Melanjutkan perayaan ultah ke-15 sehari sebelumnya, Anand Ashram mengadakan simposium budaya pada tanggal 15 Januari 2005 pk. 09:00 – pk. 15:00 dengan tema Memahami Kembali Budaya Bangsa di One Earth, Gadog-Ciawi. Simposium ini diadakan karena concern Bapak Anand Krishna dan keluarga besar Anand Ashram atas gejala perpecahan bangsa karena agama dan mengenal kembali budaya bangsa sebagai jalan untuk mempererat persatuan bangsa. “Seorang anak kecil diajarkan untuk menolak makanan yang dimasak oleh ibunya sendiri yang non-muslim karena dianggap haram” sharing Ibu Norma ketika membuka simposium ini. Beliau juga sangat menyayangkan sikap pengurus Mesjid Istiqal yang menolak Acara Doa 4 Agama Bersama untuk Aceh baru-baru ini.

Dalam kata sambutan sebagai Ketua Panitia, Bapak Abrory Abdul Jabbar, mengharapkan simposium ini dapat memaknai kembali budaya asli yang sudah ada sebelum agama-agama besar masuk ke Indonesia dan menemukan kembali benang merah ke-ikaan dari ke-bhinnekaan budaya dan agama di Indonesia , sehingga Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar dan jaya tapi berbudaya.

“Budaya berasal dari kata Budhi dan Hridaya. Budhi berarti penghalusan pikiran dan Hridaya berarti hati.” demikian ungkap Guruji Anand Krishna ketika memberikan kata sambutan. “Budhi bukan hanya berarti pikiran, tapi pikiran yang diperhalus atau budi pekerti, yang berasal dari kata: prakriti yang berarti nature, sifat dasar manusia yaitu kemanusiaan itu sendiri. Pikiran saja yang berevolusi akan menghasilkan Intelektual. Sedangkan bila Hati saja yang berevolusi akan menghasilkan Seni yang lahir dari emosi. Senggama dari Budhi dan Hridaya ini menghasilkan Budaya. Tapi Budaya bukanlah harga mati; budaya juga bukan kebudayaan masa lalu saja. Budaya berkembang terus, sehingga budaya lalu dan sekarang pasti berbeda tapi ada pasti ada juga benang merah persamaannya” ujar beliau menambahkan.

Bapak Anand Krishna juga menyetujui pendapat Abu Raihan Albaruni bahwa daerah-daerah di belakang lembah Sindhu (daerah Hindustan ) seperti Indiesland, Indocina, mempunyai akar budaya yang sama. Hal ini bisa dilihat dari persamaan dari prosa Bugis I La Galigo dengan cerita-cerita sastra Jawa kuno.

Deputi bidang kerakyatan, kebangsaan dan kemanusiaan sekretariat kantor wakil presiden, Prof. Dr. Gunawan Sumodiningrat M.Ec, juga diminta memberikan kata sambutan. Beliau dengan santai dan jenaka menceritakan bagaimana pertemuan beliau dengan Bapak Anand Krishna, yang sama-sama Wong Solo, telah membuka pikiran dan hati beliau menjadi lebih terbuka. Beliau yang mempunyai misi membangun masyarakat Indonesia baru yang bersatu dalam keaneka-ragaman, Bhinneka Tunggal Ika, adil makmur, berke-Tuhan-an, sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat global dunia, berpendapat bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib suatu negara atau hati seseorang bila negara/orang itu tidak mau merubahnya sendiri. Beliau yang sempat memplesetkan kata Sunter menjadi di-Sun (cium) menjadi sanTer, sebagai tempat untuk mencari jati diri dan ketika kita mengenal jati diri sendiri, kita akan tahu apa yang sebenarnya kita mau. “Karena Tuhan hanya memberikan apa yang diminta”, komentar beliau menanggapi gejolak sosial dan perpecahan yang terjadi di masyarakat Indonesia sekarang ini.

