“Keberadaan pak Anand Krishna di sini bukan sebagai pembawa obor atau pelita hati tetapi kehadirannya adalah untuk mengingatkan kita semua bahwa ada pelita di hati kita masing-masing,” demikian tutur Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) yang sebenarnya seorang sufi, kyai namun hanya mengaku dirinya sekedar `budayawan’ pada acara Kenduri Cinta di pelataran parkir Taman Ismail Marzuki pada tanggal 9 April 2004 yang lalu.

Rombongan Anand Ashram yang mengusung grup musik Torchbearers turut memeriahkan Kenduri Cinta yang inti temanya adalah Cinta pada bangsa dan menegakkan Cinta di bumi pertiwi ini.

Tepat pukul 20.00 WIB malam itu acara dimulai, sebagaimana ia yang selalu menghargai Allah demikian adanya Kenduri Cinta. Diawali dengan lagu dari pesantren jalanan yang membawakan lagu tema Cinta Tanah Air dengan iringan akustik dan biola. Lagu-lagu mereka sungguh menyentuh siapa saja yang mendengarkan. Torchbearers muncul mengisi acara selanjutnya dengan medley 4 lagu bhajan, di awali dengan Selamat Datang Cinta, Assalamu’alaikum dan
Salam Indonesia. Penonton turut `merasakan’ lagu itu. Ketika lagu Assalamu’alaikum dibawakan ada sebagian yang mulai terheran-heran apalagi Sang Isa Masiha, Budha, Shree Krishna dan Guruji disebut-sebut selain Muhammad … “something new” mungkin ini yang muncul di benak mereka, namun selain itu juga ada seseorang wanita yang berjilbab yang ikut `trance’ saat lagu itu dinyanyikan. Salam Indonesia pun mengusung salam dalam berbagai agama, saat lagu ini dinyanyikan tidak seorang pun yang beranjak dari tempat duduknya walaupun gerimis mulai turun membasahi pelataran parkir itu. Semua duduk anteng di tempatnya masing-masing. Kami pun yang saat itu berada di bawah pohon rindang
tidak merasakan gerimis turun. “Sekali lagi tepuk tangan untuk anak-anak pak Anand Krishna,” demikian MC berkata (Torchbearers mungkin sulit untuk disebut sehingga mereka mengambil apa yang bagi mereka gampang disebutkan soalnya Angku Hamid Jabar – pembawa acara selanjutnya pun tidak mampu melafalkannya).

Masuk ke acara inti … Kenduri Cinta … pembukanya pun sebuah lagu Cinta … Perempuan berjilbab membuka acara dan dia ikut bernyanyi dan bersajak … kemudian ia pun `trance’ lagi. Ketika ia bertemu dengan Guruji spontan ia berkata: “Pak Krishna, aku cinta kamu … aku cinta buku-bukumu,” Wah … kita harus belajar nih … seorang yang baru bertemu Guruji lalu spontan dapat berkata demikian tanpa malu tanpa tedeng aling-aling tanpa maksud tertentu. Kita saja yang `berada bersama’ Guru mungkin tidak pernah merasakan Cinta bagaimana mau mengatakannya?

Aku teringat kembali kata-kata Guruji bahwa kita yang dekat ini selalu `take it for granted’ sehingga kita tidak pernah berjalan … tidak pernah berkembang. Mungkin karena `merasa dekat’ dan bertemu setiap hari sehingga menganggap pertemuan dengan Guruji biasa-biasa saja … dan tidak pernah belajar dari pertemuan itu. Padahal setiap pertemuan adalah sebuah pertemuan yang baru. Setiap saat kita renew. Ketika Cak Nun masuk ke panggung ia pun memanggil Angku Hamid Jabar untuk `menemaninya’. Membuka acara dengan berkata : “kalau negara ini mau mendirikan syariat silahkan, tetapi bagi saya syariat Islam berarti orang Kristen mau ke gereja silahkan, orang Hindu silahkan dengan agamanya, orang Islam begitu dan juga kalau orang mau ikut agamanya pak Anand Krishna juga silahkan,” disambut dengan tepukan meriah dari penonton. Dilanjutkannya kembali: “Syariat Islam berarti menumbuhkan Cinta Kasih kepada semua.” Ini syariat menurut saya. Kemudian ia dan Angku Hamid Jabar mulai memanggil satu persatu pembicara untuk ikut ke pentas. Cair dan hangat itulah kesan yang didapat ketika melihat Cak Nun dan mendengarkan ia berbicara. Tanpa diduga kemudian ia memanggil Guruji untuk ikut ke pentas sebagai pembicara, ini di luar dari jadwal dan juga daftar para pembicara. Dan Guruji pun ikut naik ke pentas. Dari floor di panggil 3 orang untuk menyampaikan pandangannya. “Kenduri Cinta ini tujuannya untuk Cinta dan menegakkan Cinta di bumi pertiwi,” demikian Cak Nun. Jadi siapa saja dapat menyampaikan visi dan misinya.

