Di Bulan Suci Ramadhan tahun 2006 ini, Bapak Anand Krishna diminta untuk berbicara di sebuah tempat pengajian pimpinan Bapak Rachmat Hidayat di jalan Senopati, Jakarta. Tema yang dibicarakan malam itu adalah “*/Puasa : Ajaran semua Nabi/*.” Acara ini diselenggarakan pada Kamis, 5 Oktober 2006 lalu, pada pukul 20:00 WIB. Inilah sekelumit ceramah Bapak Anand Krishna pada acara yang dimulai dengan alunan 2 buah lagu shalawat yang dinyanyikan oleh Grup Musik Spiritual The Torchbearer.

Bapak Anand Krishna memulai dengan sebuah pertanyaan sederhana :
“Bisakah kita menafikan keluarga demi Tuhan?” Yang terjadi sekarang ini adalah kita berusaha menyeimbangkan antara Tuhan dengan keluarga, antara Spiritualitas dengan hal-hal duniawi. Masalahnya sekarang : Tuhan tidak bisa dibandingkan dengan apapun. Dan, spiritualitas tidak bisa dibandingkan dengan hal-hal duniawi. Jadi pilihannya hanya 2, yakni mendalami spiritualitas atau kembali kepada dunia kita sekarang. Tidak bisa di antaranya atau menyeimbangkan ke-2nya dalam kehidupan kita.

Ada sebuah penelitian di mana Bapak Anand Krishna berkesempatan membaca dalam sebuah artikel di sebuah surat kabar tentang eksperimen memperhatikan sebuah titik. Ternyata semakin kita memusatkan perhatian kita pada sebuah titik, maka semakin buyar titik itu terlihat. Ini ilmiah. Dan, inilah yang terjadi pada Zikir kita. Zikir berarti memusatkan kepada pikiran kita tentang Tuhan sehingga pikiran itu buyar, dan yang kemudian terjadi adalah kita tidak lagi memikirkan Tuhan, tapi sudah memadu kasih denganNya.

Ibarat seorang yang mempelajari Kitab Kamasutra, tapi ketika malam pernikahan, maka Kitab itu harus disingkirkan dan orang itu praktek langsung memadu kasih dengan kekasihnya. Demikian pula ketika kita bertemu Tuhan, maka semua Kitab-Kitab Suci harus kita singkirkan dan kita langsung bercumbu Kasih denganNya. Atau kita masih mau membuka-buka buku dulu?

Ada sebuah cerita dari Pakistan tentang seorang sufi bernama Abdul Wahab. Dia mau ditangkap karena sepak terjang dan bicaranya yang gila tapi selalu menggerahkan otoritas agama yang berkuasa. Sesaat sebelum ditangkap, dia berteriak-teriak, “Lihat orang-orang gila itu mau menangkap orang gila.” Padahal ada Hadits yang mengatakan bahwa syariat (islam) tidak berlaku bagi orang gila.

Puasa pun demikian. Puasa seharusnya terjadi dengan sendirinya. Puasa itu /upavaasa/, yang berarti ber-“dekat”-an dengan Tuhan yang kita kasihi. Dan, ketika kita berdekatan denganNya, dengan Sang Kekasih, maka biasanya kita akan lupa makan, lupa minum dan bahkan lupa tidur. Pada saat itu, puasa akan terjadi begitu saja, secara otomatis.

Tapi sekarang ini puasa tidak berarti seperti itu. Puasa kita sekarang ini malah mengalihkan hasrat, menahan napsu yang kemudian “dibalas”
dengan pelampiasan napsu yang lebih besar. Ini terbukti dengan melambungnya harga-harga bahan kebutuhan pokok ketika bulan Ramadhan tiba. Kita yang katanya sedang berpuasa pada bulan ini, ternyata malah mengkonsumsi makanan dalam porsi yang lebih besar daripada di bulan-bulan bukan Ramadhan. Kita telah menyalah artikan makna dan esensi dari Puasa itu sendiri.

Padahal pengetahuan modern telah membuktikan bahwa ketika pikiran sedang memikirkan makanan, maka asam lambung kita akan sudah langsung bereaksi dan membanjiri dinding-dinding lambung kita. Mirip seperti seekor anjing yang sudah mengeluarkan air liur ketika baru saja mendengar bungkusan makanan.

