Dialog Interaktif “Kupas Perspektif” Cakra Semarang TV, Semarang 27 Juli 2006, pk 20.30-21.30
Tema: MEMBANGKITKAN KEMBALI JATIDIRI BANGSA
Nara Sumber: Anand Krishna dan Maya Safira Muchtar
Moderator: Tirza Monica
Tirza Monica (TM): Pak Anand, topik kita adalah jati diri bangsa. Saya pernah mendengar bahwa bangsa kita telah kehilangan jatidiri. Bila bicara tentang jatidiri tentu tidak jauh beda dengan kepribadian Indonesia, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Namun bila bicara tentang Pancasila, semua orang Indonesia pasti bisa menjawab bahwa dasar negara kita adalah Pancasila, tapi yang sangat ironis belakangan muncul kecenderungan adanya kelompok yang ingin mengganti dasar negara dengan landasan agama. Apakah ini bentuk perkembangan bangsa kita dalam mencari jatidiri? Atau kita memang sudah kehilangan jati diri bangsa?
Anand Krishna (AK): Suatu PR yang tidak tuntas saat itu. Waktu itu Ki Hajar Dewantoro tegas-tegas mengatakan bahwa: Pancasila adalah saripati budaya. Bukan hanya landasan bernegara, dan sebelum kita memproklamirkan kemerdekaan kita sudah memiliki landasan itu. Berdasarkan landasan itu, baru kita memproklamasikan kemerdekaan. Nah, apabila kita pahami Pancasila sebagai saripati budaya, Pancasila menjadi bagian dari gen kita, dari diri kita. Bila kita hanya memahami Pancasila sebagai landasan negara, landasan negara bisa dirubah. Tapi jatidiri bangsa, saripati budaya tidak bisa dirubah. Saya tidak bisa merubah ibu saya, tapi saya bisa merubah istri. Pancasila harus dipahami sebagai saripati budaya, sebagai ibu kandung bukan sebagai istri. Bila ini dipahami dengan baik maka tidak akan terjadi masalah.
TM: Sejauh ini apakah anda melihat bangsa kita sudah cukup bisa memaknai Pancasila selain sebagai dasar negara?
AK: Tidak. Sayang sekali tidak.Kesalahan ini terjadi berulang kali. Bila kita melihat dari sejarah — belajar dari sejarah dimana bila kita tidak belajar dari sejarah maka kita akan dikutuk untuk mengulanginya — setiap kali agama akan kita jadikan sebagai landasan dalam bernegara, apa yang terjadi pada zaman Majapahit? Perang antar keluarga dan yang memicu adalah agama.Ini adalah fakta sejarah. Agama digunakan untuk memecah belah satu keluarga besar, dinasti besar. Dan begitu kita terpecah belah, tidak sampai 100 tahun kita sudah dijajah. Kerajaan Majapahit bertahan selama 320 tahun, sebelumnya Singasari 100 tahun, dan Sriwijaya 800 tahun; dan semua hancur dalam 100 tahun.
TM: Baik, Mbak Maya bila tadi sudah dijelaskan oleh Pak Anand bahwa sebenarnya sudah banyak yang kita lewati, kita melihat dari sejarah masa lalu yang benar-benar kita alami sendiri. Bukan melihat atau mendengar dari sejarah bangsa-bangsa lain, apa yang membuat bangsa kita tidak melihat ke belakang? Tentang sejarah kegagalan tersebut?
Maya Safira Muchtar (MSM): Pertama-tama, saya melihat sepertinya kita kurang berpikir panjang. Ini dipicu juga oleh kemalasan. Nah, bila orang itu malas, inginnya adalah sesuatu yang gampang dikerjakan. Bila kita ingin belajar dari sejarah maka diperlukan adanya usaha ekstra untuk itu. Upaya melihat kebelakang (sejarah) hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang berpikiran panjang.
TM: Baik, dalam hal ini kita tidak bisa mengatakan ke orang: eh kamu malas! Tapi harus ada semacam gerakan karena mereka seperti sudah tercuci otaknya sehingga mereka dibutakan. Sejarah mengatakan bahwa apa yang kita lakukan sekarang ini adalah awal dari kegagalan. Lalu apa yang harus dilakukan?
