Artikel Bapak Anand Krishna di Majalah Sarad Edisi Bulan Juli 2007
Selama masih hidup di “dalam” dunia ini, manusia tidak bisa bebas dari dualitas. Dualitas adalah the building blocks of life – batu bata yang diletakkan dengan posisi saling menyilang. Posisi yang menyilang itu justru memberi kekuatan pada Bangunan Kehidupan. Jika disusun rapi, Bangunan menjadi rapuh.
Dualitas Panas-Dingin, Suka-Duka, Tenang-Gelisah, Terang-Gelap, dan Dharma-Adharma memperkukuh bangunan kehidupan. Adalah sebuah kesalahan jika kita berkhayal untuk membangun kehidupan dengan salah satu pengalaman saja.
Kita tidak dapat membayangkan Bangunan Kehidupan yang bersifat singular – dengan satu macam pengalaman saja. Panas saja, atau Dingin saja. Tenang saja, atau Gelisah saja. Terang saja, atau Gelap saja, Dharma saja atau Adharma saja.
Acapkali kita mengaitkan perayaan-perayaan keagamaan kita dengan Kemenangan Dharma atas Adharma. Setiap agama memiliki hari-hari besar, dimana Kebenaran atau Kebajikan, Kebaikan – dirayakan sebagai Pemenang! Padahal Kemenangan itu sendiri menjadi berarti, karena adanya pihak yang kalah. Lagi-lagi Dualitas. Kemenangan tidak dapat berdiri sendiri tanpa Kekalahan.
Selama berabad-abad, warga Sri Lanka tidak mau merayakan Dipavali. Karena, hari itu terkait dengan kemenangan Rama atas Rahvana. Dan, Rahvana adalah raja mereka, raja Sri Lanka. Rama hanyalah seorang pendatang dari Daratan India. Seorang asing yang datang ke Sri Lanka untuk membunuh raja Sri Lanka. Patutkah hari itu dirayakan?
Belakang hari, Sri Lanka malah menggambarkan Rahvana sebagai seorang raja beragama Buddhis. Pun, ia menculik Sita karena merasa kasihan terhadapnya. Suami Sita, Rama, digambarkan sebagai seorang raja yang arogan, egois, sudi membuat isterinya sendiri ikut menderita demi arogansi dan egonya. Jika ia memang harus ke hutan untuk menjalani perintah ayah dan ibu-tirinya, kenapa ia membiarkan Sita untuk mengikutinya? Ia dapat saja “memerintahnya” untuk tidak ikut?
Maka, permusuhan antara Rahvana dan Rama pun menjadi permusuhan antara dua agama, Hindu dan Buddha. Padahal, Kisah Ramayana adalah bagian dari sejarah, yang terjadi kira-kira 7,500 tahun sebelum kelahiran Buddha. Adapun, Agama Buddha sebagaimana kita memahaminya, sesungguhnya adalah sebuah Sangha atau Perkumpulan – sama sekali tidak “dijadwalkan” untuk menjadi sebuah agama oleh Bhagavan Buddha.
“Apakah Dharma itu, dan apakah Adharma?” Pertanyaan ini selalu menghantui setiap orang yang berpikir. Setiap orang yang mau mencari arti kehidupan, setiap orang yang bertanya “apa sih yang menjadi pondasi kehidupan ini”…..
Adakah segala sesuatu yang kuanggap baik itu adalah Dharma, dan segala sesuatu yang kuanggap buruk itu Adharma? Tetapi, anggapanku bisa berseberangan dengan anggapanmu, sebagaimana telah kita lihat dalam kisah diatas tentang Kemenangan Rama atas Rahvana.
Lalu, apa yang mesti menjadi tolok ukur bagi Dharma, dan apa pula yang menjadi tolok ukur bagi Adharma? Adakah “pengakuan dari masyarakat” dapat dijadikan tolok ukur? Bila jawabannya “ya”, maka kita memasuki wilayah mayoritas-minoritas. Pengakuan dari masyarakat yang mana? Yang mayoritas walaupun tidak sadar, atau minoritas yang lagi-lagi kita “anggap” sadar?
