepenuh hati. Wow!

Saat Tarian Sufi, yang jadi acara pamungkas, digelar selama 30 menit non-stop, wajah-wajah penari memancarkan kedamaian. Di bawah bimbingan Sang Murshid, mereka menari untuk Tuhan. Berputar pada poros kaki, berlawanan arah dengan jarum jam, sebuah simbol untuk memasuki diri sendiri. Senyuman tersingkap dari sebagian wajah mereka. Dada saya terasa penuh. “Lihatlah dan rasakan kualitas cinta itu,” saya seperti bergumam sendiri.

Lalu, hening kembali, di saat para penari menjatuhkan diri dan melakukan Fiqr dipandu oleh Guruji: “Jernihkan pandanganku Ya Allah, Ya Rabb; Agar aku dapat melihat wajah-Mu di barat dan di timur…”

Sambil menarik dan menghembuskan nafas. Sejenak kemudian, para penari bangkit, dalam suasana yang tetap hening.

Mereka menyanyikan lagu Indonesia Pusaka secara bersama-sama. Kendati, terdapat gangguan teknis terhadap “soundsystem” yang ada, mereka dan kami semua tetap menyanyi bersama, sepenuh hati.

Malam itu, sekali lagi, saya merasa sungguh beruntung: mendapatkan pelajaran tentang cinta dan kesungguhan untuk berbagi. Lakukan dengan dan demi cinta, maka tak pernah ada yang sia-sia. Malam itu, tak ada gemuruh tepuk tangan seperti pada malam bulan November di Jakarta. Tapi, terdapat kualitas yang masih tetap sama. “I can feel it.”

Malam itu juga, saya bergegas menuju ke stasiun kereta api untuk pulang ke Jakarta, agar bisa masuk kantor Senin pagi. Teman yang saya undang menonton, mengirimi SMS, “tolong beritahu alamat Ashram di Yogyakarta ya?” Lalu, saya sibuk mengirimi SMS pada para sahabat Anand Ashram yang ikut “berlaga” pada malam itu. Mengucapkan selamat, menyatakan kebanggaan saya pada mereka. I love you all. I love You, Guruji!***

Wandy Nicodemus