Anand Krishna Ungkap Rahasia Bodhidharma dalam Buku “Zen Sebagaimana Dilakoni oleh Bodhidharma – Panduan Hidup Sadar Sehari-hari”
Kembali Anand Krishna tokoh spiritual humanis yang juga dikenal sebagai penulis produktif buku-buku spiritual, meditasi, yoga dan pemberdayaan diri. Kembali Beliau menyuguhkan buku panduan meditasi yaitu “Zen Sebagaimana Dilakoni oleh Bodhidharma – Panduan Hidup Sadar Sehari-hari”
“Tidak dapat disampaikan lewat buku , tak dapat pula dijelaskan lewat kata-kata. Hanya dapat dialami. Itulah Dhyana, Chan, atau Zen.”
– Bodhidharma
Zen atau meditasi adalah tentang hidup dalam kesadaran: kesadaran akan segala kekurangan, keterbatasan, dan kelebihan diri, dengan kata lain kesadaran untuk menerima diri sebagaimana adanya. Zen adalah tentang kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan, lingkungan, dan hubungan antar manusia. Zen juga adalah tentang kesadaran bahwa kita semua umat yang sama, yaitu umat manusia.
Bodhidharma berpesan bahwa hidup dalam Zen berarti membebaskan diri dari segala keterikatan dan ketergantungan. Seperti kita tahu, keterikatan menyebabkan manusia mengambil jalan pintas lewat korupsi dan kolusi, mengutamakan kepentingan diri sendiri dan kelompok di atas kepentingan bersama, dan mengotak-ngotakkan dunia berdasarkan paham, ideologi, dan kepercayaan yang berbeda, yang ujung-ujungnya menjauhkan manusia dari manusia lain dan dari lingkungannya.
Zen bukan untuk dibaca dan dipelajari, melainkan untuk Anda jalani dalam kehidupan sehari-hari sehingga Anda memperindah hidup orang lain dan dunia ini. Tak peduli apa pun status sosial Anda, posisi Anda, kondisi finansial Anda, dan di mana pun Anda berada, Zen akan mengisi jiwa Anda dengan kasih. Apabila hal ini terwujud, apa pun yang Anda lakukan akan menyebarkan kasih di sekitar Anda.
Berikut ini adalah sedikit cuplikan dari dalam buku “Zen Sebagaimana Dilakoni oleh Bodhidharma – Panduan Hidup Sadar Sehari-hari” . . . .
Mendengar Semua Berita Bohong dan julukan miring yang ditujukan kepada dirinya, di satu pihak Jaya kesal, marah. Di pihak lain dia juga bersyukur bahwa cara itu, dirinya tidak akan dipertimbangkan lagi dalam perlombaan.
Tetapi, mengapa? Mengapa mesti tersingkir dari perlombaan dengan cara yang tidak elegan seperti itu?
Gundah, marah, kesal, syukur, lega – perasaan Jaya macam-macam, campur aduk. Dan, dia merasa sangat terbebani oleh semua itu. Dia makin menutup diri, menyendiri. Awalnya di dalam istana, di ruang pribadinya. Namun, bagaimana menghindari pelayan, bagaimana menghindari gossip yang sudah merambah ke dalam istana?
Maka, Dia Mulai Sering Masuk Hutan. Dan, untuk melamoiaskan amarah, rasa kesal, dan kegundahannya terhadap keluarga, dia menghindupkan kembali kebiasaan yang pernah menjadi bagian dari Pendidikan yang diperolehnya sebagai anak raja: Berburu!
Awalnya, makin sering ke hutan, kemudian makin sering di hutan. Kadang, hingga berhari-hari dia tidak pulang ke istana. Ayahnya pernah menegur: “Apa yang teradi denganmu? Mengapa pula kau menolak dikawal?”
Jawabannya,” aku sedang gemar berburu” membingungkan sang raja: “Justru itu yang tidak kupahami. Dulu kau selalu menolak, demikian yang kudengar dari para pelatihmu. Sekarang, malah…. Pasti ada sesuatu, terbukalah Pangeran!”