Maka beliau menekankan pentingnya pengertian Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa dalam tiap manusia Indonesia . “Perbedaan itu harus ada (disadari) baru jadi satu” kata beliau sebelum berjanji untuk merealisasikan sosialisasi wawasan kebangsaan berdasarkan surat keputusan sekretaris wakil presiden yang akan di mulai tanggal 28 Januari 2005 di TMII nanti. Dan bersama dengan Forum Kebangkitan Jiwa (sayap dari Anand Ashram) akan berada di Solo pada tanggal 29 Januari nanti untuk mengadakan MTDS (Mengajar Tanpa Dihajar Stress).

Acara dilanjutkan dengan penandatangan prasasti kebudayaan yang dilakukan oleh Bapak Anand Krishna, Bapak Gunawan Sumodiningrat bersama 4 pembicara simposium, yaitu Romo F. Magnis Suseno, Bapak Junus Melalatoa, Ibu Ninuk Kleiden dan Bapak Adisuripto.

Sebagai moderator, Mas Wandy N. Tuturoong, menyoroti ancaman disintegrasi bangsa berkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh Freedom Institute dengan PPIM Universitas Syarif Hidayatullah tentang bertumbuhnya sikap intoleran masyarakat muslim Indonesia terhadap agama lain.  Ancaman disintegrasi ini bisa diobati dengan budaya. Jadi budaya Indonesia itu apa? Apakah budaya itu seperti mesin yang berjalan begitu saja atau harus ada manusia yang menjalankannya? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang diharapkan bisa terjawab seusai simposium kali ini.

Bapak Junus Melalatoa, antropolog dari Universitas Indonesia , pengajar di IKJ serta penyusun Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, menjadi pembicara pertama. Beliau, yang berasal dari daerah Gayo, berbicara tentang kebingungan bangsa Indonesia saat ini karena telah kehilangan nilai budayanya sendiri. Budaya Indonesia yang jumlahnya lebih dari 500 ethnik ibarat roh-roh gentayangan yang sedang mencari bentuk baru yang bias dijadikan acuan bagi perkembangan dan kelangsungan bangsa ini. DanUntuk mengenal budaya Indonesia , kita harus memahami budaya  berbagai daerah dan berusaha mengapresiasi multikultur di Indonesia.

“Tahun 1969, Prof Dr. Kuntjaraningrat pernah memperingatkan Prof Dr. Wijoyo Nitisastro-arsitek ekonomi Orde Baru, untuk tidak melupakan pembangunan budaya (mental) Indonesia ” ujar beliau. Tapi tampaknya hal ini dilupakan sehingga tahun 1998, Indonesia yang mestinya ‘lepas landas’ malah ‘terhempas’ di landasan karena krisis ekonomi, yang menurut beliau, adalahkrisis kebudayaan.

Beliau juga mengharapkan bahwa sebagai anak bangsa, kita tidak ‘durhaka’ terhadap Ibu Pertiwi seperti yang diceritakan dalam hikayat Malin Kundang di Minang atau hikayat Srang Manyang di Aceh. Nilai budaya ada di dalam pikiran dan rasa tiap individu manusia Indonesia yang secara kolektif akan menjadi nilai budaya Indonesia . Budaya Indonesia pun tidak bisa diseragamkan, seperti yang terjadi di jaman Orde Baru, di mana sistem pemerintahan RT-RW-Lurah secara seragam diterapkan di tiap daerah. Padahal di Minang, ada sistem pemerintahan adat lokal seperti Nagari.

Keprihatinan terhadap wawasan budaya oleh para pemimpin bangsa juga dirasakan beliau, ketika beliau sebagai budayawan pernah diundang untuk mencari tanggal lahir sebuah kota   padahal dibandingkan mencari tanggal kelahiran, nilai-nilai budaya di kota tersebut sangatlah penting untuk dilakoni. Pengertian budaya yang sangat sempit dari para pemimpin bangsa seperti inilah turut membuat proses pembentukan budaya Indonesia seperti sia-sia belaka.