Smart dan lugas dalam menyimpulkan setiap pembicara. Di sana-sini Cak Nun menyampaikan pesan bahwa kita harus belajar sabar dan tidak marah, karena amarah itu akan mengotori jiwa kita sendiri sehingga kalau sudah begini pikiran kita pun akan cupet alias sempit dan tidak dapat berpikir jernih. Di tengah-tengah berlangsungnya acara yang semakin seru hujan yang semula gerimis menjadi lebat, namun kita semua masih bertahan dengan mengangkat terpal yang semula diduduki menjadi pelindung (semacam tenda) dan ada juga sebagian orang yang berpayung. Guyuran air tidak menyurutkan para hadirin. Cak Nun pun berkata: “hujan ini adalah berkah dari Gusti Allah barang siapa yang tidak mensyukurinya berarti mengingkari berkahNya.” Serius dan santai ia menyampaikan segala sesuatunya. Selalu saja ada sisipan sabar, syukur dan berusaha. Tidak pernah menyalahkan Gusti Allah tetapi terus berusaha, karena jika kita sampai menyalahkan atau mengatakan cobaan berarti kita mengingkari ataupun kufur nikmat. Selalu berkata jangan pesimis yang penting adalah usaha.

Akhirnya sampai juga giliran Guruji menyampaikan wejangannya. Cak Nun mengatakan: ” setelah panas dengan segala macam keruwetan dunia maka tiba waktunya kita semua dibawa ke dunia para dewa … dunia spiritual dan di sinilah pak Anand Krishna berada.” Guruji pun membuka kata-katanya dengan: “bagi saya Cak Nun adalah seorang Sufi, so apa yang diperintahkan olehnya maka saya akan menjalankannya.”

Saya setuju kalau dalam jangka waktu pendek mau menerapkan hukuman gantung bagi orang yang korupsi namun ini tidak akan berjalan lama. Contohnya di salah satu negara hal itu hanya berjalan dalam kurun waktu puluhan tahun saja dan kemudian kembali lagi karena pelaksana sistem sudah rentan dan ikut menjadi korup. Sedangkan cara yang baik adalah menumbuhkan kesadaran dan ini akan makan waktu lama tetapi akan bertahan lama. Caranya adalah memberikan rasa kepada para pendidik dan pengajar sehingga mereka dapat menularkannya pada para murid. Sebab mengapa kita menjadi seperti ini adalah kurangnya rasa Cinta … rasa Kasih. Cinta … bagaimana mau cinta? Concern utama kepada bumi ini adalah kita harus menumbuhkembangkan rasa cinta dan kita harus memulainya dengan melihat tanah air sebagai sosok Ibu Pertiwi. Beliau pun menceritakan sosok Ibu Pertiwi yang hadir di As-Salam, bagaimana kita semua menggunakan sarana ini untuk menumbuhkembangkan Cinta … Kasih. Kita harus melihat tanah air bukan
untuk dikuasai tetapi untuk dicintai, bayangkan jika Ibu kita diperkosa, diinjak-injak dan dihina. Apakah kita tega? Jadi masing-masing kita harus menumbuhkan rasa itu baru kemudian negara ini akan baik, bukan presiden, bukan legislatif tetapi diri kita. Inilah inti yang disampaikan oleh Guruji dan di sana-sini pun beliau menyelipkan pertemuan dengan Caleg waktu di Bali, bagaimana mau memikirkan bangsa apabila yang dipikirkan perut sendiri? Cak Nun yang di setiap akhir pembicara selalu menyimpulkan dengan bahasa yang lugas dan mudah dimengerti oleh para hadirin pun rada terhenyak dengan apa yang disampaikan oleh Guruji. “Ibu …. ,” dia berkata. Kemudian dia melanjutkan dengan kalau tanah dan air kan bisa dipegang, bisa digenggam dan bisa kita kuasai. Tapi gimana kalau Ibu? Kita tidak bisa menguasai seorang ibu. Yang bisa kita lakukan adalah menjunjung beliau, menghormati beliau dan menghargai beliau. Seorang Ibu harus kita pikul dengan kepala kita, tempatnya begitu mulia … di atas kepala kita. Yah seharusnya kita memang menjunjung Ibu Pertiwi. Cak Nun mengaitkannya dengan sebuah lagu Jawa yang selama ini mungkin kita pikir hanyalah sebuah lagu main-main. Lagunya adalah :

Gundul .. gundul pacul-cul
Gemlelengan ……………. 2x
Wakul glimpak segane dadi salatar .. 2x

Kalau kita membawa nasi pasti kita sunggi/junjung di atas kepala kita.

Artinya adalah
Bocah kecil botak selalu bermain-main
Ketika menyunggi nasi pun ia bermain-main
Sehingga nasinya tumpah dan berantakan

Inilah watak para pemimpin kita saat ini. Sudah besar pun masih seperti anak kecil botak yang selalu bermain-main sehingga apa yang menjadi tugasnya dia selalu dilakukan dengan main-main. Hasilnya ya seperti yang sekarang ini kita lihat, negara kita kacau balau … berantakan. Itulah kalau kita menjadi `besar’ tetapi jiwa kita tidak ikut tumbuh Sehingga kita tidak dapat menjunjung Ibu Pertiwi Jadi pemimpin maunya dilayani padahal merekalah yang seharusnya melayani rakyatnya.

Kenduri Cinta di akhiri dengan pembentukan sebuah kelompok anti korupsi yang diketuai oleh Gus Solah (Solahudin Wahid) beranggotakan Fordem, Forkot dan juga para hadirin yang ada. Sholawat Nabi sebagai penutup pun dilantunkan disertai para hadirin yang berebut bersalaman dengan Guruji dan para pembicara lainnya. Sudah dini hari ketika kami semua meninggalkan pelataran parkir itu.