Berikut adalah laporan pandangan mata dari Wandy Nicodemus.Terima kasih kepada semua yg telah hadir, terutama Guruji Anand Krishna dan teman-teman Ashram, dan terima kasih atas laporan Wandy yang selalu singkat tetapi padat dan to the point.

“Doa Ibu Pertiwi untuk Aceh”

Persis di pelataran terbuka gerbang Taman Ismail Marzuki, Jakarta, ratusan orang berkumpul membentuk lingkaran. Sekelompok seniman yang berbaur dengan aktivis LSM, pengusaha maupun rakyat biasa, duduk di tengah-tengah lingkaran, ditemani nyala redup puluhan lilin. Malam itu (20 Mei 2003), mereka bernyanyi-nyanyi atau sekedar mendengung, berganti-ganti. Tanpa ada kata-kata yang jelas. Sebuah spanduk hitam dengan tulisan besar “Malam Doa untuk Aceh”, terasa lebih jelas “berbicara”.

Tak ada pidato berapi-api, apalagi analisa ataupun teori. Tak juga ada pihak yang dikutuk. Semua yang hadir hanya ingin berbagi rasa. Satu persatu mereka yang hadir menyumbangkan suara.

Di antara yang hadir terdapat beberapa nama yang sudah tak asing: Ratna Sarumpaet, seniman dan aktivis yang menjadi tuan rumah; Anand Krishna, Guru meditasi yang datang bersama-sama anggota komunitas Anand Ashram-nya yang juga turut sumbang suara malam itu; Maria Darmaningsih, penari; Debra Yatim, aktivis LSM; Yeni Rosa Damayanti; aktivis perempuan; Mochtar Pakpahan, aktivis perburuhan; serta sejumlah perwakilan dari agama Islam, Kristen, Katholik, Buddha, Hindhu dan Kong Hu Chu.

Ketika suara nyanyian dan tepuk tangan perlahan-lahan mereda, sebuah puisi, “Doa Bagi Aceh”, dibacakan secara bergantian oleh sejumlah aktivis dan wakil-wakil dari berbagai agama, termasuk Lies Marcoes- Natsir, sang pencipta puisi itu, juga Anand Krishna yang mewakili kelompok lintas-agama. Mewakili keprihatinan seorang “Ibu”, puisi itu menggugah nurani setiap orang, agar menciptakan perdamaian bagi Aceh.

“Mohon basuhlah tangah-tangan aniyaya itu dengan darah syafaat dari para ibu di muka bumi… Beningkanlah mata hati mereka… Dengan kebeningan air ketuban kaum perempuan… Lunakkanlah jiwa-jiwa angkara mereka… Dengan detakan jantung kaum ibu… Yang berirama dan berdegup degup… Demi kehidupan…”

“Dan Tuhan… Mohon berikan kami kekuatan… Untuk mengetuk hati nurani mereka… Bahwa bencana yang mereka tebarkan… Tak hanya melukai sesama… Melainkan ibu mereka… Yang telah bersabung nyawa… Demi Kehidupan…”

Hening. Puisi itu bagaikan doa penuh cinta “Ibu pertiwi” kepada anak- anak kandungnya sendiri. Cinta yang harus dimiliki untuk menciptakan damai, bukan saja di Aceh, tapi di seantero negeri, bahkan dunia.

Kemacetan masih terjadi di jalan raya Cikini, tepat di depan kerumunan mereka yang berdoa untuk Aceh malam itu. Namun, keheningan masih meliputi setiap orang yang hadir. Klakson mobil tak lagi terdengar kacau, malah seperti berirama. Satu persatu, mereka melangkah pulang. Semoga akan berlanjut rasa damai ini.***


Berikut petikan lengkap puisi yang dibacakan pada Malam “Doa untuk Aceh”:

DOA BAGI ACEH

Di kala subuh,
Tidakah kau dengar
Kelopak bunga jempa mengangkat doa,

Ya Allah yang telah menciptakan manusia
Dari sebutir debu dan setetes air
Lalu menggumpalkannya menjadi setitik darah
Dan dibedakannya mereka dari ciptaanNya yang lain
Dengan nurani dan akal budi
Lalu Engkau amanahkan CiptaanMU itu
Kepada kaum perempuan
Untuk menapaki kehidupan demi kehidupan
Melalui rahim dan darah pengorbanan