Duryodhana dalam sejarah Mahabharata, yang ditampilkan sebagai villain, juga memiliki banyak sisi terang. Demikian pula dengan Karna, dan Drona, dan lain-lainnya. Sementara itu, para Pandava yang ditampilkan sebagai pahlwan juga memiliki banyak sisi-sisi gelap. Yudhisthira adalah seorang penjudi. Bhima hanya otot, tanpa otak…..
Ah, tapi di Indonesia, Bhima justru menjadi pahlwan. Ia menjadi tokoh dalam kisah Dewaruci. Tanya kenapa? Karena, ia adalah menantu kita. Ia kawin dengan putri Melayu – Hadimba atau Arimbi. Kita berkepentingan untuk mengangkat derajat menantu kita. Bahkan, putra mereka, Gatotkaca, menjadi panutan kita karena kepahlawanannya.
Kepahlawanan Gatotkaca memang tidak disangkal oleh orang India. Tetapi tidak banyak kisah, tidak banyak cerita tentang Gatotkaca disana. Bahkan, hingga hari ini pun tidak ada anak India yang diberi nama Gatot. Itu adalah nama khas Melayu.
Kembali, apa sih Dharma itu dan apa sih Adharma itu?
Adakah teks-teks yang kita anggap suci dapat dijadikan patokan bagi Dharma dan Adharma? Adakah kesucian itu sendiri dapat dikaitkan dengan Dharma dan ketaksucian dengan Adharma? Lalu suci itu apa dan yang tidak suci itu apa? Shit adalah tidak suci bagi orang barat, najis bagi orang arab – tetapi cow-dung bagi orang India adalah simbol kesucian. Bahkan, konon dapat mencucikan! Luar Biasa.
Dalam Mahabharata, Bhishma menjelaskan Dharma sebagai “sesuatu yang mempersatukan, yang mengukuhkan” dan Adharma sebagai “sesuatu yang memecah-belah, melemahkan”.
Bagaimana seorang raja atau seorang pemimpin mesti menyikapi definisi tersebut? Apakah ia mesti memilih Dharma saja dan melepaskan Adharma?
Mempersatukan rakyat dan bangsa adalah Dharma seorang raja, seorang pemimpin. Tetapi, apakah memecah-belah musuh dan melemahkan mereka bukanlah Dharma-nya pula? Padahal, menurut Bhishma memecah-belah itu adalah Adharma. Melemahkan itu adalah Adharma.
Dharma bagi seseorang, dalam kapasitas tertentu – dapat menjadi Adharma bagi orang lain dalam kapasitas yang lain. Sebaliknya, Adharma bagi saya – bisa jadi menjadi Dharma bagi orang lain. Sebagai Taruna, sebagai siswa ilmu kemiliteran – membunuh tetap saja haram bagi saya. Tetapi, sebagai prajurit – membunuh musuh menjadi kewajiban saya.
Hari-Hari suci yang selama ini kita rayakan sebagai Hari Kemenangan Dharma atas Adharma, semestinya dirayakan untuk Memaknai Dharma dan Adharma. Dan, Proses Pemaknaan ini semestinya berjalan terus, dari hari ke hari. Setiap hari kita berhadapan dengan pilihan Dharma dan Adharma. Dan, Dharma kita hari ini, besok bisa berubah menjadi Adharma.
Dharma dan Adharma ada setiap saat, dalam setiap pengalaman hidup. Adalah Kemampuan untuk Memilah yang dibutuhkan oleh setiap Manusia yang ingin merayakan hidup ini. Kemampuan untuk memilah inilah Viveka, dan kemampuan ini pula yang akhirnya mengisi hidup kita dengan Ananda – atau Kebahagiaan Sejati.
Para motivator yang banyak terpengaruh oleh J. Krishnamurti dan para penyontek lain di Barat – boleh berteriak-teriak, “Janganlah memilah, janganlah memilih. Terimalah apa adanya.” Padahal, tidak memilih itu pun merupakan satu pilihan.Kita tidak bisa hidup tanpa memilah dan memilih.
Setiap saat kita berhadapan dengan Dharma dan Adharma. Setiap saat pula kita harus memilih Swadharma saya untuk saat ini apa? Apa yang “tepat” bagiku untuk kulakukan saat ini? Ilmu Ketepatan inilah yang mesti kita kuasai. Kemudian, setiap hari menjadi Perayaan. Kemudian, setiap hari Galungan, dan setiap hari Kuningan….. Perayaan berjalan terus!