Sebagai pembicara ke-dua, Ibu Ninuk Kleiden, melihat pergeseran nilai dan makna yang terjadi ketika dari kebudayaan yang biasa exist di ruang private (pribadi) kemudian dipindahkan ke ruang publik. Contohnya adalah tradisi ruwatan di Jawa. Ruwatan adalah budaya yang tadinya berada di ruang pribadi dan dilakukan pada orang-orang yang sedang terbelenggu dan tidak  tunduk (selaras) dengan alam. Melalui proses ruwatan, orang-orang ini diharapkan menjadi orang-orang yang ‘bebas’ dan selaras dengan lingkungan alam sekitarnya. Bapak Gunawan menyebut ruwatan sebagai pertobatan, sebelum beliau meninggalkan simposium karena ada acara lain.

Tradisi ruwatan juga dikenal oleh etnik-etnik daerah lain, yang berkembang di ruang pribadi, tapi kemudian mulai mengisi ruang-ruang publik dengan alasan sebagai tontonan wisata adat (pariwisata) ataupun sebagai bahan penelitian/diskusi di sarasehan atau temu budaya yang diselenggarakan lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi. Sehingga esensi dari ruwatan ini sudah bergeser menjadi semacam ritual dan tontonan wisata saja.

Perpindahan ekspresi ruwatan dari ruang private ke ruang publik (negara) ini, menurut Ibu Ninuk, mengalami pendangkalan kesadaran politik atau pergeseran nilai dari makna awal tradisi ini sendiri ketika masih berada di ruang private (seperti pendapat beliau di atas).  Misalnya, ketika tradisi ruwatan diadakan di ruang publik (negara) setelah suatu bencana terjadi, seolah-olah dimaknai sebagai ‘lepas tangan’ manusia dari kesalahan-kesalahan atas bencana itu. Seakan-akan bencana terjadi begitu saja, tanpa manusia punya andil dalam terjadinya bencana itu.  Ini suatu cara yang tidak kritis menurut beliau.

Romo Magnis, sebagai pembicara berikutnya, berbicara mengenai beberapa hal rawan yang terjadi di dalam budaya Jawa yang tampak dari luar sangat lembut, halus dan manusiawi tapi ekspresi penyelesaian konfliknya malah cenderung tidak manusiawi. Romo membandingkan dengan masyarakat Jerman di Eropa yang dikenal sebagai bangsa penyair dan pemikir, tapi pada Perang Dunia ke 2 mampu membunuh jutaan manusia di Eropa seperti juga genocide yang terjadi di Indonesia pada peristiwa G30S/PKI dan pendudukan Timor Timur.

Menurut romo, gerakan-gerakan ekstrim pun sekarang banyak terdapat di Jawa terutama Jawa Tengah sehingga keselarasan cuma terlihat di permukaan karena orang Jawa biasanya sangat mudah dendam dan bila dendam kesumat ini tidak menguap, akan meledak dan penyelesaian secara kekerasan biasanya terjadi begitu saja. Ini bisa terjadi karena konflik tidak diselesaikan tetapi cenderung dihindarkan, dan menurut pengamatan beliau, ketika terjadi saling kritik yang mengakibatkan konflik, kerja sama tidak lagi terjadi. Padahal konflik itu biasa terjadi dan bila dibicarakan, biasanya beres. “Daripada ditelan jadi dendam lebih baik teriak-teriak seperti di Srimulat” ujar Romo sambil tertawa. Beliau sangat mengagumi pementasan Srimulat ini, karena dari pertunjukan ini dapat diambil sebuah pelajaran yaitu segala sesuatu dapat diselesaikan tanpa dendam dan konflik.

Romo, yang belajar bahasa Jawa sebelum bahasa Indonesia ini, juga menambahkan ada gejala/sifat yang bukan Indonesia tapi terjadi di Indonesia, yaitu seseorang dinilai bukan sebagai pribadi tapi dikotak-kotakkan atau dikaitkan dengan kelompok. “Di Ambon, seseorang bila salah menyebutkan agamanya apa, bisa kehilangan nyawanya” kata beliau memberi contoh.

“Yang paling penting dalam budaya adalah kesediaan satu sama lain untuk bertemu dan menerima keberlainan dengan apa yang beda serta komunikasi dan selalu beranggapan positif terhadap orang lain,” demikian pesan beliau mengakhiri sesi pembicaraannya.