MSM: Sekarang kita harus bertanya pada diri sendiri: apa mau kita? Apa kita hanya mau hidup untuk makan-minum? Atau kita ingin mewariskan suatu bangsa yang penuh cita-cita pada anak cucu kita? Ada komentar dari seorang teman: Indonesia sudah kacau, biarkan bangsa lain menguasai tapi yang penting kita masih bisa makan-minum. Kemudian saya bertanya: apakah itu yang kamu inginkan untuk anak cucumu? Suatu bangsa yang tidak ada masa depan, tidak ada cita-cita, tidak ada visi? Tapi yang penting bisa makan-minum-kerja? Itu saja? Lalu apa bedanya kita dengan hewan bila seperti itu?
TM: Baik. Pak Anand, saya ingin membicarakan tentang budaya kita. Sungguh ironis bangsa kita tidak menyadari Pancasila sudah ternodai. Sungguh memprihatinkan, budaya kita sudah terinjak-injak. Begitu banyak budaya dari Timur Tengah dan dari Barat. Bahkan bangsa kita kurang memahami budaya nusantara dan cenderung berpihak pada tradisi asing. Menurut bapak, bagaimana dengan hal ini?
AK: Itu karena kita tidak memahami apa itu budaya. Sementara ini yang kita pahami sebagai budaya adalah seni. Seni adalah bagian dari budaya.Tapi seni bukan budaya. Seniman adalah budayawan, dalam arti karena seni adalah bagian dari budaya, tapi bukan hanya seniman yang harus menjadi budayawan. Dalam berpolitik kita harus berbudaya, kita harus memiliki budaya politik. Nah, budaya politik kita apa? Keadilan bagi semua, tidak pilih kasih. Dan ketika saya berinteraksi dengan orang lain dalam hal kemasyarakatan, saya berbudaya, saya beradab. Saya menghormati orang tersebut dan berusaha untuk bermusyawarah.
TM: Tapi bukankah rasa menghormati itu juga dimiliki oleh budaya dari negara lain?
AK: Oya, pasti dimiliki. Saya tidak mengatakan bahwa budaya kita adalah yang paling hebat. Tidak. Saya hanya mengatakan bahwa: kita sudah berbudaya dan sudah memiliki ciri khas dan itu sudah lengkap bagi kita. Kita tidak perlu mengimpor sesuatu. Menambah sesuatu sebagai suplemen, ok. Tapi makanan khas nya, makanan pokoknya sudah kita miliki. Ini yang kita lupa dan kita ingin mengimpor makanan pokok itu.
TM: Yang terjadi adalah mereka lebih mempercayai “barang-barang impor” tersebut?
AK: Betul, makanan pokok tersebut belum tentu sesuai dengan tabiat kita.
TM: Pak Anand, tentang budaya, apakah bangsa kita sudah tidak bisa membedakan antara budaya nusantara dengan budaya import?
AK: Bukan hanya tidak bisa membedakan, tapi kita lupa bahwa kita sudah berbudaya. Ketika seseorang menginginkan mengimport sesuatu, dia tidak tahu apa yang sudah ada didalam rumahnya. Kita sudah memiliki barang itu di rumah dan kita menginginkan mengimport dari luar. Ini yang jadi masalah.
TM: Bukankah ini sudah berlanjut dari generasi ke generasi? Apakah bisa dikatakan sudah terlambat untuk memberitahu pada anak-anak kita?
AK: Saya kira tidak. Menurut penelitian medis pun, gen kita mempunyai memori minimal sejak 5000 tahun yang lalu. Memori itu terus menerus ada dalam gen kita. Saya akan mewariskan pada anak. Anak akan mewariskan pada cucu. Hanya saja, kita menderita amnesia, lupa ingatan.
