Jakarta Post, 15 Agustus 2007
by Anand Krishna, Jakarta
Thousands of years ago — to be precise around 10,000 BC — we faced a similar climate problem to what we are facing today.
According to one popular Hindu legend, contamination had poisoned the seas and the oceans. It was a terrible situation. The polluted waters caused poisonous gases that threatened life on earth.
At that time, the whole world united to deal with the crisis.
All wars between the nations ended. The major powers, the sura and the asura, who had always been hostile towards each other, decided to end all their hostilities and unite to face the threat.
The sura were the people, the nations “in line” with and attuned to nature. They were the “rhythmic” people. On the other hand, the asura were the people, the nations “not in line” with nature, not attuned to nature. They were “not rhythmic”.
The so called “good” and “wise”, in the olden days were called rhythmic, because their lives where in rhythm with Mother Nature. They were environmentally conscious, clean and ate the right kind of food. They developed technologies that were useful and life-friendly.
The asura did not care for rhythmic life. They did not care much about the environment. They did not bother about cleanliness. They ate what they liked. And they developed technologies that could destroy all humankind.
Our world today is still divided between these two kinds of people: The rhythmic and the arrhythmic. There are people and nations developing technologies which could bring an end to human life, and there are people and nations working for peace and harmony.
Climate change is nothing new. It has happened in the distant past, as we shall learn from the legend. It may also happen again in the near and distant future, if we do not learn lessons from our past.
In 10,000 BC, according to the legend, both the sura and the asura let go of their differences — political, social and religious — and decided to face the common threat.
This was their mistake. You can never let go of such differences. The differences are there, they are very real. You can, at best, shut your eyes to such differences.
The unity between the sura and the asura did not have a real foundation. The platform they stood upon was not strong enough to hold both of them for long.
Facing global warming today, I am afraid we are standing upon such a flimsy foundation. The appeals made by United Nations and the truly admirable work of Al Gore and others must create stronger ground for unity.
Let not the “threat of destruction” unites us.
Such a unity shall not last long. Let us not shun our differences, for differences cannot be shunned. Let us build the platform of unity on the awareness that differences are not a hindrance to unity. Unity makes sense because of such differences. Without such differences, we shall not be speaking about unity. We are different, yet united. This is the same as the motto of Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika, Unity in Diversity.
“Awareness”, a “sense of oneness” — these are the essential ingredients lacking in the world. And therefore, any notion or idea of unity remains a notion, an idea. It is still a dream; a theme for poets and writers; a project for various institutions. It has not become a reality. Not yet.
Motivated by the “Common Threat”, the sura and the asura of the olden days did unite.
First, they dropped their weapons.
Secondly, they began to cleanse the waters. They realized that the “threat” was of their own creation. And, that they must deal with it by themselves. In that, at least, they were right.
They did not blame it on God, mother nature but blamed it on their own doings, such was their realization.
Once again, their realization was great. What they did was right. It is just the foundation — that was not right. And since the foundation was not right, their unity did not last long.
What we are facing today, is a kind of repetition of what we have faced in the past, not once, not twice, but many times. We have also done much — on a worldwide scale — to face this threat.
Today, our world is almost united on this issue. We were never so united in the past. This is commendable. But, let us check the platform upon which we have built this united front. Is it based on awareness that this world is but one family, that we share the same earth, same sky, same sun, moon, and stars? Or, is it built upon a “threat”, upon “fear”.
If unity is built upon a sense of threat and fear, then it shall not last long. It cannot hold us for long. Let us, therefore, strengthen this platform first. Let us unite our hearts, and let us unite in love and compassion.
The developed countries must let go of their big egos, the developing countries must let go of their complexes. Today, as never before, we are accorded a golden chance to unite in awareness. Thanks to information technology tools, today we have free and fast access to all kind of information, news and science. Today, we can, as never before, really work together in “real time”. We can learn and think in real time.
We can also solve all our problems, including global warming, in real time. That is, if we really want to.
Just a bit of dimming of street and bill board lights by the developed nations, and environment-friendly clothing by the people of developing nations could already do wonders. What use are jackets and ties in a country like Indonesia? We must go back to our batik shirts and we should adjust the temperature of our office air conditioners to 24, even 26 degrees.
I don’t have to repeat what Al Gore mentioned in his monumental and brilliant documentary “An Inconvenient Truth”. Many other environment pundits have done the same. I am just reminding all of us of the foundation we are standing upon. Are there bricks of love? Is it cemented with compassion? Has it been plastered by understanding? And, what about the paint? Is it painted with awareness? If the answer is “yes”, then great. If “no”, then let us work on it, together.
