“Semakin lama saya semakin percaya bahwa Indonesia perlu Revolusi” demikian tanggapan Guruji Anand Krishna dalam Diskusi Mahasiswa bulanan yang diadakan oleh The Torchbearer pada Sabtu 20 Maret 2004 pukul 16:00 – 18:00 di One Earth, Ciawi.
Diskusi kali ini bertema : Politik Bernapsu dan Napsu Berpolitik-Melihat kaitan Napsu (keinginan) dengan praktek politik yang terjadi di Indonesia. Pada diskusi yang dipandu Mas Wandy Nicodemus menampilkan 2 pembicara : Mbak Fay, mantan aktivis organisasi mahasiswa dan Bapak Abrory Abdul Jabbar seorang pengacara, yang punya access pergaulan di kalangan politisi Indonesia.
Sebagai pembicara pertama, Mbak Fay berbagi pengalaman di mana idealisme mudah sekali pudar ketika masuk ke dalam panggung politik Indonesia. Hal itu terjadi pada bekas rekan aktivis yang sekarang ini telah duduk di jajaran pejabat elit RI. Ketidakmampuan pejabat tersebut dalam mengontrol keinginan sex, memicu dirinya untuk mencari penghasilan sebanyak-banyaknya untuk membiayai gaya hidup barunya itu dan ketika penghasilan `resmi’ tidak mencukupi, idealisme dalam memperjuangkan kepentingan negara/bangsa yang menjadi cita-cita sejak awal dengan mudah dikorbankan. Korupsi, Kolusi dan Kompromi Politik yang merugikan orang banyak, menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan sex pejabat tersebut bahkan terkadang dana taktis digunakan `sekedar’ untuk BBS (bobo-bobo siang) istilah yang marak beberapa waktu yang lalu. Sepertinya idealisme langsung pudar ketika memasuki area politik
praktis di Indonesia.
Pembicara lain, Bapak Abdul Jabbar mengimbau peserta diskusi yang berjumlah kurang lebih 30-an orang, untuk pintar-pintar memilih pemimpin yang akan memimpin bangsa ini lima tahun ke depan. Menurut Pak Jabbar, salah satu kriteria pemimpin yang baik adalah orang yang mampu membersihkan dirinya dari keinginan atau nafsu yang ada dalam dirinya sendiri. Menanggapi komentar seorang peserta diskusi bahwa tiap politisi pasti punya keinginan dan napsu dalam dirinya, Pak Jabbar menjelaskan bahwa sebenarnya energi yang berasal dari energi seks tersebut dapat diolah dan ditranformasikan menjadi energi yang mampu meningkatkan kesadaran diri atau energi kasih lewat latihan-latihan meditasi. Dan bila Kasih terdapat dalam diri seseorang, orang tersebut pasti akan menjadi pemimpin yang tepat bagi bangsa yang berantakan ini.
Diskusi bertambah seru ketika banyaknya pertanyaan dan tanggapan dari para peserta yang sebagian adalah mahasiswa/i dari UIN-Hidayatullah-Ciputat. Ma Archana rupanya terpancing oleh cerita para pembicara sehingga ia mengusulkan agar di form KPU mencantunkan prasyarat `healthy sexual life’ (How’s your sex life?) pada para caleg dan capres. Ada pula yang mengeluh bahwa para aktivis kampus pun sudah terjangkiti `penyakit’ yang sama seperti yang terjadi pada para politisi praktis, “mahasiswa sekarang kebanyakan sudah menjadi elitis dan sudah “kotor’ samalah seperti para politisi.” Seorang mahasiswi bahkan mengusulkan supaya pendidikan Kamasutra diadakan mulai dari kampus-kampus untuk membantu membenahi keinginan dan napsu tersebut sejak dari awal sehingga ketika menjabat ia tidak akan mudah “dikendalikan” oleh nafsu. Usul terakhir ini ternyata ditanggapi positif oleh Guruji dan akan ditindak lanjuti segera. “Kamasutra from Campus to Campus.”