TM: Baik, kita akan menerima telepon…halo…
Pak Setiadji (penelepon): Ada sebagian orang Indonesia yang mengatakan bahwa Pancasila itu merupakan wahyu. Benarkah ini? Yang kedua, masalah tekhnologi, kita masih ketinggalan dan tekhnologi juga termasuk bagian dari budaya. Kemudian, ini saran dari saya, mengenai gerakan bapak, lintas-agama ini perlu diadakan forum dimana-mana bukan hanya di Jakarta.
AK: Wahyu bila kita terjemahkan wahyu sebagai intuisi, iya. Tapi intuisi pun ada kaitannya dengan memori masa lalu. Kita bisa berintuisi berdasarkan apa yang kita pahami sebelumnya. Intuisi juga ada kaitannya dengan alam bawah sadar walaupun tidak secara langsung, dan alam bawah sadar ini mengandung memori tentang budaya asal kita. Jadi, mau disebut wahyu atau apa, saya kira tidak perlu mempersoalkannya.
TM: Baik, tadi seperti dikatakan Pak Setiadji masalah tekhnologi kita masih kalah…
AK: Oh ya, tekhnologi merupakan bagian dari perkembangan peradaban, civilitation. Itu bukan culture. Peradaban itu maju terus. Silahkan kita bertekhnologi, tapi tekhnologi yang beradab.Tekhnologi yang berbasiskan budaya lokal. Misalnya, kita tidak perlu membuat roket untuk menyerang Lebanon. Nah, itu menunjukkan bahwa Amerika yang sudah bertekhnologi belum cukup berbudaya sehingga mendukung Israel yang dalam hal ini ingin menghancurkan Hizbullah. Tapi dengan mematikan Hizbullah dia juga mematikan sekian banyak masyarakat. Dan, saatnya Lebanon juga mulai mengangkat suara: siapakah yang berkuasa di Lebanon? Hizbullah atau pemerintah Lebanon? Tiga-tiganya, dalam hal ini, tidak berbudaya. Kita tidak mau berteknologi seperti Amerika tanpa budaya, tapi kita juga tidak mau dikuasai kelompok radikal seperti Hizbullah.
TM: Jadi bisa dikatakan ukuran dari budaya bukan dari tekhnologi saja?
AK: Bukan. Tekhnologi bisa berbudaya, bisa juga tidak.
TM: Mungkin Pak Setiadji perlu informasi bahwa National Integration Movement tidak hanya di Jakarta?
MSM: Iya, tidak hanya di Jakarta. Kami sudah ada di sekitar 24 kota.
TM: Kembali ke budaya. Mbak Maya memandang saat ini bagaimana? Tentang budaya Indonesia
MSM: Budaya bangsa Indonesia ini yang membentuk adalah — seperti yang tadi dikatakan Pak Anand — gen kita. Misalnya tentang pembalakan, penebangan liar. Budaya kita dahulu: kita tidak boleh menebang pohon yang ukurannya…bila kita tidak bisa merangkul pohon itu. Dan sebelum menebang pohon, kita harus meminta ijin kepada alam sekitar. Itu sebetulnya merupakan suatu peradaban dimana kita tidak menhancurkan alam sekitar. Bila kita tidak menghormatinya yang terjadi adalah banjir, longsor dan sebagainya. Bila kita mengingat budaya itu maka tidak akan terjadi pembalakan hutan dan longsor. Itu salah satu budaya. Kita juga berbeda suku, tapi sebenarnya ada benang merahnya…
Kriiiiiiiiing…..(telepon masuk)
Pak Sundoro (penelepon): Kita harus mengingat kembali pada sejarah. Dikala Bung Karno menawarkan kepada seluruh dunia, padahal kita belum punya tekhnologi, ditawarkan oleh Bung Karno: Pancasila ini silahkan anda pelajari. Bahkan Bung Karno pidato di PBB tahun ’60 To Build the World A New. Loh, ini yang perlu dihayati! Apapun asal di Indonesia, kita harus berpijak pada Pancasila sebagai dasar negara dan UUD ’45. Itu adalah point bagi NKRI! Patent! Terima kasih
TM: Sebenarnya landasan kita, Pancasila, sudah luar biasa. Tapi dengan munculnya perbedaan-perbedaan di negara kita berpotensi pada adanya disintegrasi bangsa. Bagaimana mengatasi hal ini?