The writer is an interfaith nationalist and spiritualist who has authored more than 100 books (www.anandkrishna.org).
Pelajaran dari masa lalu untuk mengatasi perubahan iklim
Jakarta Post, 15 Agustus 2007
oleh Anand Krishna
Beribu-ribu tahun yang lalu – tepatnya sekitar 10,000 SM – kita menghadapi masalah yang mirip dengan yang kita hadapi saat ini.
Berdasarkan sebuah legenda popular Hindu, laut saat itu mengalami pencemaran berat. Kondisinya sangat parah: air laut yang tercemar tersebut memproduksi gas-gas beracun yang mengancam kehidupan di bumi.
Saat itu, seluruh dunia bersatu menghadapi krisis tersebut.
Seluruh perang antar-negara dihentikan. Adi kuasa, yaitu sura dan asura, yang selalu bertengkar dengan sesama, bersepakat untuk menghentikan perkelahian mereka dan bersatu menghadapi ancaman itu.
Sura adalah manusia dan negara-negara yang seirama dengan alam. Mereka adalah manusia yang berirama. Asura adalah orang-orang dan negara-negara yang tidak seirama dengan alam, terputus hubungannya dengan alam. Mereka tidak berirama.
Yang sekarang disebut ‘baik’ dan ‘bijaksana’ dulunya disebut ‘seirama dengan alam’, karena mereka hidup dalam harmoni dengan Bunda Alam. Manusia-manusia ini sadar lingkungan, bersih higienis, dan makan makanan yang tepat. Teknologi mereka berguna dan bersahabat dengan kehidupan.
Sebaliknya, para Asura tidak peduli dengan irama kehidupan, tidak peduli dengan lingkungan maupun kebersihan. Mereka makan sesukanya, dan teknologi mereka merusak seluruh umat manusia.
Dunia kita saat ini terbagi atas dua tipe manusia tersebut: yang berirama dan yang tidak berirama. Ada manusia dan negara-negara yang mengembangkan teknologi yang dapat membunuh manusia, dan ada pula manusia dan negara-negara yang bekerja demi perdamaian dan harmoni.
Perubahan iklim bukanlah suatu hal yang baru. Perubahan iklim pernah terjadi di masa lalu, seperti yang kita pelajari di legenda tersebut. Perubahan iklim dapat terjadi lagi di masa depan, sekiranya kita tidak belajar dari masa lalu.
Berdasarkan legenda 10,000 tahun sebelum Masehi, sura dan asura melepaskan perbedaan mereka – politik, sosial, dan agama – dan memutuskan untuk menghadapi ancaman bersama tersebut.
Dan itulah kesalahan mereka. Kita tidak dapat melepaskan perbedaan kita. Perbedaan memang ada, perbedaan itu nyata. Paling banter kita dapat menutup mata terhadap perbedaan tersebut.
Persatuan antara sura dan asura tidak memiliki dasar yang nyata, yang kokoh. Landasarn tempat mereka berdiri tidaklah cukup kuat untuk menggotong mereka lama-lama.
Dalam menghadapi pemanasan global saat ini, saya khawatir kita semua berdiri pada landasan yang sama tidak kokohnya. Permohonan dan saran yang dilontarkan oleh PBB, Al Gore dengan kerja kerasnya yang mengundang kekaguman, dan para pihak yang lain seharusnya dapat menciptakan landasan yang lebih kokoh bagi persatuan.
Janganlah kita biarkan ‘ancaman kehancuran’ menyatukan kita.
Persatuan semacam itu tidaklah langgeng. Janganlah kita menutup mata atas perbedaan-perbedaan kita, karena perbedaan tidak dapat ditutupi. Marilah kita bangun landasan persatuan dengan kesadaran bahwa perbedaan bukanlah hambatan bagi persatuan. Persatuan justru dapat dipahami karena perbedaan-perbedaan itu. Tanpa perbedaan, kita tidak dapat berbicara tentang persatuan. Kita memang berbeda, tapi juga bersatu. Samalah dengan motto Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika, Walaupun Berbeda tetapi tetap Satu Adanya.