Sang Pengeran Tidak mau Terbuka. Keterbukaanku, dia berpikir, sudah pasti mencelakakan saudara-saudaraku. Ayah tidak sebodoh itu. Ia akan mencari tahu siapa yang menjadi sumber berita-berita bohong itu. Kedua adikku sudah pasti dihukum. Tidak dicalonkan lagi, dikeluarkan dari perlombaan. Kemudian, barangkali, aku langsung diangkat sebagai putra mahkota.
Dalam kebingungannya itu, dia makin ganas. Makin banyak waktu dihabiskannya dalam hutan. Kadang hingga berminggu-minggu di dalam hutan tidak pulang ke istana. Makin banyak hewan menjadi korban amarah, kegundahan, kegusaran, dan kebingungannya.
Para Petapa yang tinggal di hutan menegurnya: “Apa yang kau lakukan tidak baik. Dan, tiap perbuatan tidak baik akan menghasilkan ketidakbaikan pula.”
Jiwa Jaya tidak tersebntuh oleh teguran-teguran semacam itu. Dia tetap memburu. Kemudian, suatu ketika dia bertemu dengan seorang petapa, oleh sorotan matanya yang tajam, tetapi penuh kasih.
“Sadarlah Pangeran, hewan-hewan yang kau buru dan kau bunuh itu juga sama-sama memiliki hak untuk hidup seperti dirimu.”
Jaya Merenung Sesaat. “Sadar Guru, aku sadar. Aku tahu apa yang kulakukan itu salah, tapi, tapi…. Guru, seolah ada rasa puas. Setiap hewan yang kubunuh itu memberiku kepuasan. Setiap aku hendak berburu, sudah terbayang kepuasan yang akan kuperoleh.”
Bila Jaya lahir pada zaman now, seandainya dia sezaman dengan kita, dan mendatangi seorang psikolog atau psikiater, maka hasil diagnosis mereka sudah hamper dapat dipastikan: “Sadis, Psikopat – Positif. Catatan Tambahan: Sangat Berbahaya. Saran: Butuh Perawatan Intensif di Rumah Sakit Jiwa.”
Untung dia tidak sezaman dengan kita, dan Prajna tara bukanlah seorang psikolog atau psikiater lulusan salah satu universitas modern.
Prajnatara Berarti “Bintang Kebijakan” atau lebih tepatnya “Bintang di antara Mereka yang Bijak” – yang dimaksud tentunya “Mahabijak”. Sang Mahabijak tidak lagi memperhatikan tindakan Jaya, dia mengalihkan perhatiannya pada apa yang membuat Jaya bertindak seperti itu:
“jaya, sesungguhnya kau menginginkan kepuasan – pembunuhan yang kau lakukan semata – mata demi kepuasan itu. Bagaimana kalua kau memperoleh kepuasan yang sama dari tindakan lain, tidak usah memburu atau membunuh lagi?”
Selama Itu, para Petapa yang ditemuinya selalu melarang dengan menjelaskan Hukum Karma – Hukum Konsekuensi, Hukum Aksi Reaksi, Hukum Sebab Akibat:
“Kau seorang pangeran, putra raja yang mesti melindungi rakyatnya. Makhluk-makhluk hidup di dalam hutan ini juga merupakan bagian dari rakyatmu, bukan hanya manusia.
“Perbuatan burukmu, Pangeran, akan menghasilkan keburukan berlipat ganda sebab tidak hanya membunuh, tetapi juga menghianati kepercayaan rakyatmu – binatang-binatang tak bersalah dalam hutan ini.”
Jaya memahami ihwal Hukum Karma, namun pemahaman itu tidak sebanding dengan kepuasan yang diperolehnya dengan memburu.
Lain para Petapa yang pernah ditemuinya, lain Prajnatara. Adalah untuk pertama kalinya seorang petapa tidak melarangnya, apalagi menakut-nakutinya dengan segala macam siksaan neraka atau penderitaan di dunia.
Prajnatara sedang menawarkan opsi pilihan, “Bagaimana kalua kau memperoleh kepuasan yang sama dari tindakan lain, tidak usah memburu atau membunuh lagi?”
“Mungkinkah hal itu, bagaimana?” Jaya bertanya.
Prajnatara yang bijak, tidak langsung menjawab, dia berhenti sebentar, seolah tengah mencerna pertanyaan Jaya, “Bagaimana, bagaimana, bagaimana?”
Kemudian ia menjawab, “Pulanglah ke istana Pangeran, kau akan mendapatkan jawabanmu di sana.”