MSM: Saya ingin menyinggung tentang SARA. Sepertinya di Indonesia bila menyinggung sesuatu, muncul: ini jangan dibahas karena menyinggung SARA. Akar permasalahannya justru ini. Karena kita tidak diperbolehkan untuk menyinggung sesuatu yang sensitif, kita tidak saling apresiasi dan tidak sempat saling mengenal perbedaan itu. Kita akan terus menyekat-nyekat diri kita sendiri. Yang perlu diadakan adalah keterbukaan, sebuah apresiasi.
TM: Jadi anda percaya bahwa bangsa Indonesia ini tertutup?
MSM: Dibuat tertutup…
TM: Baik. Pak Anand, apa pendapat bapak dengan mereka yang mengatakan “kita mencari ketenangan, tidak ingin membuat suatu masalah, biar ini ditutup-tutupi”?
AK: Luka yang ditutupi. Saya mengutip Wedhatama, Mangkunegoro. Beliau mengatakan bila luka itu ditutupi, itu tidak akan menyembuhkan luka. Luka ini harus diobati. Kuliah pertama yang diberikan Bung Karno di UI, mengupas tentang semua agama dan beliau memperlihatkan dimana ada persamaannya. Bila kita melihat buku-buku yang dicetak dalam kurun waktu 20-an tahun setelah merdeka, kualitasnya jauh lebih hebat dari buku-buku yang kita sebut sastra sekarang. Kita bisa menciptakan sastra kelas dunia.
TM: Lalu apa yang bisa membuat bangsa kita lebih terbuka? Karena ini seperti sudah menjadi kebiasaan dan untuk menciptakan kebiasaan baru bukan perkara yang mudah?
AK: Sebetulnya begini, sekarang kita tidak mungkin menutup diri. Kemungkinan untuk menutup diri itu tidak ada.
TM: Semacam rasa takut mungkin?
AK: Rasa takut kita adalah khayalan. Kita sedang berimajinasi ada jin didepan. Nah, kita menciptakan rasa takut bagi kita sendiri dan akibatnya apa? Kita akan menjadi negara yang terbelakang di Asia Tenggara. Sekarang kita lihat, 15-20 tahun lalu guru-guru dari Malaysia datang ke Indonesia untuk belajar. Sekarang kita mengirimkan siswa kita kesana (Malaysia). Bukan guru lagi, tapi siswa dan mereka bangga pulang kesini berkata “saya pernah kuliah di Malaysia”.
TM: Atau mungkin bangsa kita yang terlena atau semacam itu?
AK: Terlena dan saya kira betul-betul mismanagement. Kita tidak mengolah bangsa ini dengan baik, bukan cuma mengelola pembangunan dan materi tapi mengolah karakter, watak bangsa kita. Mengolah pendidikan misalnya, berapa dan kita untuk pendidikan? Kita tergugah untuk membantu saudara-saudara kita di Timur Tengah, dengan senang hati saya mendukung perjuangan Palestina. Tapi dengan kondisi bangsa kita saat ini yang begitu terpuruk, kita tidak punya uang, kita masih mengemis pada orang lain. Kita tidak dalam keadaan untuk memberikan sumbangan uang.
TM: Mbak Maya, ada juga beberapa kelompok yang berupaya memaksakan kehendak demi penyeragaman. Padahal kita terdiri dari berbagai macam perbedaan.
MSM: Mereka yang berupaya membuat kita homogen, katanya percaya pada Tuhan. Bila kita sadari, dengan akal dan hati, Tuhan menciptakan kita berbeda-beda. Berarti mereka ini yang katanya sangat agamis, tidak menerima kebijakan Tuhan. Saya yang orang Sunda, mbak yang orang Batak, itu khan tidak bisa dipaksakan? Agama saya apa…agama mbak apa… itu tidak bisa dipaksakan.
