Jumat, 8 April 2005, pk. 19:00, Padepokan One Earth kedatangan Bp. Ir. I.B Putra, pendiri HKTI, mantan anggota MPR RI dan juga seorang yang mendalami spiritualitas. Acara yang dipandu oleh Mas Wandy berlangsung kurang lebih 1 jam 35 menit. Sebelum masuk ke dalam topik utama tentang Agama dan pembelaan terhadap Rakyat, beliau bertutur bahwa keadaan porak-poranda Indonesia saat ini pernah terjadi pada awal pemerintahan Mahapati Gajah Mada ketika memerintah Kerajaan Majapahit kurang lebih abad ke 12-13 M, seperti juga tertulis dalam buku Peranan Gajah Mada dalam Nasionalis Indonesia yang dirangkum oleh Dr. Fajar dari UGM dari berbagai sumber. Ketika itu, Kerajaan Majapahit terbagi menjadi bagian barat yang mayoritas menganut agama Buddha dan bagian timur dengan agama Shiva. Ibukota kerajaan Majapahit berada tepat di antara bagian barat dan timur sehingga penduduknya merupakan campuran antara pemeluk Buddha dan Shiva. Kondisi saat itu sangat menggelisahkan Gajah Mada karena hampir di tiap lapisan masyarakat terjadi persaingan antara pemeluk Buddha dan Shiva ini, seperti bila terdapat pimpinan yang beragama Hindu, wakil pimpinannya dituntut beragama Buddha, dan sebaliknya. Gajah Mada meyakini bahwa keadaan ini seperti bom waktu yang siap meledak setiap saat dan menghancurkan kerajaan. Karena itu, beliau mengadakan pertemuan dengan para Maharishi untuk mencari jalan keluar atas masalah ini. Setelah bertapa dalam 6 bulan, Maharishi Tantular menyodorkan paper Sutasoma, yang di dalamnya berisi Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Berbeda tapi satu. Semua agama baik Buddha atau Shiva, kebenaran yang terakhir itu pasti sama. Menurut bpk. Putra, cerita Sutasoma itu mirip dengan perjuangan Nabi Muhammad ketika berusaha membentuk suatu masyarakat satu (Single Society) yang terdiri dari masyarakat islam maupun non-islam (kafir) dengan penandatanganan Deklarasi Madina. Sayang, bahwa sekarang ini ajaran Nabi Muhammad dan Mpu Tantular ini sudah terlalu disimpangkan.”Sebelum meninggal, Nabi Muhammad pernah berpesan untuk berhati-hati dengan musuh, yaitu Dajjal” lanjut Pak Putra menjelaskan. Dajjal dalam bahasa Ibrani berarti berbohong. Atau oleh Jayabaya, putra Raja Airlangga, disebut sebagai molo wacana, atau cacat pikiran dengan omongan, atau dusta. Jadi, suatu negara akan hancur bila pemimpin agama, pemerintah dan rakyatnya suka berbohong terutama berbohong kepada hati nurani. Apalagi ketika tiap agama ingin mendominasi agama lain, keadaan negara yang rentan persatuannya akan selalu terjadi.

Ketika berusaha menerapkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dalam keadaan kerajaan Majapahit yang terlanjur terpisah menjadi Majapahit Barat dan Timur itu, Gajah Mada menjabarkannya menjadi 4 Budi Pekerti yang baik (Catur Budhi Riye) yang berlaku bagi semua penduduk Majapahit tanpa memandang agama,  dan asal daerah , yaitu :

  1. Mitra : Menjadikan pemeluk agama lain dan daerah lain sebagai sahabat sejati.
  2. Tresno : Kasih yang mampu melumerkan kekotoran dalam hati dan meleburkan kekerasan/kebesaran hati serta merupakan sumber ajaran segala agama.
  3. Gumbiro : Keikhlasan dan kegembiraan dalam menjalankan tugas/kewajiban.
  4. Teguh Berjuang atau Upeksha : Menjadi pendengar yang baik dan siap menolong.

Dan untuk tingkat para pelaku pemerintahan, dijabarkan sebagai Catur Guru, yaitu :

  • Hormati Tuhan Yang Maha Esa, apapun agamanya.
  • Hormati Pemerintahan yang telah disepakati/yang berlaku.
  • Hormati Orang tua.

Catur Guru dan Catur Budhi Riye inilah, yang merupakan penjabaran dari Bhinneka Tunggal Ika dapat membawa Kerajaan Majapahit menjadi kuat dan jaya tanpa menggunakan sistem pemerintahan `tangan besi’ sampai selama hampir 250 tahun kemudian.

Memasuki topik, Pak Putra sharing tentang pengalaman beliau menjadi pelaksana dalam kerjasama dengan pemerintah Jerman dalam mengatasi kemiskinan di Indonesia khususnya jateng selama 5 tahun. Pada kurun waktu ini, beliau dikenalkan dengan lebih dari 6000 LSM yang bergerak di bidang kesehatan,  pengairan, perumahan, dll. Meskipun 90 % LSM-LSM ini adalah milik Gereja,  fokus bantuan tertuju pada orang miskin tanpa prasyarat agama apapun. Beliau juga menjelaskan bahwa pada prinsipnya dalam ilmu pengetahuan terdapat 3 tingkatan ilmu yaitu filsafat ilmu, badan ilmu dan kaki ilmu. Misalnya doa adalah filsafat (kepala) ilmu atau ontologi. Pemahaman & keyakinan atas ajaran agama atau istjihad adalah badan ilmu, sedangkan mempraktekan ajaran agama di lapangan adalah kaki ilmu atau aksiologi. “Agama atau doa yang tidak dapat dipraktekan di lapangan (adalah) it’s not religion” begitu kata beliau sambil menambahkan bahwa orang beragama semestinya bisa mandiri dan memberi bukan malah menuntut diberi atau meminta-minta.
Beliau juga melihat kebenaran ketika bergaul dengan orang-orang miskin seperti yang disarankan oleh para pastur-pastur di jateng. Ada rasa haru, rasa gembira yang muncul ketika sebuah filsafat dipraktekan untuk menolong orang lain. Di sinilah beliau menemukan agama atau kebenaran yang sebenarnya.

Dilaporkan oleh Johanes