Jaya Tidak Memahami Maksud Prajnatara, tetapi merasakan dorongan kuat dari dalam diri untuk mengikuti nasihatnya, “Pulanglah ke istana.”
Saat itu, sudah lebih dari dua minggu sejak meninggalkan istana. Dia menyalami Prajnatara dan kembali ke istana. Apa yang ditemukannya?
Simhawarman telah wafat, dan kedua saudaranya yang sebelumnya bersatu untuk melawan musuh Bersama, yakni dirinya, sudah tidak bersatu lagi. Masing-masing merasa lebih berhak atas takhta kerajaan Kanchipura. Kroni mereka pun terpecah menjadi dua kubu, dan terlibat aksi saling membunuh.
Melihat Jasad-Jasad Berlumuran Darah – beberapa petinggi di anataranya kawan, kerabat, dan mereka yang selama ini dipertuakan – Jaya merasa muak.
Terbayang langsung binatang-binatang yang pernah dibunuhnya, “lalu apa bedanya diriku dengan mereka, dengan saudara-saudaraku yang saling membunuh? Mereka pembunuh, aku juga pembunuh.
“Mereka membunuh demi kekuasaan, demi takhta, demi kerajaan – itulah kepuasan mereka. Aku pun membunuh demi kepuasan diriku.
“Aku tidak lebih baik dari mereka.
“Tiada beda antara diriku dan diri mereka. Kawan dan kerabat yang mereka bunuh, atau terbunuh karena mereka, adalah makhluk-makhluk bernyawa. Binatang-binatang yang kuburu pun sama-sama makhluk hidup.”
Dia Bergegas Keluar, sekali lagi meninggalkan istana untuk mesuk ke dalam hutan. Namun kali ini bukan untuk memburu, bukan untuk membunuh binatang-binatang yang tidak bersalah. Dia masuk ke dalam hutan untuk bertemu dengan Prajnatara di padepokannya. Bukan untuk bertanya, tetapi untuk menghaturkan rasa syukur, untuk mengucapkan terima kasih:
“Guru, aku sudah memahami maksudmu. Aku telah mendapatkan jawaban. Terima kasih tak terhingga. Bahkan ucapan terima kasih yang terucap jutaan kali pun tidak cukup untuk menyampaikan rasa syukurku, Guru.”
Prajnatara Tersenyum, “Tidak perlu berterima kasih kepadaku, Jaya. Waktu Bersama Keadaan adalah Guru Utama. Kesadaran yang kau peroleh karena Waktu dan Keadaan.
“Waktu dan Keadaan senantiasa hendak menyadarka setiap orang. Ada yang memahami bahasanya dan tersadarkan. Ada yang memahami tetapi tidak menggubris, jelas tidak tersadarkan. Apalagi yang tidak memahami.
“Beruntunglah kau Jaya, kau memahami Bahasa Waktu dan Keadaan, dan tersadarkan. Sekarang, ikutilah kata hatimu. Hati terdalam yang sudah tercerahkan akan menuntun setiap langkahmu.
“Teberkatilah kau Jaya, karena kau telah Berjaya, berhasil menaklukkan kesadaran rendah.”
Jaya membungkukkan badannya, menundukkan kepalanya, bersimpuh, dan mencium kaki Sang Guru.
Para Murid lain yang Menyaksikan adegan itu mengelu-elukan Jaya, “Teberkatilah, Jaya! Jayalah Bodhitara, Murid Guru Prajnatara yang telah Meraih Pencerahan!”
Mereka yantelah teberkati, telah tercerahkan, mengetahui persis bahwa pencerahan bukanlah titik akhir. Pencerahan batin manusia adalah proses yang berjalan terus. Perjalanan batin manusia adalah dari pencerahan rendah hingga tinggi, hingga tak terhingga.
Ya, pencerahan bukanlah titik akhir, tetapi titik awal. Mereka yang mengaku “susah tercerahkan” dan menganggap perjalanan mereka sudah selesai, sesungguhnya belum apa-apa.
Bagi Anda yang tertarik untuk melanjutkannya, silahkan buka lembar demi lembar buku “Zen Sebagaimana Dilakoni oleh Bodhidharma – Panduan Hidup Sadar Sehari-hari” buah karya Anand Krishna yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.