Lebih Dahsyat dari Terorisme:
Tiap Menit Lima Jiwa Melayang Karena HIV/AIDS
Terorisme, meskipun terdengar begitu menggemparkan, namun ternyata tak seberapa dalam hal menciptakan korban meninggal dunia. “Jumlah korban yang meninggal karena HIV/AIDS jauh lebih besar, yaitu lima jiwa per menit,” ungkap Faraj (lengkapnya apa???), Ketua Moslem AIDS Project, sebuah lembaga yang didirikan untuk mendidik masyarakat Islam agar lebih peduli dan tidak gampang menjatuhkan stigma terhadap mereka yang mengidap HIV/AIDS.
Faraj, seorang penderita HIV positif, mengemukakan hal itu dalam sebuah diskusi tentang HIV/AIDS yang digelar oleh Anand Ashram di Padepokan One Earth One Sky One Humankind, Ciawi, beberapa waktu lalu (11 September 2004). Bersama Faraj juga tampil Tari, seorang Ibu Rumah Tangga penderita HIV positif yang belum lama ditinggal pergi oleh suami dan anaknya karena HIV/AIDS, serta Baby Jim Aditya, aktivis sebuah lembaga masyarakat yang memiliki perhatian terhadap masalah HIV/AIDS di Indonesia.
Dalam diskusi yang dihadiri puluhan mahasiswa dari Jakarta dan Bogor itu, Baby Jim Aditya menyesalkan sikap munafik dan ketidakpedulian masyarakat pada umumnya terhadap masalah ini. “Padahal, di Jakarta saja, saat ini terdapat sekitar 24.000 orang pengidap HIV positif.” Kemunafikan atas nama agama, adalah salah satu hal yang paling dirasa mengganggu penanggulang HIV/AIDS di Indonesia. Pendidikan seks yang semestinya dimulai sejak kecil pun, sering dianggap tabu, bahkan disamakan dengan zinah oleh sebagian masyarakat. Akibatnya, masyarakat memiliki prilaku yang tidak terkendali soal seks.
“Saya sering melihat bocah berusia belasan tahun, yang bergaya dengan kacamata hitam dan jaket, datang mengunjungi tempat-tempat pelacuran. Juga kakek-kakek berpeci, yang datang tertatih-tatih dengan tongkatnya,” ungkap Baby yang sering melakukan kegiatan sosial bersama-sama para pekerja seks komersial.
Karena minimnya pendidikan seks yang dimiliki, para pengunjung tempat-tempat pelacuran ini seringkali tidak mau menggunakan kondom ketika berhubungan seks. Mereka tidak peduli bahwa HIV akan sangat mudah menulari mereka dengan cara itu. “Berapa banyak suami yang melakukan hal itu dan menulari istrinya di rumah?” Dalam perkiraan Baby, jutaan suami sering mengunjungi tempat-tempat pelacuran. “Bila ada 5 juta suami yang berprilaku demikian, maka berarti ada 5 juta istri yang sangat rentan terkena penyakit.”
Budaya yang menempatkan laki-laki lebih tinggi dari perempuan, dengan alasan agama atau apapun, telah makin memperbesar resiko bagi kaum perempuan untuk tertular virus berbahaya ini. “Seringkali, para pengguna jasa pelacur, tak mau berhubungan seks dengan kondom,” kata Baby. “Meski sudah disediakan kondom oleh si pelacur, mereka tetap nekad. ”
Apa yang dialami Tari, seorang Ibu rumah tangga, adalah contoh dari bagaimana prilaku seksual seorang suami yang tidak hati-hati mengakibatkan bencana bagi keluarga. Anaknya yang baru berusia beberapa bulan meninggal dunia, dan disusul oleh suaminya selang lima bulan kemudian, di tahun ini. “Tadinya, saya tidak pernah menyangka bisa terkena penyakit ini. Ternyata siapapun bisa terkena,” ungkap Tari, yang baru saja mengetahui dirinya mengidap HIV positif, sambil terisak-isak.
Derita para pengidap HIV semakin bertambah dengan sikap masyarakat pada umumnya yang justru sering mengambil jarak dengan mereka. Dengan menampilkan para pengidap HIV/AIDS secara terbuka di depan publik untuk memberikan pendidikan pada masyarakat, mereka kemudian malah dijauhi. Masyarakat, umumnya, memang tidak mengerti bahwa HIV hanya dapat menular lewat hubungan seks tanpa pelindung serta transfusi darah.
Para aktivis seperti Baby dan Faraj sering merasa frustasi dengan sikap masyarakat yang sering mudah menghakimi orang-orang yang terkena HIV/AIDS — seolah-olah yang dialami itu adalah semacam kutukan. Dalam mengkampanyekan penggunaan kondom pun, mereka sering dihadapkan pada soal “haram-halal” yang memusingkan. Bahkan, ada yang menolak iklan kondom. “Padahal, kondom itu kan barang netral,” ujar Faraj yang kemudian mengutip dalil-dalil agama yang intinya mengajak umat Islam untuk “memilih yang terbaik di antara dua pilihan buruk.”
Anand Krishna, tokoh lintas agama, yang hadir dalam diskusi ini dengan nada bergurau mempertanyakan iman para tokoh atau siapapun yang menolak iklan kondom. “Kalau hanya karena iklan kondom, lalu kita semua bisa terangsang, berarti something is very wrong dengan iman kita,” ujarnya. Anand Krishna menyatakan dukungannya pada para aktivis
seperti Faraj dan Baby Jim Aditya untuk terus berjuang. “Kita butuh lebih banyak orang seperti kalian.”
Anand Krishna menghimbau para aktivis untuk belajar mengendalikan emosi, seberapa menjengkelkannyapun masalah yang mereka hadapi. Emosi yang bergejolak akan menciptakan stress dan menguras banyak energi.”Kita sudah kehilangan Munir — aktivis HAM yang baru ini meninggal dunia. Pekerjaan besar buat bangsa ini akan menjadi lebih berat, karena berkurangnya para aktivis semacam Munir.” Untuk itu, Anand Krishna mengundang para aktivis LSM untuk mengikuti program gratis”Berkarya Tanpa Beban Stress” yang akan diselenggarakan pada 25 September 2004. Beberapa tokoh LSM terkemuka sudah menyatakan keinginannya untuk ikut dalam program khusus dan terbatas ini.***