TM: Lalu bagaimana sekarang kita memberitahukan pada mereka bahwa apa yang mereka lakukan adalah kekeliruan?
MSM: Ini yang jadi perdebatan. Misalnya adanya tuntutan pembubaran kelompok tertentu. Tidak bisa dibubarkan karena mereka memendam sesuatu yang suatu saat akan meledak malah jauh lebih kacau. Yang harus kita lakukan adalah merangkul. Mereka hanyalah ikut-ikutan tanpa benar-benar paham. Bila pimpinan-pimpinan mereka di puncak sudah susah untuk dirubah, tapi yang bisa adalah para pengikut ini. Kita mencoba menyadarkan mereka dengan contohnya acara-acara (di Cakra TV) seperti ini.
TM: Mbak Maya, bagaimana cara kita merangkul mereka?
MSM: Yang harus dilakukan adalah usaha yang intensif dan repetitif seperti program acara sekarang ini yang membahas tentang topik-topik kebangsaan. Secara tidak disadari, akan terekam dalam alam bawah sadar bagi yang menyaksikan.
Kriiiiiiiiiing…(penelepon masuk)
Pak Dullah: Wah ini menarik sekali bicara tentang jatidiri bangsa. Saya lihat bangsa Indonesia sudah kehilangan jatidiri karena yang terjadi ternyata westernisasi, selalu mengagung-agungkan nilai-nilai dari Barat. Yang penting bagi bangsa ini adalah komitmen para pemimpin, bangsa ini mau dibawa kemana? Komitmen para pemimpin bangsa ini lebih banyak ke kepentingan-kepentingan asing tidak pada kepentingan nasionalnya. Bila kita ingin kembali membahas mengenai jatidir, kita harus kembali pada masa awal negara ini berkembang.
AK: Saya setuju. Saya hanya mengingatkan tadi yang disebut: masa awal bangsa ini… Nah, awal mulanya kapan? Apakah pada waktu Sumpah Pemuda? atau pada waktu Proklamasi Kemerdekaan? atau seperti yang dikatakan Muhammad Yamin: awal mula bangsa ini adalah 6000 tahun yang lalu? ketika kita sudah mengenal Sang Saka merah Putih…tapi ok, kita tidak usah menarik sejauh itu. Awal mula bukan cuma saat Proklamasi. Proklamasi adalah hasil dari awal mula itu. Bagaimana kita memberikan patokan pada wilayah kita? Bukan karena dijajah Belanda, karena ada orang yang berpendapat bila kita tidak dijajah Belanda maka kita tidak akan memiliki Indonesia. Saya katakan: tidak. Di zaman Majapahit kita bahkan sudah mencapai Kamboja. Jadi kalau kita kembali ke awal mula. kita harus kembali ke apa yang saya katakan: budaya asal kita. Dan suatu kesalahan dimana dalam buku-buku pelajaran kita; Majapahit, Sriwijaya, semuanya diberi cap ini Hindu, ini Buddha, semuanya sudah berlalu…tidak, mereka adalah Indonesia! Kebetulan bila mayoritasnya beragama Hindu atau Buddha, itu cerita lain. Tapi mereka adalah dinasti-dinasti asli Indonesia yang berbudaya Indonesia.
TM: Baik. Mbak Maya, kembali ke masalah bagaimana merangkul agar mereka paham?
MSM: Kampanye tentang kebangsaan harus dilakukan secara intensif dan repetitif. Peran media sangat penting untuk mendidik bangsa. Misalnya tentang RUU Porno, ketika memberitakan pihak yang medukung headline-nya besar sekali tapi ketika memberitakan pihak yang menolak, beritanya kecil. Atau misalnya di TV kita melihat sinetron-sinetron kita nuansanya hanya satu sisi saja, sinetron atau film mengenai jiwa nasional yang apresiatif terhadap budaya kita tidak ada. Nah, itu yang perlu kita lakukan.
TM: Acara siraman rohani dari berbagai agama apakah bisa mengimbangi?
MSM: Kurang, coba kita bayangkan: sekarang acara rohani di tv banyak sekali tapi apakah kemudian kita menjadi lebih beradab dan lebih baik? ternyata tidak.
