Kurang lebih 100 orang berada di sebuah ruangan ber-AC seluas sekitar 70 meter persegi. Terasa agak sesak memang. Semua duduk bersila dengan takzim. Lampu-lampu besar dimatikan, dan hanya beberapa lampu kecil yang menyala. Suasana menjadi temaram dan hening.
Terdengar suara perempuan. Tak ada suara lain, selain suaranya, kecuali suara tarik-embus napas seratusan orang itu. ”Kembali ke diri kita… apa yang sudah kita lakukan… hati yang bening… kedamaian diri,” begitulah penggalan-penggalan suara Ibu Norma, perempuan tersebut.
Semua orang itu sedang bermeditasi. Dalam keheningan masing-masing orang melakukan perjalanan ke dalam dirinya sendiri. Mengolah emosi, mengolah batin, menuju ke kedamaian hati, di sore hari, Sabtu, 8 November 2008.
Di ruang itu ada Adik (25), perempuan, Islam, suku Sunda, karyawan; M Yudanegara (40-an), lelaki, Hindu, Bali, karyawan; Wea Napitupulu (20), perempuan, Katolik, Batak, mahasiswa; Johannes (30-an), lelaki, Katolik, Tionghoa, karyawan; Dozan (40), lelaki, Islam, Sumatera Barat, karyawan.
Wajah-wajah dan sosok orang-orang itu beragam. Ada yang bermata sipit. Ada yang keriting. Ada yang mancung. Ada yang berjilbab. Lelaki-perempuan, anak-anak hingga orang tua.
”Saya berada di sini karena cinta, karena kasih,” ujar Dozan, yang sudah sejak 2003 aktif mengikuti kegiatan di Jalan Sunter Mas Barat II, Sunter, tersebut. Rumah tinggal dua lantai di Sunter itu adalah milik Anand Ashram. Selengkapnya bernama Anand Ashram Foundation, Center for Holistic Health & Meditation.
Cinta? Jawaban yang kurang lebih sama juga meluncur dari mulut Adik dan Yudanegara. Tentu, cinta di sini tak bisa dipahami sebagaimana diobral dalam cerita di sinetron kacangan. ”Cinta adalah Tuhan,” jelas Anand Krishna, sang ”bapak” komunitas ini.
Karena cinta Tuhan lah maka ada manusia. Dan Tuhan tidak menciptakan manusia berdasarkan sekat bernama agama, ras, kebangsaan, harta, atau sekat apa pun. Tuhan itu universal.
Maka di Anand Ashram Yudanegara, Johannes, Norma, dan lainnya menggali dan mengaplikasikan cinta, tanpa harus menanggalkan baju agamanya. Mereka, sebagaimana diajarkan Bapak Anand—begitu mereka menyapa dia—melakukan olah batin untuk menghidupkan daya cinta di dalam diri masing-masing, dengan bermeditasi secara teratur.
Dengan bermeditasi manusia masuk ke dalam dirinya sendiri. ”Kami diajak untuk melakukan pengendalian diri, pengenalan diri, sehingga akan didapat kejernihan hati, pikiran, dan kesehatan,” tutur Yudanegara yang sudah aktif di Anand Ashram sejak 1991, dan kini menjadi Wakil Ketua Yayasan Anand Ashram.
Meditasi yang dilakukan secara rutin, dengan kesungguhan hati, akan membuahkan pemahaman diri, dan penerimaan diri apa adanya. ”Hidup saya terasa menjadi lebih seimbang dengan metode yang saya dapat di sini,” lanjut Yudanegara, yang berkarier di sebuah bank. Hidup tak lagi dikuasai dengan syak wasangka, emosi, dan egoisme.
Ketika manusia sudah mampu menerima diri secara apa adanya, hiduplah cinta di dalam dirinya. Perilakunya pun dengan demikian akan penuh dengan cinta. Tidak ada iri hati, dengki, emosi, tamak. Sifat-sifat inilah yang menjadi sumber konflik; entah konflik agama, suku, sampai konflik antarnegara. Ketika orang sudah digerakkan oleh cinta, maka suasana damailah yang terjadi.
Rajut integrasi
Berdasarkan platform cinta atau kasih itulah Anand yang kelahiran Solo, Jawa Tengah, 52 tahun lalu, melangkah lebih jauh. Ia tak hanya menumbuhkan dan menebarkan cinta kepada mereka yang datang ke rumahnya itu, tapi juga ke seluruh Indonesia.
Indonesia di ambang disintegrasi. Kekuatan dari berbagai belahan dunia, dengan menggunakan elemen dalam negeri, ingin memecah-belah negara kita,” tutur Anand. Karena, lanjutnya, Indonesia punya kekayaan alam yang sangat besar.
Mereka, kata Anand, memainkan berbagai isu di dalam negeri, berupa agama, sentimen kedaerahan, dan lainnya, supaya persatuan Indonesia pecah. ”Ujung-ujungnya adalah penguasaan ekonomi,” kata pemilik gelar MBA dari Pacific Southern University, yang total meninggalkan dunia bisnis setelah menderita leukimia, dan kemudian mendapatkan mukjizat kesembuhan pada 1991.
Maka dari Anand Ashram itu lahirlah National Integration Movement (NIM) yang dideklarasikan di Tugu Proklamasi pada 11 April 2005. Sebuah gerakan untuk mengeratkan kembali bangsa yang mulai terancam kehilangan jati dirinya. Dewan pembina NIM antara lain, KH Abdurrahman Wahid (ketua), Siswono Yudohusodo, Ahmad Taufik, dan Miranti Abidin.
Sabtu sore itu, miniatur NIM sungguh hadir. Orang Indonesia dari beragam latar bermeditasi bersama. Mereka kemudian menyanyikan lagu-lagu Indonesia yang bertemakan persatuan, berdiskusi, dan ditutup dengan Indonesia Raya. Semua bersikap ”sempurna” saat menyanyikan lagu kebangsaan kita itu.
Pertemuan di petang hari itu bertajuk ”Open house”, yakni acara dua mingguan, yang mempertemukan orang-orang yang tergerak hatinya untuk mengolah diri dan mengindonesia, dengan sang ”bapak”. Siapa pun bisa hadir di sini, tak hanya peserta rutin kegiatan meditasi Anand Ashram. Setiap kali pertemuan, selalu saja ada orang baru.
”Saya selalu mengikuti acara ini, karena selain bermanfaat untuk mengolah batin, juga untuk memupuk rasa nasionalisme,” tutur Krisagonus Lautania (39), yang selalu membawa serta istri dan kedua anaknya, meskipun rumahnya tergolong lumayan jauh dari Sunter.
Bahkan Wea Napitupulu dengan senang hati datang dari Solo, melepas sejenak bangku kuliahnya di Universitas Sebelas Maret. Jarak bukan halangan, demi cinta. (Bambang Putranto)
Sabtu, 29 November 2008 | 15:58 WIB
Sumber: Kompas.com – Anand Ashram Mengolah Diri Menebar Cinta