Budaya berasal dari kata budhi yang berarti penghalusan pikiran dan daya yang berarti hati yang memiliki emosi, seni , dan rasa.sehingga budaya juga berarti segala hasil dari cipta rasa dan karsa yang berasal dari budhi pekerti yang luhur. Budaya juga berarti suatu hasil karsa manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup seirama dengan perkembangan manusia yang dipengaruhi oleh tujuan hidup karena yang pasti manusia tidak hanya sekedar hidup tetapi diyakini untuk mencapai keabadian itu sendiri.

Ketika pikiran yang telah mengalami proses penghalusan ini bertemu dengan hati maka akan menghasilkan budaya. Sehingga budaya tidak akan pernah mati bahkan akan berkembang terus seiring meningkatnya kesadaran manusia sebagai pendukungnya.

jika dilihat kembali kebudayaan-kebudayaan yang berkembang di Indonesia terutama yang masih terlihat jelas yaitu di Bali, dapat kita ambil benang merahnya bahwa kebudayaan-kebudayaan yang berkembang di sekitar Asia tenggara adalah peradaban lembah sungai Sindhu. Hal ini dalam waktu dekat dapat dilihat dari penelitian DNA, ada dasar yang sama dan ada suatu kebesaran peradaban yang sama.

Kebudayaan saling mengarifi, dan apresiasi serta menghormati setiap perbedaan yang ada karena perbedaan tidak bisa dihapuskan dan dibalik perbedaan itu ada sesuatu yang dilihat yang tidak lain adalah kesatuan itu sendiri. Sehingga dimanapun kita berada akan selalu mengingat jati diri dan hakikat hidup yang sebenarnya. Demikianlah untaian mutiara yang dilontarkan bapak Anand Krishna dalam membuka symposium yang diadakan di One Earth Ciawi Bogor,sabtu siang 15 januari 2005 yang menghadirkan 4 orang budayawan Indonesia. Diantaranya yaitu Prof Magnis Suseno seorang budayawan, Bapak Adi Suripto seorang dalang, ibu Ninuk Kleiden dari pusat penelitian kebudayaan, dan Bapak Yunus.

Acara symposium ini digelar karena adanya keprihatinan terhadap gejala perpecahan bangsa yang timbul akhir-akhir ini, dan gejala intoleransi yang belakangan marak di Indonesia. Dan symposium ini dirasa sangat perlu sekali melihat budaya-budaya yang ada di Indonesia sangat kompleks. Bahkan menurut bapak Yunus salah seorang pembicara mengatakan bahwa di Indonesia ini tersimpan kurang lebih 500-an ethnic budaya. Sehingga ketika membicarakan budaya Indonesia maka akan mewakili ke500-an ethnic budaya yang ada di Indonesia. Karena Indonesia sendiri baru berumur 59 tahun.

Nilai-nilai atau system budaya inilah yang merupakan roh Indonesia itu sendiri karena apabila nilai-nilai ini dilupakan maka akan semrawut karena tidak mamilki pedoman yang kuat dalam membangun jiwa-jiwa penghuni negara tersebut. Seperti dikatakan oleh prof Kuncaraningrat kepada pemerintah, bahwa dalam membangun suatu Negara Indonesia harus membangun budaya. Sehingga dalam perjalanan suatu Negara tidak akan terhempas begitu saja karena tidak memiliki kepercayaan diri yang bisa dibangun  hanya melalui budaya,seperti yang telah kita alami pada tahaun 1998. Saat itu kita sebagai bangsa yang merasa beradab mengalami tidak saja krisis moneter, tetapi yang paling sangat mendasar adalah krisis budaya. Budaya yang selama ini dianggap tidak berarti, merupakan landasan dalam membangun mental dan jati diri bangsa.

Saat ini sifat ramah tamah yang merupakan nilai dasar kebudayaan Indonesiapun sudah luntur. Banyak para wisatawan yang merasa was-was bila berlibur di Indonesia. Hal ini terjadi karena banyaknya kejadian-kejadian yang tidak mencerminkan sifat ramah tamah itu sendiri.

Dalam symposium ini ibu Ninuk kleiden mengangkat masalah ruwatan yang bagi orang jawa sangat penting artinya dan merupakan warisan budaya yang dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil dan bersifat privat dapat diangkat keberadaanya menjadi ruwatan yang bersifat public. Dalam tradisi ruwatan menjadi sangat penting karena setiap individu manusia memiliki kesempatan untuk menjadi sempurna dengan cara meruwat keadaan- keadaan yang dirasa tidak sebagaimana mestinya. Menurut Bapak Anand Krishnapun ruwatan menjadi sangat penting jika ruwatan dimaknai sesuai maknanya yaitu sebuah pertobatan yang benar -benar menjadi awal untuk memulai sesuatu yang baru dan benar benar bertobat tidak mengulangi kesalahan yang telah lalu.

Tradisi ruwatan ini bertujuan untuk meruwat sukerta yaitu membuang kekotoran-kekotoran pikiran yang bisa disebabkan oleh alam  atau manusia itu sendiri.  Ruwatan ini mengandung nilai bukan saja bersifat sejati tetapi juga sugesti karena yang diruwat bukan saja prosesnya melainkan nuraninya yang tidak lain adalah manifestasi dari suara alam dalam hukum alam Rta. Menurut Bapak Anand Krishna, ruwatan ini juga sebuah pengakuan dosa atau instospeksi diri, sehingga tahu dimana letak kesalahan kita dan bertekad tidak akan mengulangi lagi. Inipun sebenarnya adalah budaya karena tekad keyakinan adalah spiritualisme yang mau tidak mau akan membentuk budaya, seperti contoh tari Bali adalah hasil dari expresi dinamis antara mata mulut dan semua panca indra yang bukan tanpa makna. Karena budaya spiritual apapun yang terbaik ditujukan kepadaNya.

Ruwatan inipun merupakan salah satu dari ritual-ritual yang tidak mesti semuanya dimengerti karena yang penting adalah dijalankan karena akan menciptakan suatu pembiasaan untuk menimbulkan kepekaan jiwa sehingga jiwa bisa berjalan harmoni dengan alam dan manusia barupun akan tercipta sebagai manusia masa depan yaitu neoman dengan memiliki neovision.

Begitu pula Bapak Adi Suripto mengatakan bahwa nilai-nilai tradisi jawa yang dibawakan adalah nilai susila moralis yang memiliki muatan nilai susila dan kejujuran yang sangat tinggi. Sehingga budaya adalah nilai-nilai tradisi dari hasil meditasi dalam hidup karena segala sesuatunya menjadi suatu persembahan kepada yang satu itu.

Bahkan tidak semua budaya itu baik karena budaya itu sendiri adalah hasil proses belajar, dan kendalanya dalam tradisi jawa terlalu bersifat metaforis sehingga susah dimengerti. Sehingga kajian budaya sangat penting untuk diinternalisasikan agar dapat dipelajari karena dalam setiap budaya ada aspek intisari yang sama. Inilah yang mendasari symposium ini yaitu untuk menyadari keberagaman dalam kesatuan itu sendiri. Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.

Chicha