(Tokoh Edisi 299/Minggu 05 Sept 2004) 

Siang itu kami bertemu di Anand Krishna Center, Jalan Hayam Wuruk 146 Denpasar yang baru saja diresmikan. Disela waktu kegiatan workshop Neo Zen Reiki, Anand Krishna, tokoh lintas agama menemui Tokoh. Sekitar satu jam kami berbincang dan inilah kutipannya. Meditasi adalah paket sikap hidup meditatif, bukan sekadar teknik tertentu untuk olah tubuh. Meditasi bukan pula sesuatu yang baru. Budaya kita yang luhur itu sudah ada sejak zaman dulu. Misalnya di Jawa ada konsep nerimo. Sayangnya, nerimo dianggap sebagai sesuatu yang pasif, hanya menerima. Padahal tidak. “Nerimo itu berarti menerima segala tantangan hidup, suka atau duka. Nerimo juga berarti, kita menerima dan menghadapi semuanya,” ujarnya. Hal-hal seperti ini sebenarnya merupakan bagian dari meditasi tanpa kita sadari. Itu sudah menjadi bagian dari budaya kita sesungguhnya.

Belakangan sejak beberapa puluh tahun terakhir, sepertinya ada invasi budaya. Banyak sekali tokoh-tokoh budaya tidak sadar bahwa mereka terlibat dalam pemusnahan budaya luhur kita. Itu membuat keadaan bangsa kita seperti tidak punya pegangan. Budaya asing tidak cocok menimbulkan konflik dengan batin sehingga kita mencari pegangan yang dianggap lebih kuat dan bisa memberikan kenyamanan dalam hidup. “Maraknya program-program mistis di televisi menunjukkan, kita sedang mencari suatu pegangan,” katanya.

Kasus Amrozi, bisa menjadi contoh. Dia sebenarnya bukan penjahat melainkan korban. Tanyakan pada psikiater yang berwawasan luas, wajah Amrozi itu sebenarnya wajah orang gila. Dia sakit. Dia percaya betul, membunuh orang yang tidak sepandangan itu bisa masuk surga. “Ini budaya asing, bukan budaya kita. Ini bukan inti agama. Islam tidak mengajarkan demikian,” tuturnya serius. Mungkin itu budaya Arab. Karena budaya Arab itu memang balas membalas. Budaya kekerasan kita impor. Padahal seharusnya yang kita impor adalah esensi agama Islam, bukan budaya asingnya.
“35 tahun yang lalu saya bisa bermain-main dengan orang yang beragama lain tanpa ada masalah,” kisahnya. Beberapa waktu yang lalu, seroang ibu datang ke tempat Anand, menangis. Istri pejabat tinggi itu beragama Katolik dan sudah menikah selama 7 tahun. Suatu ketika, sepulang sekolah, anaknya yang kelas 1 SD, berkata, “Ibu, mulai sekarang saya tidka boleh makan dari tangan Ibu karena najis.” Tentu saja ia menangis. Guru sekolah ternama di Jakarta mengajarkan hal demikian. “Hal itu adalah budaya asing. Sama halnya seperti kalau kamu tidak seiman dengan saya, kamu kafir. Buruknya, fanatisme itu terjadi pada semua agama,” ucapnya.

Budaya kita adalah Sutasoma, Mpu Tantular. Kita menerima agama sebagai sesuatu yang indah. Ibarat bunga dalam satu pot, jika hanya ada satu bunga, tidak begitu indah. “Waktu saya kecil di Solo, ada satu keluarga dengan dua agama di dalamnya. Kakaknya Islam, adiknya Katolik. Tidak masalah. Sekarang, hal itu jadi masalah. Mengapa bisa demikian?” keluhnya.

Apa itu berarti, makin tua kita “makin bodoh”? “Benar. Sudah terjadi pembodohan dan invasi budaya,” tukasnya mantap. Dari kecil, pada diri anak-anak kita dikembangkan sikap benci terhadap agama lain ataupun orang lain yang berbeda pandangan. Anand berpandangan, sebaiknya kita megetahui esensi agama. Esensi agama Islam, agama Hindu, agama Kristen, agama Budha. Kitab suci yang ada seperti ensiklopedi yang mengandung informasi untuk tiap level kesadaran.

“Saya mengapresiasi ajaran tiap agama walau bukan ahli agama. Ada satu ayat dalam Al Qur’an yang isinya kurang lebih; “dibenarkan seseorang melawan kalau seseorang berbuat jahat pada kita”. Tapi di ayat yang sama kalimat terakhir bunyinya adalah; “tetapi dimata Allah yang paling sempurna, paling utama adalah bersabar”. Nah, kita mau pilih yang mana? Kita mau bersabar, atau balas membalas?” katanya setengah bertanya.