Kriiiiiiiiiing
Penelopon: Kalau ada masyarakat yang masih membedakan suku, mereka berarti tidak belajar dari sejarah. Kita sejak dulu sudah terdiri dari beribu-ribu pulau, suku-suku bangsa, dan menjadi satu: bangsa Indonesia. Marilah kita bersama sekarang: apa dasar negara kita? Pancasila tidak bertentangan dengan agama dan agama pun tudak pernah mengatakan Pancasila bertentangan (dengan agama). Satu: Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh karena itu Bung karno mengatakan Tuhannya satu ada dimana-mana, dan disebut dimana-mana. Prinsip. Titik. Terima kasih.
TM: Kita mengharapkan jiwa-jiwa seperti ini. Dalam Pancasila, Pak Anand, ada nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan. Bagaimana seharusnya pemerintah bersikap dalam mewujudkan nilai keadilan dan kesejahteraan? Sekarang banyak undang-undang instan. Apakah ini sudah keluar dari jalur keadilan dan kesejahteraan itu?
AK: Baru saja bertemu dengan diplomat asing. Dia mengatakan bahwa Amerika tidak pernah melakukan amandemen terhadap konstitusinya sebanyak yang kita lakukan dalam 2-3 tahun terakhir. Seperti yang diakui sendiri oleh Jimmly Ashidiqqie, bila kita membaca konstitusi negara ini sudah semrawut. Ini adalah awal mula dari suatu kehancuran.Konstitusi bukanlah sakral dalam artian kitab suci, tidak…tapi konstitusi itu landasan kita dalam bernegara. Yang dimasukkan dalam amandemen itu seharusnya diatur sebagai peraturan.
TM: Yang terjadi dan cukup ironis adalah sepertinya undang-undang itu menimbulkan dampak yang lebih besar lagi? Justru rakyat merasa dirugikan? Bagaimana dengan situasi semacam itu?
AK: Ya, rakyat kita harus bangkit. Satu-satunya jalan adalah rakyat kita harus bangkit dan memiliki political awareness, kesadaran berpolitik, kesadaran berbangsa. Nah, seperti yang dikatakan Maya, perlu sekali kerjasama dengan media.
TM: Bisakah kita menggugah pemerintah?
AK: Saya kira kita harus bisa menggugah, karena pemerintah dari rakyat bukan rakyat dari pemerintah.
TM: Itulah yang saat ini dihadapi rakyat kita, rasa cemas, rasa ketakutan. Siapa yang bersalah dan siapa yang bertanggung jawab?
MSM: Kita semua.Kita punya kebiasaan bila terjadi sesuatu kita mencari kambing hitam. Coba kita mulai dari diri kita sendiri. Kita harus berdayakan diri kita sendiri. Misalnya, tadi Pak Dullah sempat menyinggung terjadi westernisasi, tapi sebetulnya tidak hanya westernisasi tapi arabisasi, indianisasi, cinaisasi…seperti demokrasi, apapun itu harus diadaptasikan dengan keadaan setempat. Bila ingin cepat maju tapi tidak diadaptasikan dengan budaya lokal maka terjadi kekacauan.
TM: Kita juga mengamati terjadi perpecahan-perpecahan. Apakah sudah tidak ada toleransi?
MSM: Saya belajar dari Pak Anand bahwa toleransi itu tidak cukup, tapi apresiasi. Toleransi tidak akan menyelesaikan masalah. Toleransi ada batasnya: saya lebih baik daripada anda. Kalau apresiasi, tidak. Kita sama-sama belajar.
TM: Bagaimana dengan mengawali keterbukaan? Itu khan suatu kebiasaan?
MSM: Mengawali perubahan memang sulit, tapi bila sekali sudah terjadi…seperti: bila kita berjalan satu langkah, maka Tuhan mendekati kita seribu langkah.
TM: Pak Anand, saya mendengar ada yang mengatakan saat ini kepercayaan masyarakat terhadap Pancasila sudah luntur dan Pancasila digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Bagaimana tanggapan bapak?