Sebelum Diskusi berakhir, Guruji sempat menambahkan bahwa Revolusi-Reformasi total tanpa darah bisa saja terjadi untuk kepentingan bangsa yang lebih baik. Tapi Revolusi ini perlu suatu titik start dan titik itu adalah diri kita sendiri. Mampukah kita merevolusi diri kita sendiri, misalnya, dengan menerima seorang pemimpin yang punya track record baik tapi beragama bukan dari golongan mayoritas? Seharusnya kita sebagai mayoritas mampu untuk `melihat’ ke depan. Wacana seperti tersebut di atas hendaknya sedari sekarang kita munculkan agar mulai tumbuh kesadaran bahwa kriteria pemimpin yang baik tidak harus dari mayoritas melainkan jika orang tersebut bersih dan baik kalau dari agama yang berbeda mengapa kita tidak memilihnya untuk membenahi bangsa ini. Bolak-balik Guruji sering berkata: “Saya akan mendukung syariah bila ada seorang saja yang berjiwa dan bertingkah laku seperti Rasulullah. Rasul setiap hari sebelum tidur malam beliau akan mensedekahkan seluruh hartanya ke fakir miskin. Apakah kita mempunyai pemimpin sekaliber beliau? Jika ya, saya akan mendukung syariah.” Wacana seperti ini perlu juga untuk dibangkitkan dan diberitakan kepada masyarakat luas biar mereka mulai merenung dan berpikir.
Seorang mahasiswa menyatakan bahwa segala apa yang dibicarakan oleh pak Jabar adalah wacana normatif walaupun ia tidak skeptis terhadap ini, namun ia mengingikan praktisnya bagaimana? Mungkinkah kita memasuki praktis seperti menandatangani kontrak terhadap suatu pilihan dan jika yang kita pilih tersebut gagal melaksanakan janjinya maka
dukungan suara akan kita cabut kembali. Humaedi seorang mantan ketua Bem pun mengatakan bahwa Harta-Tahta-Wanita adalah tiga serangkai yang tidak dapta dipisahkan bagai lingkaran setan, susah untuk memutusnya. Pak Jabar menjawab: “bisa saja hal tersebut dilaksanakan tetapi apakah kita sudah mempunyai bargaining power untuk itu. Sekarang antara BEM dan Forkot saja susah bersatu bagaimana bisa melakukan bargain? Biasanya mereka lebih cerdik dari kita, satu-satunya jalan adalah membenahi diri kita sendiri dan suatu saat nanti jika kita sudah bersih maka adik-adik yang akan memimpin negara ini sudah siap, begitu pula berlaku untuk tiga serangkai Tahta-Harta dan Wanita tentu jika kita sudah dapat mengendalikan diri maka hal itu tidak akan mengendalikan kita. Kitalah yang harus menjadi pemimpin/pengendali nafsu tersebut.” Suatu pertanyaan yang mungkin bisa membuktikan bahwa Revolusi dalam
diri sendiri bukan sekedar wacana normatif.
Acara diakhiri oleh ajakan Guruji Anand Krishna untuk bersama memulai Revolusi total dari dalam diri sendiri – inilah wacana yang harus kita sebarkan. Mampukah kita?
Layaknya sebuah pertemuan di One Earth, One Sky, One Humankind acara yang dibuka oleh doa bersama 4 agama di akhiri oleh sebuah lagu oleh kelompok Torchbearers yang mencoba merefleksikan pembicaraan tadi ke dalam sebuah lagu “Sadarkah kita bahwa apa yang kita kejar adalah segala sesuatu di luar diri – korupsi dan sebagainya dan karena `pengejaran’ ini maka kita berulang kali masuk ke dalam lubang yang sama.”
One Earth, One Sky, One Humankind
21 Maret 2003
laporan oleh Joehanes Budiman
di tulis kembali oleh Rini
Torchbearers