Pembicara terakhir adalah Bapak Adisuripto yang menjabat sebagai Sekretaris Umum PHDI, budayawan dan juga seorang dalang. Dan beliau pun dalam simposium ini nembang dan kemudian mengartikannya ke dalam pembahasan-pembahasan budaya. Sungguh menarik.

“Orang Jawa itu diluarnya mudah tapi di dalamnya susah” kata Pak Adisuripto memulai sesi pembicaraan. Padahal kata ‘Jawa’ bermuatan moralitas dan susila. Itulah sebabnya orang Jawa akan marah bila dikatai ‘ora Jawa’, karena bisa berarti tidak bermoral dan tidak bersusila. Kata ‘Jawa’ Sendiri berasal dari kata ‘arjawam’ pada bahasa sansekerta, yang artinya jujur, rendah hati, atau kata “beneh”. Agaknya ketika kata ‘Jawa’ itu diputuskan untuk menjadi nama tempat, timbul harapan para leluhur semoga manusianya kelak selalu bermoral tinggi, bersusila dan jujur. Budaya adalah hasil karya manusia untuk hidup tapi ketika perilaku masyarakatnya berubah, budaya pun akan berubah.

Dalam budaya Jawa pun, nama Tuhan bisa berubah menjadi nama lokal, yaitu Sang Hyang Widhi, yang berarti Tuhan Yang Maha Tahu. Ini terjadi karena adanya penyesuaian antara agama dan kebudayaan lokal. Budaya Jawa juga mengenal bhakti kepada orang tua sebagai bagian yang penting dalam kehidupan. Selain itu, bhakti kepada guru, pemerintah (maka orang Jawa pun paling mudah dijajah … gerrr peserta pun tertawa, namun beliau berkata dengan sungguh-sungguh … “Lho ini bener adanya.”) dan leluhur. Tapi yang terpenting adalah orang yang mengenal jati dirinya, juga mengenal TuhanNya sehingga menjadi orang yang berbudaya.

“Budaya Jawa adalah budaya lisan, bukan tulisan sehingga nilai-nilai dan pemahaman budaya Jawa akan berbeda-beda dari jaman ke jaman sesuai dengan apa yang diturunkan para orang tua kepada keturunannya, “demikianlah ungkap Bapak Adisuripto sekaligus mengakhiri sesi pertama darisimposium hari ini.

Setelah menyantap makan siang bersama-sama, sesi ke-dua dari simposium ini digelar dengan mendengarkan pendapat dari para peserta simposium yang duduk melingkar. Inilah beberapa komentar yang terdengar. Pertama adalah Ibu Utami, mantan anggota DPR, yang bertanya apakah bisa keluarga Anand Ashram menyebut diri sebagai bagian dari budaya spiritual? Beliau juga heran melihat tradisi ruwatan yang terkesan hanya ritual tanpa adanya kesadaran untuk memaknai arti dari ritual itu sendiri. Padahal menurutnya ruwatan dapat diartikan sebagai pertobatan, menyesali perbuatan dan tidak akan mengulangi kembali kesalahan yang sama. Beliau pun melihat bahwa potensi konflik bisa selalu diselesaikan dengan berdiskusi sehingga batas-batas perbedaan antar budaya dan agama mestinya bisa cair.

Ibu Ina Surya Dewi, pengajar di IKJ dan UNJ serta seorang penari, mengungkapkan rasa damai di hati ketika pertama kali berada di One Earth. Karena hidup dan tumbuh dalam suasana multikultural, beliau dengan mudah menerima perbedaan hingga beliau pun berpendapat bahwa toleransi bisa tercapai melalui pendidikan dini untuk mentransformasikan pendidikan nilai-nilai budaya pada anak-anak. Untuk itu, pelatihan bagi orang tua dan guru adalah hal utama yang harus dilakukan sedini mungkin.

Mas Adji, pengajar dan penata tari di IKJ, melihat bahwa nilai budaya Indonesia sangat memperkaya gerak tari. Bahkan ketika beliau mempertunjukan tarian tradisional di luar negeri, gerak tari tradisional dianggap sebagai kreatifitas gerak tari modern. Dengan mencontohkan beberapa gerakan seperti gerakan amarah yang ada pada tari Minang nan rancak, di sini ia pun berkata bahwa unsur alam seperti gelombang laut terdapat di sini.