AK: Itulah kesalahan yang terjadi. Tapi orang-orang yang beranggapan demikian itu apakah punya solusi? Bila solusi yang ditawarkan agama, mari kita lihat sejarah. Tidak pernah ada satu pun negara yang berlandaskan agama yang kemudian tidak kacau dan harus mengubah konstitusinya. Di Eropa mereka bakar-bakaran karena agama di abad pertengahan. Dalam sejarah modern kita, negara yang dibentuk karena agama adalah Pakistan. Apakah Pakistan bisa menjalankan agama sebagai landasannya? Tidak juga. Ada Presiden disitu. Sampai beliau sendiri juga bingung bagaimana menghadapi teroris disana. Jadi dimanapun jika menggunakan agama sebagai landasan akan pecah belah, dalam keadaan dunia modern sekarang. Mungkin seribu tahun yang lalu bisa dimana agama masih regional belum menjadi global. Sekarang, agama Hindu di Bali dengan di India lain, agama Kristen Katholik seprti yang dipraktekkan di Indonesia lain dengan yang seperti di Barat. Jadi kita tidak punya solusi kecuali kembali pada budaya kita.
Kriiiiiiiiiing……(penelepon)
Penelepon: Sebentar lagi kita akan memperingati HUT Proklamasi Kemerdekaan. Semoga masyarakat, pejabat, menteri hingga presiden bisa mendengar pernyataan saya: Indonesia Merdeka bukan oleh agama tapi oleh rakyat-bangsa Indonesia! Adapun rakyat tersebut menganut masing-masing agamanya.
TM: Yang ironis, Mbak Maya, akhir-akhir ini masalah yang sering ditonjolkan adalah keagamaan.
MSM: Kalau mau jujur, sebenarnya agama ini hanya digunakan sebagai politik. Ini yang perlu kita berikan pendidikan pada bangsa ini: penghayatan esensi agama. Peran para ulama entah itu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, penting dalam mengajarkan umat tentang esensi agama.
TM: Banyak hal yang tadi sudah kita bahas dan semuanya sepertinya suatu hal yang menyedihkan, bahkan mungkin kita akan menangis untuk bangsa ini. Yang menarik yang saya kutip dari buku Bapak Anand Krishna. Bila bapak diberi kepercayaan memimpin negara, apa yang bapak lakukan?
AK: Pertanyaan yang sulit dijawab karena menjadi pemimpin disaat ini memang sulit sekali. Yang penting sekali adalah keberanian. Ketegasan dalam bertindak untuk mengambil keputusan. Ini yang harus kita lakukan. Dalam keadaan saat ini, kita bisa diserang dari mana pun juga. Jadi, pemerintah kita kadang-kadang menjadi penakut, pengecut. Tidak bisa menjalankan Indonesia dengan karakter seperti itu. Kita harus berani membangkitkan kembali jiwa Sutasoma.
TM: Terakhir dan singkat saja Mbak Maya, bagaimana upaya mewujudkan manusia Indonesia agar benar-benar cinta Indonesia.
MSM: Intinya adalah cinta. Bila kita menghubungkan hubungan kita dengan Indonesia sebagai Ibu, bukannya pacar, maka kita tidak akan pernah putus.Kita akan selalu berbhakti pada Ibu kita. Hanya inilah yang bisa menyelamatkan kita: Cinta terhadap Ibu Pertiwi. Dan yang kedua adalah pendidikan. Sekarang yang menyebarkan ide-ide perpecahan adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi. Berpendidikan itu harus dengan budaya. Pendidikan setinggi apa pun tapi tidak memiliki budaya, tidak memiliki karakter, percuma.
TM: Ya, terima kasih Mbak Maya dan Pak Anand untuk hadir di Cakra Semarang TV. Kita mengharapkan jatidiri bangsa akan benar-benar bangkit kembali.
Sekian laporannya,
Maturnuwun Guruji,
Sembah sujud tuk Ibu Pertiwi,
INDONESIA JAYA!
Laporan oleh Ddidit