Jumat lalu, 28 Oktober 2005, Padepokan One Earth kedatangan dua tamu istimewa, yaitu : Bapak Harry Dharsono-perancang, sekaligus psikolog lulusan Oxford University dan Bapak Sudharmadi dari Kantor Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan RI.

Bapak Harry Dharsono, malam itu, tampil modis dan well-prepared, dengan menampilkan slide-slide singkat tentang perjalanan hidupnya dan juga bahan-bahan yang akan dibicarakannya malam itu. Riwayat pendidikannya begitu panjang, dari sekolah perancang di Perancis, TV program di London, sampai PhD dalam bidang humanistic philosophy.Pokoknya agak minder, kalau melihat deretan title -nya.

Ternyata, masa kecil Bapak Harry Dharsono sangat hiperaktif dan beliau berhasil mengatasi hiperaktifnya dengan belajar, bekerja dan berkarya terus-menerus sebagai therapy bagi dirinya yang hiperaktif sehingga tidak heran prestasinya berderet-deret.

Malam itu, beliau berbagi mengenai IQ, EQ dan SQ. Beliau meneliti bahwa bangsa-bangsa di belahan dunia utara lebih mengutamakan IQ, sedangkan negara-negara di belahan dunia selatan lebih mengutamakan EQ. Tapi karena di Indonesia, EQ tidak dibereskan secara semestinya, jadilah negara ini mempunyai rakyat yang biarpun secara IQ mungkin sudah tinggi, tapi managemen emosinya sangatlah rendah. Sehingga di Indonesia, tema-tema yang emosional jauh lebih ‘laku’ dan ‘menjual’ daripada tema yang rasional. Tapi bukan berarti EQ beres maka permasalahan beres. Harus ada lembaga yang lebih tinggi dari IQ dan EQ yang mengatur keduanya, yaitu SQ-intellegensia spiritual.

Di Indonesia, menurut beliau, sudah terlalu banyak orang-orang yang sakit jiwa berkepribadian ganda. “Dasamuka” ujar beliau. Misalnya di gereja bisa alim ulama, tapi baru mau keluar halaman gereja, sudah berubah beringas bila melihat orang lain memarkirkan mobilnya sembarangan. Atau bekerja tanpa kesadaran dan memikirkan uang saja.

Bapak Sudharmadi berbagi pengalamannya sebagai pegawai negeri sipil, dari kehidupan beliau yang penuh kenyamanan bekerja di Undip, Semarang, sampai ditunjuk untuk mengatasi masalah-masalah kemahasiswaan Indonesia yang ketika itu sedang bergejolak di Jakarta, dari peristiwa Trisakti, sampai peristiwa Semanggi 1 dan 2. Kemudian karena dianggap berhasil, beliau diangkat menjadi pemberi ijin bagi para penyelenggara pendidikan di Indonesia oleh Departemen Pendidikan RI. Di sini lah, beliau berada di tengah-tengah godaan seliweran dana-dana sogokan. Padahal beliau sendiri waktu itu belum mendapatkan fasilitas-fasilitas minimum yang mestinya beliau dapatkan dari pemerintah.

Tapi bukannya fasilitas yang didapatkan, malah tuduhan korupsi dialamatkan kepada dirinya, yang mungkin saja dipicu dari surat-surat kaleng berasal dari rekan-rekan sekantor yang tidak jujur. ”Dengan melawan ‘arus’ seperti itu, saya seperti orang tidak waras di antara orang waras, padahal saya sendiri merasa waras.” Kata beliau mengingat-ingat masa-masa yang sulit itu.

Setelah tuduhan itu tidak terbukti, beliau mendapat tawaran untuk bekerja pada Menkopolhukam waktu itu, Bapak SBY yang sekarang menjadi RI-1. Dari sinilah beliau baru mulai bisa bekerja dengan tenang, termasuk sore itu yang membahas bagaimana supaya Papua tidak lepas dari NKRI akibat masalah Majelis Rakyat Papua yang sedang dibentuk itu.

Ada pertanyaan dari Bli Yudanegara tentang pilihan untuk menyogok atau tidak bila dihadapkan pada suatu masalah mendapatkan perizinan di Indonesia. Bapak Harry berpendapat bahwa gangguan atau hambatan di luar bukanlah faktor utama yang harus diperhatikan. Lebih baik memperhatikan keinginan diri yang terburu-buru ingin mendapatkan izin tersebut. Beliau juga selalu mengingatkan bahwa kita harus selalu bekerja, berkarya, tapi selalu ingat bahwa hasilnya selalu ditentukan oleh Tuhan. Dengan begitu kerja bisa menjadi lebih tenang dan terfokus. “ Yes, I shall atauYes, I will bukan Yes, I can ” demikian pendapat Pak Harry bila kita diminta untuk mengerjakan sesuatu oleh orang lain. Karena bukan kita yang menentukan I can or I cannot tapi biarlah masyarkat yang menilai apa yang telah kita kerjakan.

Sedangkan Bapak Sudharmadi yang bercanda bahwa beliau merasa berada di kasta Sudra bila dibandingkan dengan pengetahuan Bapak Harry Dharsono yang berada di kasta Brahmana, berpendapat bahwa bila semua persyaratan untuk mendapatkan ijin itu sudah terpenuhi dan banyak orang lain yang tergantung dari keluarnya izin tersebut, beliau merasa bahwa kita harus lebih mementingkan kepentingan orang banyak.

Pada kata-kata menyambut ke-dua tamu tersebut, Guruji Anand Krishna pertama-tama mengucapkan terima-kasih, dan mengartikan nama Sudharmadi sebagai orang yang sangat bagus perbuatan dharmanya dan nama Harry Dharsono sebagai orang suci yang mampu merampas sifat-sifat kebinatangan dalam diri seseorang. (Perampas merupakan salah satu nama dari Allah).

Dalam menanggapi masalah IQ, EQ dan SQ, Guruji mengingatkan Bapak Harry Dharsono untuk tidak lupa pada Sexual Quontient , karena beliau yakin bahwa karena kurang beresnya masalah ranjang para pejabat, maka kekacauan mereka itu malah meluas terproyeksi ke luar (masyarakat). Untuk itu, urusan sex mereka harus diselesaikan dahulu dengan Sexual Quontient tersebut.

Guruji juga mengungkapkan bahwa ternyata IMF dan World Bank juga mendapat dana dari VOC (perusahaan dagang yang pernah berkuasa ratusan tahun di Indonesia), yang secara mengejutkan masih berdiri di Eropa. Banyak negara-negara Eropa menyimpan dana-dana hasil penjualan rempah-rempah para raja-raja di kepulauan Nusantara dulu yang bahkan pernah menjual rempah-rempah lebih mahal dari mutiara. Tahun 1930-an Soekarno, diberi promissory note untuk dana sebesar 30 juta dollar untuk membangun republik ini. Dana-dana ini lah yang mungkin membuat Soekarno berani berkata ‘ go to hell America/IMF .’

Hal ini hanya menunjukkan betapa kayanya bangsa Indonesia, tetapi sayang sekali bangsa kita tidak bisa menghargai dan hanya ingin menengadahkan tangan ke pihak asing serta menjadi pengemis di negeri sendiri.

Dilaporakan oleh Yohanes