Dr. Setiawan memilih sisi lain untuk mengungkapkan pendapatnya.Ia berkata bahwa semua konsep dan budaya merupakan fenomena fisik ciptaanotak (brain creation) yang menimbukan reseptor-reseptor di otak yang mampu menciptakan muatan informasi yang hanya bisa dikoreksi ketika dalam keadaan sadar. Ciptaan otak manusia itu bisa berupa wujud, nama/label, tanggapan/makna, nilai/cipta budaya dan harga diri. Semuanya bisa berubah ketika manusia berfokus pada saat ini atau kekinian.

Bapak Unani, seorang guru karawitan dari Solo, tidak setuju bila demi kreatifitas, kurikulum pelajaran seni di tingkat SMU diubah karena beliau takut nilai-nilai asli budaya yang terkandung dalam kesenian itu hilang. Beliau pun mempertanyakan apakah perubahan/erosi budaya Jawa yang terjadi sekarang ini akibat dihilangkannya pelajaran bahasa Jawa di Jawa Timur dan Tengah.

Karena sifatnya bukan mencari solusi dan para pembicara yang hadir bukanlah seseorang yang harus mempunyai pretensi untuk mencari dan menyelesaikan permasalahan, maka yang terjadi diskusi berubah menjadi sharing.

Setelah para peserta ber’sharing’ kini giliran para pembicara.

Ibu Ninuk Kleiden setuju bahwa makna dari ruwatan pasti sudah bergeser seiring dengan perpindahan tradisi ini dari ruang private ke ruang publik (negara). Misalnya dalam konteks penyelenggaraan ruwatan di ruang negara, menjadikan sesuatu yang terjadi pada negara/masyarakat adalah di-given (sudah takdir), padahal negara itu dikonstruksi tanggung jawab) oleh masyarakatnya.

Pak Junus Melalatoa berpendapat penanaman (internalisasi) nilai budaya ke manusia akan berlangsung lama dan sekarang ini proses penanaman ini dilakukan oleh kekuatan media karena orang tua sudah tak punya waktu ntuk melakukan proses tersebut.

Pendapat Bapak Adisuripto pun sama bahwa pendidikan itu adalah ergaulan yang ipaksakan, terjadi dari orang dewasa (orang tua) kepada nak-anak. Tapi bila orang tua tak ada di rumah, anak-anak akan mendapatkan endidikan dari pembantu, mall atau media seperti televisi. “Jadi ajar-wajar saja bila akar budaya sudah berubah” kata beliau. Mengenai ruwatan, menurut beliau adalah pembersihan diri dimana hasil dari proses pembersihan diri itu adalah terserah Tuhan karena manusia tidak selalu mengerti kehendak dari Tuhan. Apa pun yang terbaik dari manusia, dipersembahkan kepada Tuhan. Dan erosi budaya Jawa memang terjadi karena adanya perubahan dari sikap masyarakat Jawa itu sendiri.

Menanggapi keheranan Ibu Utami tentang ruwatan, Romo Magnis menganggap bahwa ruwatan adalah pertobatan yang sungguh terjadi bila korban diakui sebagai korban dan pelaku sebagai pelaku. Dan beliau pun setuju dengan Dr. Setiawan bahwa manusia harus selalu hidup untuk hari ini saja.

Kini giliran kaum muda angkat bicara, karena sebelumnya dari PakYunus dan ibu Ninuk meminta demikian.Ahmad Yulden Erwin dari Lampung, menganggap ruwatan sebagai bentuk katarsis. Dan kehidupan pribadinya dianggap suatu ruwatan yang terus menerus. Berangkat dari seorang penyair yang selalu berada di awang-awang, dirinya menjadi peternak lele yang akhirnya jatuh bangkrut. Ini pembelajaran realitas, menurutnya. Dan ketika bekerja menjadi wartawan, di sinilah terjadi muatan-muatan informasi yang seperti Dr. Setiawan katakan, bisa merubah persepsi realitas seseorang. Bagi beliau, kehidupan ini bagaikan sampiran dari suatu pantun. Indah, berwarna tapi tak begitu bermakna. Tapi dibilang tak bermakna, sebuah pantun pun tak lengkap  tanpa sampiran.