Kesadaran, pemahaman tentang kesatuan – hal inilah komponen utama yang hilang di dunia ini. Karenanya, setiap ide untuk persatuan hanyalah menjadi ide semata. Hanyalah mimpi: tema romantis untuk para penyair dan penulis, proyek oke buat berbagai lembaga. Tapi belumlah menjadi realitas. Belum.
Terdorong oleh ‘ancaman bersama’, para sura dan asura masa lalu memang bersatu.
Pertama-tama, mereka melakukan gencatan senjata.
Kemudian mereka membersihkan air. Mereka sadar bahwa ‘ancaman’ yang terjadi itu sebenarnya hasil karya mereka sendiri, dan mereka sendiri jugalah yang harus membereskannya. Paling tidak, sampai di sini mereka benar.
Mereka tidak menyalahkan Tuhan atau alam. Mereka sadar dan menyalahkan diri mereka sendiri. Itulah kesadaran mereka.
Sekali lagi, kesadaran mereka hebat. Apa yang mereka lakukan itu benar. Tapi fondasinya – landasannya yang tidak benar. Dan karena landasannya tidaklah tepat, persatuan mereka tidak berlangsung lama.
Masalah yang kita alami saat ini adalah semacam pengulangan dari apa yang pernah kita alami di masa lalu. Tidak hanya sekali dua kali, tetapi juga berkali-kali. Kita juga telah melakukan banyak hal – pada skala global – untuk menghadapi ancaman ini.
Saat ini dunia kita hampir bersatu menghadapi masalah perubahan iklim. Tidaklah pernah dalam sejarah kita begitu bersatu seperti sekarang. Saya salut. Tapi marilah kita periksa dasar tempat kita berdiri. Apakah memang berdasarkan kesadaran bahwa dunia ini adalah satu keluarga adanya, bahwa kita hidup di bumi yang sama, di bawah langit yang sama, menikmati matahari, bulan, dan bintang-bintang yang sama? Atau… hanyalah berdasarkan ‘ancaman’, berdasarkan ‘ketakutan’ semata?
Jikalau persatuan dibangun atas dasar ancaman dan ketakutan, maka persatuan semacam itu tidaklah berlangsung lama. Tidak dapat menyatukan kita untuk jangka waktu yang panjang. Karenanya, marilah kita memperkuat landasan ini dulu. Marilah kita menyatukan hati kita, dan mari kita bersatu dalam cinta dan kasih.
Negara-negara maju haruslah melepaskan ego mereka. Negara-negara berkembang harus melepaskan kompleksitas mereka. Hari ini, tidak seperti sebelumnya, kita dianugerahi kesempatan emas untuk bersatu dalam kesadaran. Berkat perangkat-perangkat informasi dan teknologi, sekarang kita memiliki akses bebas dan cepat untuk semua bentuk informasi, berita dan ilmu pengetahuan. Sekarang, tidak seperti sebelumnya, kita dapat benar-benar bekerja bersama dalam konsep ‘real time’. Kita dapat belajar dan berpikir secara bersama-sama, dalam kurun waktu yang sama.
Kita dapat mengatasi seluruh masalah kita, termasuk pemanasan global, dalam waktu yang sama, ‘real time’. Kalau kita sungguh-sungguh mau, tapinya.
Mengurangi pencahayaan jalan dan billboard di negara-negara maju dan memakai pakaian yang ramah lingkungan oleh orang-orang negara berkembang sudahlah sangat membantu mengurangi laju perubahan iklim. Buat apa pula jas tebal dan dasi di negara tropis seperti Indonesia? Marilah kita kembali ke pakaian batik kita, dan mengatur suhu AC kantor kita menjadi 24º atau bahkan 26º Celcius.
Tidaklah perlu saya mengulangi apa yang Al Gore telah katakan dalam film ‘An Inconvenient Truth’nya yang sangat monumental dan cemerlang. Banyak ahli lingkungan lain yang telah mengatakan dan melakukan hal yang sama. Saya hanya bermaksud mengingatkan kita semua atas landasan tempat kita berdiri. Apakah bahannya batu bata cinta? Apakah semennya rasa kasih? Apakah sudah diplester dengan pemahaman? Dan bagaimana dengan catnya? Apakah temboknya dicat dengan kesadaran? Jikalau seluruh jawabnya adalah ‘ya’, maka sungguhlah hebat. Jika ‘tidak’, maka marilah kita semua bekerja bersama ke arah tersebut, bersama-sama.
Penulis adalah nasionalis dan tokoh spiritual lintas agama yang telah menghasilkan lebih dari 100 buku (www.anandkrishna.org).