Maka Tuhan
Demi tetesan darah kehidupan
Dan bahkan nyawa yang seringkali turut dikorbankan
Bagi kehidupan yang harus terus berjalan
Berilah kami pekerti untuk mengerti
Mengapa bumi kami tak henti dihantam prahara

Tuhan,
Akankah negeri kami kembali berkabung
Nyawa sesama anak bangsa terus bersabung
Darah dan airmata kembali berbuncah
Lantaran semua merasa paling berhak
Atas bumiku
Atas airku

Belumkah mereka mengerti
Bencana di negeri kami tak lagi terperi
Bukan hanya kini, tapi bahkan jauh jauh hari
Ketika peluru berdentam dentam
Dari tragedi Mei hingga Semanggi
Di Ambon Maluku dan Poso
Dari Bangkalan hingga Nunukan
Tak terbilang kata dan peristiwa
Bangsa kami menistakan sesama

Dan kini bencana datang kembali
Di sini, di mana bunga jempa seharusnya menebar wangi
Di tanah yang laksana surga
Di mana air melimpah sanggup memberi hidup
Di mana bumi bertuah telah memberi harap

Dan jika semua bencana ini Tuhan
Dilakukan oleh mereka
Yang pernah hidup sembilan bulan
Dalam buaian rahim perempuan

Maka Tuhan
Demi darah yang mengalir dari rahim Siti Hawa
Ketika melahirkan manusia
Lalu mengasuhnya menjadi halifah di muka bumi

Demi darah pengorbanan Bethari Kunthi
Yang berdiri pedih di atas pedang neraca keadilan
Bagi para putra terkasih pencari kebenaran
Kurawa dan Pandawa

Demi darah yang mengalir dari rahim Ratu Mahamaya
Ketika melahirkan Sang Sidharta Gautama
Lalu membimbingnya untuk
Mendapatkan Jalan Cahaya

Demi darah yang mengalir dari rahim Mariam
Ketika melahirkan Isa Almasih
Lalu mengajarkannya kasih dan perdamaian

Demi darah yang mengalir dari rahim Aminah
Ketika melahirkan Muhammad Sang Nabi
Lalu membekalinya dengan hikmah keadilan

Demi darah yang mengalir dari rahim para ibu kami
Ketika melahirkan kami
Lalu menimangnya dengan kearifan

Maka
Mohon basuhlah tangah-tangan aniyaya itu
dengan darah syafaat
dari para ibu di muka bumi
Beningkanlah mata hati mereka
Dengan kebeningan air ketuban kaum perempuan
Lunakkanlah jiwa-jiwa angkara mereka
Dengan detakan jantung kaum ibu
Yang berirama dan berdegup degup
Demi kehidupan

Dan Tuhan
Mohon berikan kami kekuatan
Untuk mengetuk hati nurani mereka
Bahwa bencana yang mereka tebarkan
Tak hanya melukai sesama
Melainkan ibu mereka
Yang telah bersabung nyawa
Demi Kehidupan

Tuhan
Malam ini kami berkumpul
Menyatukan diri dalam satu simpul
Limpahilah mereka kekuatan dan ketegaran
Untuk menyalakan pelita kehidupan
Bagi saudara mereka
Yang kini gelap gulita
Tertutup amarah dan angkara murka
Serta nafsu kuasa yang melupakan jiwa

Tuhan,
Dulu rencong moyang kami telah mengusir perompak negeri,
Kini jadikanlah doa kami setajam rencong cut nyak kami
Bukan untuk menumpah darah
Bukan untuk beradu taji
Tapi untuk mengusik nurani, membuka hati
Para petinggi negeri ini.

Bisikkanlah kepada mereka
Bahwa yang dinanti
Bukan cemeti
Melainkan simpati dan harga diri.

Janganlah sirami bunga jempa itu dengan peluru
Sebab yang mereka perlu adalah pelipur
Jangan kirimi mereka keangkuhan
Sebab yang mereka mau adalah keadilan

Sungguh, tak kan pernah kenistaan dibalas kepatuhan
Melainkah kesumat yang tak berkesudahan
Hari ini mungkin mereka bungkam
Esok lusa siapa sanggup meredam dendam