Bapak Anand Krishna pun sempat bercanda bahwa orang-orang barat lah adalah kaum yang paling rajin berpuasa karena tiap pagi hari mereka “break-fast” (berbuka puasa). Kita sebenarnya diharapkan menangkap esensi dari sebuah ajaran agama, bukan menjiplak agama begitu saja. Misalnya, Kurma adalah lambang kesederhanaan Nabi dalam berbuka puasa dan Nabi berada di daerah di mana kurma adalah makanan yang paling sederhana dan paling banyak di padang pasir. Tapi kita sekarang di Indonesia, malah mengimpor kurma dari Mesir dan Arab karena kita lupa bahwa singkong adalah makanan yang paling sederhana, murah dan banyak tersedia di Indonesia. Kita lupa pada esensi dan kita senang menjiplak.

Kita telah melupakan bagaimana kita berpuasa dengan semua indera-indera kita. Di Persia, Bulan Ramadhan disebut dengan Bulan Ramzan dan di bulan ini indera-indera kita dilatih, diasah dan di-/recharge/ kepekaannya selama satu bulan penuh sehingga kepekaannya bisa diandalkan untuk 11 bulan berikutnya. Kepekaan inilah mutlak diperlukan ketika kita berbagi berkat /(sharing your blessin/g) sebagai esensi dari salah satu rukun Islam, yaitu berzakat. Bulan Ramadhan berarti Bulan untuk menyucikan diri, bukan Bulan Suci karena tiap bulan dalam satu tahun pun suci.

Nabi pernah mengingatkan kita bahwa ketika kita berhadapan denganNya, maka sholat dan amal saleh kita tak akan membantu, tapi tiap anggota badan kita akan dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan mereka di dunia. Bapak Anand Krishna memberi contoh pengalaman beliau mengalami kecelakaan di Ubud, Bali baru-baru ini yang menyebabkan kaki terkilir. Pada saat itu, untuk sesaat, excitement bertemu dengan teman lama begitu menggebu sehingga kehilangan kesadaran sesaat dan terjadilah kecelakaan, dan kaki beliau harus menanggung ketidaksadaran tersebut.

Beragama berarti ketika kita sedang mengalami permasalahan dalam hidup, tapi kita masih bisa mengucapkan Alhamdulillah. Itulah esensi dari agama, dan celakanya, kita melupakan hal itu. Kita begitu serius beragama selama ini, padahal tak ada Nabi yang serius dalam beragama. Nabi selalu mengingatkan kita bahwa sholat adalah sarana untuk mendekatkan diri denganNya. Agama to facilitate. Agama bukanlah akhir dari sebuah perjalanan.

Toba berarti berjalan kembali ke dalam diri. Dalam bahasa Yunani, disebut Metanoia. Inilah spiritualitas. Tapi sekarang ini, kita salah memahami arti spiritualitas, dan kita malah menjadi “/professional shopper/.” Kita berpindah-pindah dari seorang penceramah ke penceramah lain, karena yang kita inginkan adalah pengetahuan penceramah itu, bukan spiritualitas. Kebiasaan ini hanya memperkuat pikiran dan ego kita. Kita seperti sedang mencari air dengan menggali sumur. Kita baru menggali sebentar kemudian kita beralih menggali di tempat lain. Padahal seharusnya kita hanya menggali di satu tempat cukup dalam untuk mencari air. Demikian pula spiritualitas.

Ustadz adalah seorang /preacher/ (penceramah), sedangkan Guru adalah seorang Master, katalisator. Seorang Murshid tidak perlu berbuat apapun kecuali duduk bersama murid-murid. Seorang Murshid seperti aliran listrik yang menjadi katalisator bagi unsur H (/Hidrogen/) dan unsur O (/Oksigen/) untuk menghasilkan Air (H2O). Perasaan dan Pikiran yang terkendali adalah ke-2 unsur utama dalam menghidupkan (Ke)Tuhan(an) dalam diri seorang murid, dan Murshid akan menjadi katalisator untuk membuat semua itu terjadi. Dalam tradisi Zen, proses ini disebut /transmission./ Makanya, di India, dikenal tradisi yang disebut Dharsan, atau pertemuan dengan seorang Master.

Jadi dalam berpuasa, kita harus selalu ingat kiblat kita kemana dulu. Kemudian, apakah dengan puasa itu, lantas kita sudah mampu melihat wajah Allah di mana-mana seperti yang dialami Nabi. Bila itulah yang terjadi, maka berhasillah puasa kita. Nabi pun mengalami marifat (pencerahan) dulu di gua Hira, kemudian memahami hakikat, mohabbat, menentukan tarekat dan akhirnya membuat syariat. Kita sekarang malah berbuat sebaliknya. Apakah kita telah meneladani Nabi? (j/b)