Udin, editor dan penerjemah freelance dari Jogja, mengaku sebagai orang Jawa yang dibesarkan dengan tradisi Timur Tengah. Konflik batin yang terjadi dalam dirinya tidak disadari sampai dia kuliah filsafat di UGM. Di sinilah terjadi dekonstruksi pikiran dan pendapat bahwa tidak semua budaya itu baik, terlalu metaforis dan susah dimengerti/dicerna. Dekonstruksi budaya perlu dilakukan untuk menyusun budaya baru dan tiap budaya diyakini punya inti yang sama. Ketika Rumi mencapai marifat, dia lupa dirinya adalah orang Turki dan mengutip kata-kata Tagore, Udin berpendapat bahwa mungkin kita perlu mengetuk banyak pintu untuk menemukan pintu sendiri.  Bagi Pedro – mahasiswa dari Jogjakarta , budaya bisa menjadi pusaka tapi sekaligus senjata. Pusaka yang bisa menjadi acuan atau identitas suatu masyarakat tapi bisa juga menjadi senjata pembenaran bagi pemecah belah dan pengkotakan masyarakat. Penerapan otonomi daerah sangat penting bagi perkembangan kebudayaaan lokal dan hukum adat setempat, serta pngertian ahwa aliran kepercayaan adalah tidak sama dengan kebudayaan lokal.

Sesi ke-dua dari Simposium budaya ini pun segera berakhir dan oderator mempersilakan para peserta untuk menyebarkan diskusi budaya ini di lingkungan masing-masing untuk menemukan bentuk budaya Nusantara sebagai obat disintegrasi bangsa.  Dan sebelum berakhirnya ymposium ini, Bapak AnandKrishna diminta untuk memberikan penutup.

Ruwetan, menurut Guruji Anand Krishna, adalah metaoina atau taubah dalam bahasa Arab, atau tobat dalam bahasa Indonesia . Orang Jawa yang sering sakit-sakitan biasanya diruwetkan supaya tidak mudah sakit-sakitan lagi. Di Injil, seorang wanita sedang akan dihukum rajam dan Isa datang mengampuni wanita itu dan berkata : “Go and Sin No More”; pergi (lupakan) dan jangan lakukan lagi.  Di sinilah makna sebenarnya dari ruwetan, yaitu: introspeksi diri dan tidak melakukan kesalahan yang sama.

Bencana tsunami di Aceh pun diartikan 2 pendapat yang berbeda, yaitu : (1) Bencana terjadi karena ulah manusia, hingga bencana ini mengingatkan diri kita untuk introspeksi diri atau (2) Bencana terjadi karena ujian atau cobaan dari Tuhan, sehingga sepenuhnya ulah Tuhan. Bila ruwetan dikaitkan dengan introspeksi diri dan tanggung jawab manusia dalam menjaga alam, tradisi ini baru ada maknanya yaitu menemukan jati diri sendiri.

Bapak Anand Krishna pun menyetujui pendapat V.S Naipaul pengarang Novel Beyond Belief dan Among Believers, yang berpendapat bahwa ada 4 negara muslim yang tidak cocok dengan budaya Timur Tengah, yaitu Pakistan, Malaysia, Indonesia dan Iran (Persia) dan bila dipaksakan akan terjadi pertentangan dalam diri manusia negara-negara tersebut seperti terjadi pada Amrozi. Guruji pun mengajak kita untuk mengembangkan budaya Nusantara tanpa melupakan budaya asal yang tidak kalah canggihnya dengan kebudayaan barat sekarang. Misalnya istilah barat IQ, EQ, SQ dan God Spot sebenarnya termuat dalam serat Wedhatama tentang Sembah Raga, Sembah Cipta, Sembah Jiwa dan Sembah Rasa yang sudah disadari Mangkunegara IV beberapa abad yang lampau.

Laporan oleh The Torchbearers- Joehanes