Dalam diri kita sebenarnya ada budaya asal yang lembut. Kita menyalahartikan budaya asal kita seperti agama Hindu. “Yang kita lakukan ini salah besar. Di dalam kitab-kitab kuno kita, semua lontar di zaman Majapahit, Negarakertagama, tidak ada istilah agama Hindu,” ungkapnya. Yang ada adalah ajaran Siwa dan Budha. Menurut Mpu Tantular, kedua ajaran itu esensinya sama; Bhinneka Tunggal Ika. Seandainya Mpu Tantular masih hidup saat ini, dia akan mengatakan, esensi ajaran Nabi Muhammad, esensi ajaran Nabi Isa, Siwa, Budha semuanya sama. Kita perlu seorang Mpu Tantular untuk menyadarkan. “Bayangkan kalau kita punya empat anak; satu beragama Islam, satu beragama Hindu, satu beragama Budha, satu beragama Kristen. Saat ibu mereka meninggal dan diadakan upacara, apakah anak-anak yang lain tidak boleh menghadiri?” ujarnya.

Kita memerlukan kesadaran dan harus kembali pada budaya luhur. Ada budaya kuno di Jawa yang harus kita gali lagi. Itu adalah budaya kita. Kita boleh beragama apa pun, tapi jangan mengimpor budaya asing. Kita boleh beragama Hindu tapi jangan mengimpor budaya India. Kita boleh beragama Islam tapi jangan mengimpor budaya Arab. Kalau dalam budaya kita ada yang perlu diperbaiki, silakan diperbaiki. “Sabung ayam di Bali adalah sesuatu yang negatif. Zaman dulu dilakukan karena nggak ada hiburan. Sekarang hiburan sudah banyak, ngapain kita bertaruh ayam?” tanyanya.

Untuk itu, bangsa ini memerlukan kesadaran. Guna membenahinya harus dimulai dari faktor pendidikan. Pendidikan yang mengajarkan kebencian harus kita tolak. Sekolah yang mengajarkan pada anak kita, satu-satunya kebenaran adalah agamaku, harus kita tolak. “Semua agama adalah jalan menuju Tuhan. Jangan menuhankan dan memberhalakan agama,” tegasnya. Yang datang dari Lampung nggak usah lewat Jakarta kalau ke Bali. Yang dari Lombok nggak perlu ke Jakarta dulu. Banyak jalan menuju Roma. Banyak jalan menuju Tuhan.”Kau berada pada jalur Islam, Hindu, Budha, Kristen. Tuhan melahirkan kamu dalam keluarga dengan agama tertentu karena Tuhan punya kebijakan sendiri,” ulasnya. Anand lantas berkisah tentang seorang sufi. Bbeerapa puluh tahun yang lalu, ada sufi besar di Pakistan. Ia didatangi dua orang muridnya yang beragama Hindu. “Guru saya begitu saying padamu, ingin dekat denganmu. Kami ingin menjadi Islam sehigga kita bisa lebih dekat. Sang guru menolak,”Kalian dilahirkan dalam agama Hindu karena Tuhan pasti punya kebijakan khusus. Kalau Tuhan mau menyeragamkan agama, dengan sangat mudah Ia akukan. Adanya sekian banyak agama itu diakui Tuhan. Kalian dilahirkan dalam agama Hindu, silakan beragama Hindu. Siapa yang melarang Anda mencintai Nabi Muhammad? Seorang Hindu boleh. Islam juga boleh menghormati Nasi Isa,” begitu kata sang sufi.

Kitab suci adalah teks universal. Tapi kalau menjadikannya monopoli bagi yang berpandangan demikian, justru menafikan kitab suci itu sendiri. “Jika suatu umat agama tidak boleh menyentuh kitab suci yang lain, mana rahmat bagi alam semesta?” ujarnya. “Saya mungkin dihujat orang banyak sekarang. Tapi, 50 tahun mendatang, jika kita ingin mempertahankan NKRI, agama harus nomor dua. Nomor satu adalah Ibu Pertiwi. Apa pun agamamu, kita adalah anak Ibu Pertiwi, Indonesia yang sama. Kalau kita menomorsatukan agama, Ibu Pertiwi akan hancur. Kita akan memperkosa Ibu Pertiwi atas nama agama dan kita merasa tidak bersalah karena merasa dibenarkan agama. Waktu saya lahir, saya tidak punya cap agama. Namun ada cap ada orang Indonesia baru yang lahir. Kenapa kita lupa pada Ibu Pertiwi? Bangsa kita harus nomor satu. Agama urusan yang sangat pribadi,” sambungnya panjang lebar. – rat